Pesisir Bintan, Jeritan dalam Jeratan Minyak Hitam

Panorama yang mempesona, pasir yang putih dan bersih, serta terumbu karang luas yang menjadi rumah bagi banyak biota laut menjadi daya tarik pesisir-pesisir pantai di Pulau Bintan.

Pantai-pantai di Pulau Bintan memiliki potensi kemaritiman yang luar biasa. Pemerintah setempat pun mendorong dan mengoptimalkannya dengan membangun sektor pariwisata.

Sektor pariwisata tersebut terbukti mampu berkontribusi kuat dalam perekonomian daerah sehingga menjadi sektor andalan.

Sayangnya, kedatangan musim angin utara menjadi momok menakutkan yang membawa mimpi buruk bagi pesisir Pulau Bintan. Kenapa begitu?

Secara geografis, Pulau Bintan menghadap ke Laut Cina Selatan yang menjadi jalur perdagangan internasional dimana banyak kapal yang melintasinya. Kapal-kapal nakal membuang sludge oil diam-diam. Sengaja dibuang, bukan kebocoran tak disengaja.

Sludge oil adalah limbah minyak berbentuk lumpur. Sumber limbah ini adalah dari aktivitas yang berkaitan dengan produksi minyak dan gas bumi, maupun dari pembersihan tangki.

Sludge oil mengandung total petroleum carbon (TPC) sekitar 15-50%, kandungan air 30-85%, kandungan padatan 5-46% serta mengandung logam berat (Xuening, et al., 2020).

Tingginya kandungan senyawa organik dan senyawa berbahaya lainnya membuat sludge oil harus diolah dengan baik. Keputusan Presiden nomor 46 tahun 1986, telah disahkan International Convention for The Prevention of Pollution From Ships yang di dalamnya mewajibkan setiap kapal untuk membuang limbahnya di sarana penampungan yang wajib disediakan oleh pelabuhan.

Lalu, kenapa kapal-kapal tersebut masih membuang limbah minyaknya sembarangan?

Sebenarnya, fenomena sludge oil spill tidak seluruhnya terjadi karena ketersengajaan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pihak-pihak yang sengaja melakukannya. 

Sludge oil diangkut terlebih dahulu di kapal dan akan dilakukan pengolahan lebih lanjut setelah mencapai daratan. Proses ini menghasilkan resiko yang tinggi akan terjadinya tumpahan sludge oil di perairan karena memerlukan waktu untuk bisa mencapai daratan.

Dilansir dari Batam Pos (2018), Jefri Simanjuntak memberikan suara selaku anggota DPRD Batam terkait alasan tersebut. Menurutnya, hal ini didasari oleh pembuangan ke penampungan yang memerlukan biaya cukup besar.

Ariska et al. (2017) juga memperkuat dengan argumen bahwa biaya pengolahan sludge oil tergolong mahal sehingga biasanya hanya dibiarkan dalam tangki penampungan saja atau bahkan dibuang sembarangan ke laut.

Api muncul dari tumpahan minyak di teluk Balikpapan, Kalimantan Timur tahun 2018. / Foto: Paksi Sandang Prabowo / Kaltim Post / Greenpeace

Kemudian, apa hubungannya dengan musim angin utara?

Kapal-kapal membuang minyak di Selat Malaka. Saat musim angin utara datang sekitar bulan Desember hingga Maret, angin berhembus semakin kencang dan gelombang semakin tinggi ke arah selatan, membuat minyak-minyak tersebut berkumpul dan bermuara di pesisir utara Bintan (Negara, 2020).

Pasir putih menjadi hitam. Laut biru menjadi hitam. Tumbuhan hijau menjadi hitam. Warna-warni indah menjadi suram.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bintan (2021, dalam Kurniawan, 2023), mencatat wilayah-wilayah yang terdampak sebanyak 4 zona, yaitu Pantai Lagoi, Syakera, Berakit, dan Trikora. Lumpur minyak hitam (sludge oil) menjerat tak hanya flora, namun juga fauna. Tak terbatas pada pariwisata, namun juga kesejahteraan manusia. Dipertaruhkannya kesehatan fisik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ekosistem laut terdampak berat hingga mengalami kerugian yang tak sesederhana itu. Kepunahan flora dan fauna, kumunduran pariwisata, tak ada satu pun dampak positif dari fenomena ini. Keganasan sludge oil menjadi racun di laut dan mematikan makhluk hidup di dalamnya.

Tangkapan ikan menurun, nilai estetika pantai berkurang, secara tidak langsung akan menurunkankan pendapatan bagi daerah dan penduduk sekitar. Padahal, tahun 2018 tercatat mendapatkan sumbangan dari pariwisata Bintan terhadap Pendapatan Asli Daerah hingga 67,7& (Negara, 2020).

Pada lingkungan yang terdampak, terjadi akumulasi total hidrokarbon yang berlebihan di udara sekitar. Sludge oil mencemari permukaan air laut maupun airtanah.

Zat yang dikandung oleh sludge oil pun berupa senyawa organik yang mengerikan sebab sifatnya beracun, karsinogenik, teratogenik, dan mutagenik terhadap lingkungan.

Lantas, apa upaya pemerintah?

Selama ini, upaya yang telah dilakukan terhadap pencemaran laut oleh sludge oil masih hanya bersifat penanggulangan seperti membersihkan minyak secara manual dengan dimasukkan ke dalam drum dan pendeteksian minyak yang telah tumpah ke laut. Selain itu, diberlakukan kebijakan untuk memberikan sanksi kepada perusahaan maupun kapal yang membuang minyak sembarangan ke laut. Padahal, apabila tidak dilakukan mitigasi, persoalan ini akan terus berpeluang besar untuk terjadi lagi. Masalah sludge oil harus lah dituntaskan dengan mitigasi dari akarnya.

Permasalahan selanjutnya: siapakah pihak yang membuang sludge oil ke laut? Mendeteksi mana kapal yang membuang limbah di laut saja sukar dilakukan. Perlu teknologi tinggi untuk dapat melakukannya, sedangkan teknologi yang tersedia sekarang terbatas pada pendeteksian lokasi tumpahan minyak dengan Synthetic Aperture Radar (SAR).

Permasalahan pencemaran laut adalah masalah yang kompleks sehingga perlu kerja sama antar aktor negara. Permasalahan sludge oil spill membutuhkan spotlight-nya untuk diperhatikan lebih lanjut.

Tak hanya Bintan yang muram karena tumpahan sludge oil. Masih banyak Bintan-Bintan lain di Indonesia maupun di dunia. Masih banyak Bintan-Bintan lain yang menjerit dalam jeratan lumpur minyak hitam.***

Baca juga: Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Bertahan Atau Hilang?

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan