Apa Kabar Laut dan Perikanan Kita, Apakah Baik-baik Saja?
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayah lautnya sangat luas, namun banyak sekali masalah yang dihadapi dalam kegiatan perikanan laut, seperti alat yang masih tradisional, pencemaran laut, dan cara menangkap ikan yang bersifat destruktif, seperti penggunaan bom ikan serta cantrang.
Tingginya permintaan pasar terhadap sumber daya ikan kerap memicu eksploitasi besar-besaran terhadap perikanan tangkap sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya.
Industri perikanan mempekerjakan sekitar 12 juta penduduk Indonesia. Sayangnya, sebagian besar perikanan di Indonesia dieksploitasi secara berlebihan atau dieksploitasi sepenuhnya, dan praktik penangkapan ilegal masih sering terjadi.
Eksploitasi perikanan yang seringkali mengabaikan prinsip keberlanjutan masih menjadi permasalahan di Indonesia. Oleh sebab itu, sejumlah strategi perlu diterapkan agar prinsip ekonomi dan konservasi sumber daya ikan bisa berjalan seimbang.
Hingga tahun 2022, luas kawasan konservasi tercatat 23,9 juta hektar atau 3,73 persen dari luas total perairan. Tahun 2030, kontribusi perairan konservasi ditargetkan bertambah 8,4 juta hektar. Sementara itu, target peningkatan produksi ikan tangkap dan budidaya dari 15,5 juta ton pada tahun 2020 menjadi 20,4 juta ton pada 2024. Nilai ekspor perikanan juga ditargetkan meningkat dari 6,2 miliar dollar AS tahun 2020 menjadi 8 miliar dollar AS pada tahun 2024.
Sekitar 75 persen sumber daya ikan di Indonesia telah dieksploitasi sepenuhnya atau mengalami penangkapan ikan berlebihan (KKP 2017), dan 96 persen nelayan di Indonesia adalah nelayan skala kecil, yang beroperasi dalam biaya produksi yang meningkat di perairan yang dieksploitasi secara berlebihan (KKP 2019).
Tingginya permintaan pasar terhadap sumber daya ikan kerap memicu eksploitasi besar-besaran terhadap perikanan tangkap sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya. Sebaliknya, pengelolaan sumber daya ikan dengan mengedepankan keseimbangan ekosistem akan mendorong produktivitas perikanan.
Upaya pemerintah untuk mengelola perikanan yang mengedepankan keseimbangan ekonomi dan ekologi diantaranya melalui penguatan data stok sumber daya ikan, pengembangan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI, menjadikan WPP-RI sebagai basis spasial dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan, serta mengelola dan menata zonasi di wilayah pesisir. Ada 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia.
Menilik Ikan Hasil Tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kota Tegal
Penulis berkesempatan berkunjung ke salah satu kota bahari di wilayah pesisir utara (pantura) pulau Jawa pada akhir bulan September 2023 lalu, kota Tegal tepatnya.
Kota Tegal dan Kabupaten Tegal merupakan wilayah yang memiliki potensi perikanan yang besar, dengan letaknya yang terletak di daerah pantura Jawa disertai dengan karakteristik masyarakatnya yang bergantung pada potensi perikanan tersebut.
Dua wilayah tersebut termasuk dalam wilayah homogen sebagai wilayah homogen pesisir yang merupakan wilayah yang memproduksi ikan. Melihat dari potensi yang melimpah dan posisinya yang strategis mendukung wilayah itu dalam pengembangan wilayah khususnya di sektor perikanan.
Melihat-lihat aktivitas bongkar muat ikan hasil tangkapan kapal-kapal ikan yang baru saja kembali usai 2-3 bulan berlayar di laut Indonesia, rata-rata kapal-kapal ini berlayar di wilayah WPP 711, WPP 712 bahkan hingga ke WPP 717 & 718.
Di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kota Tegal sejak subuh hingga matahari mulai terik, hampir tidak terlihat ikan-ikan berukuran diatas 1-1,5 kilogram. Seakan ini menjadi bukti bahwa laut kita sudah tidak sehat.
Sebagian besar hasil tangkapan kapal-kapal berukuran rata-rata di atas 90 GT ini adalah ikan-ikan pelagis kecil misalnya ikan layang, teri, kembung, dan lainnya. Meskipun masih ditemui ikan-ikan pelagis besar seperti ikan tongkol dan lainnya tetapi sangat jarang dan ukurannya yang relatif kecil.
Dari temuan-temuan tersebut di atas, dapat dijadikan asumsi bahwa laut Indonesia sudah tidak sehat. Berdasarkan hasil tangkapan ikan-ikan kecil ini, dapat diasumsikan juga bahwa masih banyak penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti pukat harimau dan cantrang, yang diduga sama dengan jaring tarik berkantong yang pada era menteri KKP Edhy Prabowo menjadi alat pengangkap ikan (API) alternatif.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri KP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP-NRI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.
Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari PP 27 Tahun 2021 yang merupakan amanat UU Nomor 11 Tahun 2020 alias UU Cipta Kerja. Sosialisasi dan pengawasan yang tidak menyeluruh dan optimal menyebabkan aktivitas penangkapan ikan yang serampangan tanpa mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem.
Praktik Transshipment dan Kerawanan Praktik Perbudakan Awak Kapal Perikanan Hingga Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
Muncul juga dugaan bahwa banyaknya praktik-praktik penjualan ikan di atas kapal atau yang biasa disebut Transshipment. Transshipment adalah kegiatan pemindahan muatan hasil tangkapan sumber daya ikan yang dilakukan dari kapal ikan ke kapal pengangkut ikan di tengah laut.
Kegiatan ini banyak dilakukan oleh kapal ikan yang menangkap ikan jauh dari darat untuk dapat tetap melaut dalam waktu yang lebih lama sehingga tidak perlu sering kembali ke Pelabuhan perikanan dengan cara memindahkan hasil tangkapan ke kapal pengangkut ikan di tengah laut untuk dibawa ke Pelabuhan sebelum hasil tangkapan masuk ke tahap pemrosesan.
Dampak dari kegiatan transshipment di tengah laut yang berlebihan di suatu wilayah perairan dapat mengancam kelangsungan sumber daya ikan di wilayah tersebut karena terjadi penangkapan ikan yang eksploitatif.
Lalu, dalam beberapa penelitian yang dilakukan berbagai pihak, lamanya kapal ikan berada di laut karena praktik transshipment sering menimbulkan praktik perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) atau yang sekarang disebut Awak Kapal Perikanan (AKP) dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kegiatan transshipment ini banyak dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII) sejak beroperasinya kapal pengangkut ikan (Kapal Collecting). Meskipun paling tidak kapal pengangkut ikan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 14/2011 tentang usaha perikanan tangkap walaupun dalam implementasinya tetap menimbulkan masalah baru.
Pada tahun 2021, KKP menyatakan sedang melakukan persiapan kebijakan perikanan berbasis kuota (Kebijakan Perikanan Terukur). Ini akan mulai berlaku pada 2022 dan merupakan salah satu dari beberapa inisiatif KPP untuk mengembangkan “ekonomi biru” (Kompas 2021a) untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan perekonomian Indonesia.
Pendapatan devisa global dari pasar perikanan, yang bernilai $167 miliar. Penangkapan ikan secara ilegal telah berkontribusi terhadap rendahnya ketersediaan, keberlanjutan, dan kualitas ikan di laut, yang pada akhirnya berdampak pada konsumsi.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, beberapa komoditas makanan laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi telah ditangkap secara berlebihan sehingga jumlahnya di laut lepas menurun.
Problematika ekosistem kelautan dan Industri perikanan yang mempekerjakan sekitar 12 juta penduduk Indonesia, menurut berbagai pihak menjadi kerentanan bagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Hal ini juga yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk mengiming-imingi para pekerja perikanan untuk bekerja jauh di luar negeri. Dijanjikan gaji tinggi dan tawaran-tawaran benefit lainnya, dalam pemahaman yang terbatas hal ini sangat menggiurkan bagi para awak kapal perikanan (AKP).
Tata kelola regulasi dan banyaknya oknum-oknum tidak bertanggung jawab ini pula yang mengantarkan banyaknya awak kapal perikanan (AKP) migran asal indonesia, terutama dari wilayah pantura pulau jawa terjebak dalam pusaran kerja paksa, perbudakan modern di atas kapal-kapal ikan berbendera asing di laut lepas dan tidak sedikit yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Aktivitas industri kelautan dan perikanan secara global menjadi salah satu penyebab permasalahan yang lebih besar. Sebagai penyumbang sekitar 80% kebutuhan oksigen di bumi ini, laut menjadi organ vital yang harus dilindungi dan dijaga keberlanjutannya.
Tidak hanya ekosistem dan biota-biota lautnya yang sangat beragam, manusia yang bekerja dan menggantungkan hidupnya pada laut pun harus diperjuangkan, dijaga dan memperoleh seluruh haknya termasuk keselamatannya.
Penangkapan ikan yang berlebihan dan tindakan destruktif lainnya di perairan ini mempunyai dampak yang signifikan bagi kawasan ini. Mendorong kerawanan pangan dan ekonomi serta memperburuk dampak perubahan iklim.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan kondisi gawat darurat iklim global. Krisis iklim dan aktivitas tidak berkelanjutan di sektor laut dan perikanan telah menyebabkan wilayah lautan/perairan menjadi bermasalah.
Negara harus memperkuat komitmen mereka untuk menjamin ketersediaan sumber daya laut, dikelola secara adil dan berkelanjutan. Sudah saatnya keegoisan para pihak, dominasi uang dan pundi-pundi keuntungan tidak menjadi kepentingan utama prioritas yang mengesampingkan keadilan ekologi dan keadilan sosial untuk masyarakat.
Kita tahu persis apa yang kita miliki, kita hanya tidak pernah berpikir akan kehilangannya. Tidak ada bumi (rumah) yang sehat tanpa keadilan lingkungan dan segala isinya. Tidak ada yang namanya keadilan di atas bumi yang rusak.***
Baca juga: Ribuan Orang Desak Perusahaan Seafood AS Stop Nikmati Cuan dari Kapal Ikan Pelaku Perbudakan
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan