Ancaman Pemutihan Karang Massal di Tahun 2024, Mengapa Bisa Terjadi?

Banyak peneliti mengungkapkan bahwa krisis iklim telah membuat suhu darat dan laut terus memanas. Peneliti dari University of Queensland, Australia, Prof Ove Hoegh-Guldberg sebagaimana diberitakan The Guardian menyebut bahwa perubahan suhu ini akan menyebabkan pemutihan hingga bisa berujung pada kematian karang secara massal pada 2024.

Ekosistem terumbu karang termasuk dalam ekosistem yang rawan terhadap kerusakan. Salah satu penyebab kerusakan adalah dari aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan serta perubahan iklim global yang menyebabkan kerusakan kondisi ekosistem terumbu karang serta penurunan kondisi tutupan karang hidup (Sadili et al., 2015) dalam (Dedy Kurniawan, 2021).

Menurut Chen pada tahun 2008 dalam (Romadhon, 2014) salah satu penyebab kerusakan terumbu karang yang paling berdampak besar adalah akibat pemanasan global yang menyebabkan pemutihan terumbu karang atau coral bleaching.

Terumbu karang di Vanuatu terjadi pemutihan pada Februari 2023.

Pemutihan terumbu karang ini tentunya berpengaruh bagi biota laut yang hidup dalam ekosistem tersebut. Kemudian akan berpengaruh juga terhadap aktivitas melaut para nelayan. (Satria, 2009) dalam (Romadhon, 2014).

Selain perubahan pada aktivitas ekologi, perubahan iklim juga dapat menyebabkan peningkatan intensitas dan frekuensi badai di lautan serta pesisir (Diposaptono et al., 2009) dalam (Romadhon, 2014). Hal tersebut tentunya juga menjadi penyebab lain terganggunya aktivitas melaut para nelayan yang merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang mempunyai ketergantungan yang sangat besar terhadap sumber daya laut dan pesisir (Romadhon, 2014).

Secara alami, kerusakan terumbu karang juga bisa disebabkan oleh badai topan, gempa bumi, tsunami. Faktor fisika dan kimia juga berperan terhadap kelimpahan dan distribusi terumbu karang seperti cahaya matahari (intensitas/penetrasi cahaya), suhu, cuaca, pemanasan global, salinitas, dan nutrien. Selain itu, pendinginan suhu air, peningkatan kekeruhan air, serta curah hujan yang tinggi juga mempunyai pengaruh terhadap kehidupan terumbu karang (Sutaman, 2010).

Terjadinya perubahan parameter laut tentunya sangat berhubungan sekali dengan terjadinya perubahan iklim yang ada di Indonesia. Akar Penyebab dari krisis iklim berasal dari aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan.

Menurut LIPI, terdapat beberapa indikator yang diperhatikan saat meneliti tentang perubahan iklim yaitu tren kenaikan Suhu Permukaan Laut (SPL), perubahan curah hujan, serta meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim.

Perubahan iklim juga dapat menyebabkan blooming algae yang harus diwaspadai. Selain algae, perubahan iklim disukai oleh fitoplankton beracun karena meningkatnya suhu perairan memicu cepatnya laju pertumbuhan fitoplankton beracun jenis tertentu, meningkatnya suhu perairan juga dapat meningkatkan stratifikasi suhu dimana kondisi ini merupakan kondisi yang sangat disukai oleh fitoplankton beracun dari kelompok Cyanobacteria dan Dinoflagellata.

Meningkatnya suhu perairan dapat menurunkan viskositas perairan yang dapat memudahkan fitoplankton berukuran kecil seperti kelompok Cyanobacteria untuk hanyut dan berpindah dari kolom air tertentu menuju ke permukaan sehingga lebih memungkinkan terjadinya blooming algae, terjadinya blooming algae dapat memicu kenaikan suhu perairan sehingga menciptakan kondisi perairan yang ideal bagi pertumbuhannya.

Mekanisme tersebut diduga terjadi ketika algae menyerap cahaya matahari yang lalu akan memicu kenaikan suhu permukaan. Umpan balik yang positif inilah yang diduga ikut berkontribusi terhadap kecepatan pertumbuhan fitoplankton beracun.

Beberapa akibat dari perubahan iklim yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang yakni terjadinya pemutihan pada karang atau coral bleaching. Penyebab utama coral bleaching adalah karena menghilangnya algae yang bersimbiosis (zooxhantella) yang merupakan tempat
bergantungnya polip karang untuk mendapatkan makanan.

Keadaan pemutihan karang yang terjadi terlalu lama (lebih dari 10 minggu) akhirnya akan menyebabkan kematian polip karang.

Dampak lainnya yang mengancam ekosistem terumbu karang merupakan adanya seidmentasi serta pencemaran perairan laut, penggunaan lahan yang tak terencana, eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan, serta metode pengangkapan ikan yang merusak, juga pembuangan limbah dan polusi dari kapal-kapal, pengerukan, reklamasi, penambangan pasir.

Semua aktivitas tersebut dapat mengurangi aktivitas pertumbuhan karang bahkan menjadi penyebab pemutihan karang dalam kasus-kasus yang berat.

Salah satu isu kelautan yang harus disikapi dengan bijaksana merupakan kenaikan suhu permukaan laut. Diperkirakan terjadi kenaikan suhu permukaan air laut antara 1-2⁰C hingga satu abad mendatang. Kejadian pemutihan karang akan menjadi hal yang lumrah terjadi pada 30-50 tahun mendatang.

Pulau Magnetik, Australia. Gambar di atas dan di bawah air dari karang Porites berukuran besar yang memutih dengan lebar sekitar dua meter di Great Barrier Reef. Suhu air berada pada 32 derajat Celcius pada saat gambar diambil.

Para peneliti AS dan Australia dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Science mengatakan bahwa data historis tentang suhu permukaan laut selama empat dekade, menunjukkan bahwa gelombang panas laut yang ekstrem tahun ini mungkin merupakan pembuka dari peristiwa pemutihan massal dan kematian karang di seluruh Indo-Pasifik pada tahun 2024-2025.

Kondisi ini juga diperparah dengan terjadinya El Nino, yang menyebabkan rata-rata suhu permukaan laut global dari Februari hingga Juli 2023 menjadi terpanas yang pernah tercatat. Sejak tahun 1997, setiap kejadian El Nino telah dikaitkan dengan pemutihan karang secara global.

Hoegh-Guldberg juga menegaskan, pemutihan massal dan kematian karang di Indo-Pasifik dapat menyebab kerusakan jangka panjang pada ekosistem dan jutaan orang di wilayah tropis yang bergantung pada ekosistem tersebut.

Oleh karena itu, diperlukan tindakan strategis yang sigifikan dari para pembuat kebijakan dan pemimpin dunia untuk bergerak lebih cepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Menurut Hoegh-Guldberg, negara-negara juga harus percaya dengan sains, karena ini adalah masalah teknik berbasis sain. Perlu ditetapkan parameter untuk mendapatkan sistem yang akan mendinginkan planet ini untuk sementara waktu, atau setidaknya tidak meningkat untuk sementara waktu.***

Baca juga: Terumbu Karang, Kontributor Keseimbangan Namun Kini Korban Krisis Iklim

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan