Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Bertahan atau Hilang?

Indonesia memilki 556 kawasan konservasi dan 214 diantaranya masuk dalam kategori Taman Wisata Alam (TWA).

Di Provinsi Papua ( sebelum pemekaran provinsi), hanya tiga kabupaten yang memiliki kawasan konservasi dengan status Taman Wisata Alam, yakni TWA Nabire, TWA Pulau Supiori dan TWA Teluk Youtefa Kota Jayapura.

Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam  berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 372/Kpts/Um/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas areal 1.650 ha.

Delapan belas tahun berlalu luas Teluk Youtefa bertambah luas 25 ha (BKSDA, 2007) seperti dikutip dalam (Alfons, 2019) menyatakan Teluk Youtefa kemudian ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 714/Kpts-II/1996 tanggal 11 November 1996 dengan luas areal 1.675 ha.

Teluk ini tidak hanya memiliki panorama yang indah, tapi juga menjadi mama yang menyediakan sumber makanan bagi masyarakat adat pesisir yang hidup di sekitar teluk ini yaitu masyarakat adat pesisir Pulau Enggros, Tobati dan Nafri serta wilayah pesisir lainnya yang berada disekitar kawasan ini.

Teluk Youtefa juga menjadi rumah bagi 3 ekosistem pesisir diantaranya : ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Potensi sumberdaya alam lainnya adalah sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan, bilvalvia serta crustacea (Tuwo, 2014; Yenusy, 2014; Tebay et al., 2014; Jerisetouw, 2005) sebagaimana dikutip dalam (Wanimbo et al, 2017).

Ekosistem mangrove merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat pesisir disekitar Teluk Youtefa. Dikutip dalam (Hamuna & Tanjung, 2018) bahwa luasan mangrove di TWA Teluk Youtefa pada tahun 2017 seluas 233,12 ha.

Ekosistem mangrove memiliki banyak potensi, berperan penting, dan memiliki keanekaragaman hayati baik dari segi ekologi maupun sosial. Pengelolaan ekosistem  mangrove menjadi sangat penting karena merupakan inti dari siklus biologis yang berlangsung di wilayah pesisir, dimana baik manusia maupun kehidupan akuatik bergantung pada ekosistem ini.

Masyarakat memanfaatkan lahan mangrove untuk mencari kerang-kerangan, kepiting dan udang untuk di konsumsi dan dijual sebagai sumber ekonomi, serta memanfaatkan kayu mangrove sebagai kayu bakar untuk memasak dan juga fungsi alami mangrove sebagai penahan laju abrasi, gelombang pantai, erosi pantai dan menahan lumpur.

Ekosistem mangrove juga dikenal sebagai penyimpan blue carbon, dimana mangrove dapat menyerap karbon di atmosfer dan menyimpannya dalam biomassa dan sedimen, sehingga mangrove sangat berperan dalam mitigasi perubahan iklim global (Ati et al, 2014).

Tampak peralihan lahan yang terjadi di tahun 2023. / Foto: Maria Numberi

Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki nilai kearifan lokal bagi masyarakat adat pesisir yang dikenal dengan ‘’hutan perempuan’’ di mana kaum perempuan atau mama-mama dari Pulau Tobati-Enggros mencari kerang tanpa busana di sekitar kawasan mangrove, sehingga para kaum pria tidak dijinkan berada di hutan perempuan ini.

Dalam perkembangannya, Kota Jayapura telah tumbuh menjadi kota yang sangat ramai, terlebih setelah dibangunnya Jembatan Merah pada tahun 2015 sebuah jembatan sepanjang 732 meter dengan lebar 21 meter yang menghubungkan kawasan utama Kota Jayapura dengan Distrik Muara Tami yang dapat ditempuh dalam waktu yang singkat.

Jembatan ini kini dianggap sebagai ikon Kota Jayapura. Pembangunan jembatan ini memang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Kota Jayapura, pasalnya kehadiran jembatan ini telah memicu menjamurnya pembangunan cafe, restoran, venue PON dan berbagai aktivitas wisata lainnya di sepanjang pantai Holtekamp, pantai yang berada dalam teluk ini.

Kondisi ini akhirnya membawa dampak negatif terhadap Kawasan Wisata Alam Teluk Youtefa secara ekologis dan masalah sosial ekonomi terhadap masyarakat adat yang hidup di teluk ini.

Permasalahan yang terjadi diantaranya, alih fungsi lahan mangrove, penurunan kualitas perairan, pembangunan di wilayah bibir pantai, laju sedimentasi, pencemaran laut oleh sampah plastik, hasil tangkapan nelayan tradisional yang berkurang dan dampak perubahan iklim lainnya.

Tampak Abrasi pantai dan tumpukan Smpah di sekitar Teluk Youtefa. / Foto: Maria Numberi

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di teluk ini dapat disimpulkan bahwa kualitas air menurun dan mengalami pencemaran ringan.

Kondisi ini didukung dengan hasil penelitian Manalu 2012, menemukan bahwa indeks pencemaran di perairan Teluk Youtefa berada dalam status tercemar sedang dan berat sedangkan penelitian dari Hasmi, 2016 menyatakan bahwa TWA Youtefa telah tercemar logam berat plumbum yang tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan.

Pencemaran logam berat ini diduga berasal dari sampah masyarakat Kota Jayapura yang terbawah oleh muara kali hingga ke teluk.

Dampak negatif dari penurunan kualitas perairan yang dirasakan oleh masyarakat adat pesisir di kawasan ini yaitu penurunan jumlah tangkapan nelayan.

Berdasarkan diskusi dengan kepala Kampung Enggros Ruli Merauje mengatakan bahwa masyarakat mengalami kesulitan menangkap ikan karena jumlah ikan berkurang dan tidak berada di habitat yang sama lagi.

Kondisi ini membuat masyarakat harus berlayar hingga keluar teluk dengan perahu dan peralatan seadanya, sedangkan teluk ini langsung berhadapan dengan lautan lepas samudera Pasifik.

Hal berdampak pada ekonomi masyarakat lokal, keterbatasan sumber makanan, daya saing nelayan lokal yang tertinggal dengan nelayan lain yang menggunakan peralatan modern.

Ditambah lagi dengan ancaman perubahan iklim yang terus meningkat menyebabkan naiknya permukaan air laut dan abrasi. Diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan hidup ramah lingkungan menyebabkan sumberdaya alam di kawasan TWA Teluk Youtefa akan terus mengalami penurunan.

Integrated Coastal Zone Management (ICZM) dapat diterapkan oleh pemerintah dengan serius, unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi (coordination).

Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada (i) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola, (ii) kondisi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (iii) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang/produk dan jasa lingkungan pesisir (Kebijakan Penatakelolaan Parawisata Di Daerah Otonomi Baru, p:44-55, 2018).

Dari semua persoalan di atas, perubahan pada ekosistem Mangrove yang penting disoroti, mengingat akosistem mangrove di Teluk Youtefa terus mengalami degradasi akibat alih fungsi untuk berbagai kepentingan lainnya seperti pembangunan jalan lingkar, terminal, pembangunan pasar, pembangunan rumah toko (ruko), pemukiman, perhotelan dan tempat hiburan (Randongkir et al, 2019).

Peta sebaran dan kerapatan mangrove kawasan Teluk Youtefa tahun 1994 dan 2017. / Sumber: Hamuna & Tanjung, 2018

Hasil penelitian Hamuna & Tanjung (2018) menunjukan bahwa luasan mangrove pada tahun 1994 sebesar 392,45 ha, pada tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 233,12 ha.

Angka ini menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 23 tahun, TWA Teluk Youtefa telah kehilangan sebesar 159,34 hektar Ekosistem mangrove.

Angka ini cukup mengejutkan, apalagi data yang tersaji di atas, belum menghitung perubahan yang terjadi paska pembangunan Jembatan Merah dan Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2022, yang kita tahu bersama telah menyebabkan perubahan landscap TWA Teluk Youtefa dengan sangat signifikan.

Dikhawatirkan jika tidak dikendalikan, maka 10 tahun atau 20 tahun ke depan, ekosistem mangrove tersisa akan lenyap dan kita tidak akan melihat sehelai daun mangrove lagi di TWA Teluk Youtefa.  

Pemerintah dan warga Kota Jayapura harusnya berbangga, memiliki 1 dari 3 TWA di Provinsi Papua. Karena itu, sangat disayangkan jika keberadaan TWA ini tidak diseriusi dalam pengelolaannya.

TWA ini dibuat bukan hanya memberi pengetahuan kepada masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian alam sekitar, tapi dengan pengelolaan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, pengunjung dapat merasakan keindahan alam di dalamnya, dan itu akan berdampak positif pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal atau masyarakat adat yang mendiami kawasan ini.***

Baca juga: Menyelami Keheningan Yang Terancam: Mengungkap Polusi Suara Di Perairan Dan Dampaknya Pada Kehidupan Laut

Editor: J. F. Sofyan

Referensi

Ati, Restu Nur Afi, et al. “Stok karbon dan struktur komunitas mangrove sebagai blue carbon di Tanjung Lesung, Banten.” Jurnal Segara 10.2 (2014): 119-127.

Alfons, A. B. (2019).‘’Kajian Pengelolaan Lingkungan Di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa’’. Teknik Lingkungan USTJ. Jayapura.

  1. Tuwo., O. Mandala. 2014. “Analisis Kondisi Terumbu Karang Perairan Pantai Hamadi Jayapura. Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup”.Universitas Hasanuddin. Kampus Unhas Tamalanrea Km. 10 Makassar, 90142.

BKSDA, “Master Plan Pengelolaan Lingkungan Teluk Youtefa. BKSDA Papua I. Jayapura”, (2007)

G.M. Y. Jerisetouw. 2005. Analisa Degradasi Hutan Mangrove Wisata Teluk Youtefa Kota Jayapura. Vol: 2-7.

Hamuna, Baigo, Tanjung, Rosye H.R.” Deteksi Perubahan Luasan Mangrove Teluk Youtefa Kota Jayapura Menggunakan Citra Landsat Multitemporal” Majalah Geografi Indonesia Vol. 32, No.2, September 2018 : 115 – 122

Hasmi “Peranan Analisis Risiko Konsumsi Kerang Berplumbum Dalam Memanajemen Risiko Lingkungan Pada Masyarakat Di Teluk Youtefa’’ Universitas Cenderawasih, 2016.

Randongkir, Hendrikus, Henderite L. Ohee, and John D. Kalor. “Komposisi Vegetasi dan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Wisata Alam Teluk Youtefa, Kota Jayapura.” Acropora Jurnal Kelautan dan Perikanan Papua 2.1 (2019): 21-29.

Kebijakan Penatakelolaan Parawisata Di Daerah Otonomi Baru, p:44-55, (2018).

Tebaiy, Selvi, Fredinan Yulianda, and Ismudi Muchsin. “Struktur komunitas ikan pada habitat lamun di Teluk Youtefa Jayapura Papua [Fish community structure at seagrass beds habitat in Youtefa Bay Jayapura Papua].” Jurnal Iktiologi Indonesia 14.1 (2014): 49-65.

Manalu, J. (2012). Model Pengelolaan Teluk Yotefa Terpadu Secara Berkelanjutan. IPB, Bogor.

  1. Yenusi., A. Sabdono., I. Widowati. 2014. Studi Komposisi Antioksidan dari Pigmen Rumput Laut Turbinaria Conaides yang Berasal dari Perairan Pantai Hamadi Jayapura Papua. Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia VI ISBN: 979363174-0

Wanimbo, Efray, Sutrisno Anggoro, and Ita Widowati. “Pola Pertumbuhan, Respon Osmotik Dan Tingkat Kematangan Gonad Kerang Polymesoda Erosa di Perairan Teluk Youtefa Jayapura Papua.” (2017): 135-146.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan