Hutan Perempuan yang Kian Terancam

Dulu Air Laut Jadi Penyedap Rasa dan Mencuci Beras Kini Badan Gatal dan Hasil Tak Maksimal

Kota Jayapura, Papua memiliki hutan mangrove yang kawasannya masuk dalam Taman Wisata Alam Teluk Yotefa dengan luasan 1,675 Ha. Menjadi menarik karena di hutan mangrove ini memiliki banyak fungsi, mulai dari fungsi sosial, ekonomi dan tradisi. Sayangnya setiap tahun terjadi penurunan cakupan dan ini mengancam mata pencaharian penduduk asli.

Kawasan hutan mangrove di Teluk Yotefa sejatinya tidak hanya berfungsi pada ekologi tetapi lebih dari itu menjadi “dapur” bagi tiga kampung yaitu Kampung Engros, Kampung Tobati dan Kampung Nafri yang ada di Kota Jayapura. Setiap harinya ketika air mulai surut sekelompok mama – mama masuk ke dalam hutan ini untuk mencari bia atau kerang.

Lokasi hutan mangrove mereka juga disebut sebagai hutan perempuan atau dalam bahasa setempatnya yaitu Tonotwiyat. Hutan sakral dan dihormati oleh masyarakat di kampung karena yang boleh masuk ke hutan ini hanyalah kaum perempuan atau mama – mama.

Di hutan ini laki – laki tak diperbolehkan untuk masuk, jika ketahuan maka pelakunya akan dibawa ke para – para adat untuk dikenakan sanksi adat. Kaum pria dilarang masuk ke lokasi tersebut lantaran mama – mama jika mencari kerang atau bia selalu tak menggunakan busana. Makanya tak boleh sembarangan orang masuk apalagi seorang laki – laki.

Kaum perempuan ini masuk dan bisa berendam selama 2 jam lamanya. Jika hasil baik maka mereka bisa mendapatkan 2 kantong bia atau kerang namun jika sulit maka biasanya hanya mendapat setengah kantong. Inipun hanya digunakan untuk makan bersama keluarga.

Saat ini bisa dibilang mama – mama semakin sulit mencari bia. Ini tak lepas dari kondisi perairan laut di teluk yang sudah diselimuti limbah. Kawasan hutan mangrove yang menjadi dusun bagi mereka kini sudah banyak mengalami perubahan. Tak lagi semenarik tahun – tahun dulu.

sampah plastik
Kondisi sampah plastik di kawasan hutan mangrove Teluk Yotefa, Jayapura, Papua yang nyata mengganggu biota laut.

Bahkan dari sejumlah artikel menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah terjadi penurunan luas cakupan hutan mangrove di Teluk Yotefa. Data di tahun 2018 luasan kawasan hutan mangrove di Teluk Yotefa tersisa 233,12 Ha (Hamuna dkk, 2018) .

Padahal hutan mangrove di kawasan Teluk Youtefa ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat kampung. Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) menjelaskan telah terjadi perubahan luasan tutupan hutan mangrove pada kawasan Teluk Youtefa mulai tahun 1967 hingga 2018 dimana luasan mangrove pada tahun 1967 seluas 511,24 Ha.

Mirisnya lagi, perubahan luasan mangrove tersebut masih berlangsung sampai saat ini mengingat tingginya tekanan pembangunan di wilayah pesisir Kota Jayapura. Hasil penelitian lainnya menunjukan bahwa kerusakan ekosistem mangrove sudah mencapai 44,45 persen (Handono dkk 2014).

Begitu juga dengan kerapatan mangrove dikategorikan sedang pada pesisir, Kampung Nafri, Engros dan Tobati (Kalor, Randongkir dkk 2019). Perubahan kawasan mangrove di Teluk Yotefa pada umumnya disebabkan oleh faktor antropogenik seperti penebangan, perubahan fungsi kawasan mangrove menjadi jalan, jembatan, pemukiman dan perubahan secara alami. Ini belum lagi dengan suplai limbah baik limbah cair maupun sampah.

Ada juga penimbunan kawasan hutan mangrove dimana banyak sekali timbunan karang yang dibuang ke laut. Ada ribuan kubik material karang yang masuk ke dalam air dan menurut warga ini membuat badan mereka terkadang gatal – gatal.

Mama – mama dari Kampung Engros, Kota Jayapura membersihkan sampah-sampah plastik yang memenuhi bibir pantai disekitar kampung mereka. Persoalan sampah plastik menjadi masalah klasik di tiga kampung, Engros, Nafri dan Tobati yang hingga kini terus terjadi

Sampah yang ditemukan juga tak hanya sampah botol plastic tetapi ada, kasur, kursi maupun botol oli yang membuat mereka semakin sulit mencari. Air laut juga dulunya bisa dipakai untuk mencuci beras dimana setelah itu dibilas menggunakan dengan air tawar. Air di laut juga kadang menjadi penyedap rasa tapi sekarang sudah tidak bisa.

Beberapa waktu teman – teman dari Rumah Bakau Jayapura melakukan pemetaan masalah dan menggelar event Merawat Yang Tersisa. Satu tujuannya adalah memulai dengan membersihkan banyaknya sampah plastik. Dampak dari banyaknya sampah ini adalah biota laut baik kerang, bia, ikan maupun kepiting sulit untuk berkembang biak.

Teman – teman Rumah Bakau mengajak mahasiswa, anak sekolah dan kelompok pegiat lingkungan lainnya untuk turun membersihkan kawasan hutan bakau dengan memastikan jika saat itu tak ada mama – mama yang mencari bia tentunya.

Kami bersyukur kegiatan yang dilakukan secara kontinyu setiap akhir pekan ini mulai membuahkan hasil dimana saat ini sampah mulai jarang ditemukan dan kami berharap masyarakat di kawasan kota bisa lebih sadar, bertanggungjawab atas sampahnya.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan