Lautan Kopi di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang mempesona dan eksotik. Umumnya, laut akan berwarna biru kehijauan hingga biru sebagai bentuk representasi spektrum warna yang direfleksikan atau dipantulkan.

Hal ini disebabkan air dapat menyerap lebih kuat cahaya yang memiliki panjang gelombang yang lebih panjang seperti spektrum warna merah, dan kuning dibandingkan dengan panjang gelombang yang lebih pendek seperti biru dan hijau.

Siang itu pukul 14. 59 WITA pada 27 April 2022 bertepatan dengan hari ke-25 Ramadhan atau fase 10 hari terakhir bulan Ramadhan 1443 H atau 2022. Handphone bergetar memberikan informasi pemberitahuan pesan baru yang dibagikan di salah satu group Whatsapp (WA) alumni. Salah satu teman yang berasal dari Bima menanyakan terkait fenomena alam yang baru saja terjadi dan mungkin terjadi untuk pertama kalinya di Teluk Bima.

Lautan di Teluk yang biasanya berwarna biru kehijauan berubah menjadi warna coklat seperti kopi susu yang baru diseduh oleh barista. Lautnya berwarna coklat bukan karena halusinasi teman saya yang merasa kehausan karena menjalankan ibadah puasa ya, hehe. Namun itu adalah fakta lapangan yang terjadi di Teluk Bima hari itu.

Terjadi perubahan warna laut disebabkan oleh faktor yang belum dijelaskan penyebabnya. Sebagian masyarakat mulai berspekulasi bahwa peristiwa tersebut terjadi disebabkan oleh adanya tumpahan minyak dari kapal Pertamina yang berada disekitar teluk tersebut.

Spekulasi ini langsung dibantah oleh pihak Pertamina sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia (2022) melalui Jatimbalinus Deden Mochammad Idhani (Area Manager Communication & CSR Pertamina Patra Niaga) yang mengatakan status operasional di Fuel Terminal Bima sudah patuh terhadap seluruh regulasi untuk pengelolaan lingkungan atau telah mendapatkan PROPER biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dinas terkait melalui Tim Bidang Perhutanan Rakyat, Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan Hidup DLH kabupaten Bima seperti yang diberitakan oleh ntb.idntimes.com (2022) melakukan pemantaun lapangan juga mengkonfirmasi bahwa gumpalan yang terjadi bukanlah tumpahan minyak, dengan dugaan sementara peristiwa tersebut mengacu pada Sea snot seperti yang terjadi pada Laut Marmara Turki.

Lalu Apakah yang Dimaksud Fenomena Sea Snot?

Sea snot dikenal juga sebagai marine mucilage atau marine snow merupakan lapisan mucus atau lendir berupa zat eksopolimer organik yang melapisi permukaan air laut yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih atau disebut blooming dari kelompok fitoplankton atau microalgae tertentu.

Blooming ekstrem dari alga biasanya terjadi disebabkan oleh meningkatnya suhu air laut dan tekanan yang diinduksi oleh manusia seperti limbah domestik dan industri, tingkat treatment yang tidak memadai, dan penangkapan ikan yang berlebih.

Di perairan laut setengah tertutup, fenomena ini menimbulkan kekhawatiran, karena memiliki dampak yang merugikan pada seluruh ekologi, terutama organisme bentik (Savun-Hekimoglu and Gazioglu, 2021).

Peristiwa mucilage yang terjadi di Laut Marmara pada Oktober 2007-2008 menunjukkan terdapat beberapa jenis fitoplankton yang merupakan produsen penghasil mucilage yakni Gonyaulax fragilis, Skeletonema costatum, dan Cylindrotheca closterium yang diidentifikasi paling melimpah.

Thallassiosira rotula juga diidentifikasi dalam jumlah yang besar. Selama observasi G. fragilis memiliki jumlah maksimum 83.600 sel/L pada November 2007 selama pengambilan sampel pertama di Teluk Izmit dan T. rotula merupakan sebagian besar spesies diatom yang melimpah dengan 131.040 sel/L pada periode yang sama.

Di Januari 2008, tercatat G. fragilis sebanyak 96.250  sel/L pada mucilage yang padat yang terkandung dalam botol sampel yang dikoleksi dari Degirmendere (İzmit Bay) dan C. closterium merupakan spesies diatom yang dominan pada sampel yang sama dengan  161.250 sel/L. (T̈ufekci et al. 2010).

Gambar 2. Sea snot di Perairan Teluk Bima. / Sumber foto: kicknews.today

Lalu Jenis Fitoplankton Apa yang Blooming di Teluk Bima?

Beberapa kampus di NTB dan kampus luar NTB yang memiliki konsentrasi di bidang kelautan merespon cepat terhadap fenomena yang terjadi di Teluk Bima. Diantaranya tim dari IPB University yang bekerja sama dengan tim Universitas Mataram (Unram) yang dilansir dari https://ipb.ac.id/news (2022) melakukan identifikasi cepat dan mendapatkan hasil adanya kelimpahan fitoplankton yang sangat tinggi dari kelas Bacillariophyceae (Diatom) yang mengarah pada genus Navicula atau Mastogloia, dengan estimasi kelimpahan 10 – 100 milyar sel/L, yang telah melewati ambang batas kelimpahan fitoplankton bagi wisata bahari dan biota laut yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 yakni 1.000 sel/mL.

Gambar 3. Fitoplankton Kelas Bacullariophyceae Genus Navicula. / Foto: Rizky Kawirian

Apa Dampak yang Ditimbulkan oleh Adanya Peristiwa Sea snot?

Sea snot berdampak langsung pada industri perikanan terutama nelayan-nelayan yang termasuk dalam kelompok small scale fisheries yang menggantungkan perekonomian mereka dengan hasil tangkapan ikan tidak jauh dari di daerah pesisir pantai.

Sea snot akan berdampak pada kematian masal ikan dan organisme bentik lain yang berada area yang terlingkupinya. Hal ini karena lapisan sea snot yang menutupi permukaan akan menghalangi penetrasi cahaya kedalam perairan yang menyebabkan organisme yang melakukan fotosintesis akan terganggu, lapisan lendir juga akan menyebabkan  berkurangnya oksigen terlarut yang dimanfaatkan oleh hewan akuatik untuk bernafas yang akan mengarah pada kematian.

Lebih lanjut, fenomena ini akan berdampak pada pariwisata yang berbasis bahari. Belajar  pada kasus Sea snot yang terjadi di Turki , Sea snot berdampak pada semua komponen perikanan dengan tingkat yang berbeda dan pasti menimbulkan kerugian moneter. Sekitar 65% nelayan di Turki menunjukkan bahwa sulit menemukan ikan dengan sistem radar, sistem pendingin kapal penangkap ikan rusak dan air sistem sirkulasi terhalang (Yıldız and Gonulal, 2021).

Mengakhiri tulisan ini, peristiwa yang terjadi di Teluk Bima terlepas dari bukan pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak, akan tetapi adanya blooming algae mengindikasikan bahwa terjadi pencemaran yang perlu ditelusuri lebih lanjut dan diperlukan jalan keluar untuk pemecahan masalahnya.

Sebab penghilangan lendir tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, karena hanya bersifat sementara. Diperlukan Langkah preventif dari semua lini dan sektor terkait agar dimasa mendatang  peristiwa ini tidak terjadi Kembali.***

Baca juga: PBB: Egoisme Negara-Negara Menyebabkan Darurat Laut (Ocean Emergency)

Editor: J. F. Sofyan

Sumber:

Savun-Hekimoğlu, Başak, and Cem Gazioğlu. 2021. “Mucilage Problem in the Semi-Enclosed Seas: Recent Outbreak in the Sea of Marmara.” International Journal of Environment and Geoinformatics 8(4):402–13. doi: 10.30897/ijegeo.955739.

T̈ufekçi, Vildan, Neslihan Balkis, Çolpan Polat Beken, Dilek Ediger, and Mustafa Mantikçi. 2010. “Phytoplankton Composition and Environmental Conditions of a Mucilage Event in the Sea of Marmara.” Turkish Journal of Biology 34(2):199–210. doi: 10.3906/biy-0812-1.

Yıldız, Taner, and Onur Gönülal. 2021. “Sea Snot and Its Impacts on the Fisheries in the Sea of Marmara and Its Adjacent Waters.” J. Black Sea/Mediterranean Environment 27(2):167–83.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220429174959-4-336119/pertamina-fenomena-di-teluk-bima-bukan-tumpahan-minyak

https://ntb.idntimes.com/news/ntb/muhammad-nasir-18/limbah-di-teluk-bima-diduga-fenomena-sea-snot-akibat-pemanasan-global/1

https://ipb.ac.id/news/index/2022/05/tim-ipb-university-berikan-respon-cepat-terhadap-fenomena-munculnya-lapisan-coklat-tebal-di-teluk-bima/c5a18463e288fee0de3bc522a9306efd?fbclid=IwAR1IPHDrCOtIuspnvAoQgg_Xh9xxR4EGPUJsFzv2H3muijwPRtXJs9FdjN8

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan