Sangihe! Negeriku Tampulawo, Begitulah Para Pelaut Lokal Menyebutnya

Ada yang rindu pulang kampung? Pulang kampung adalah waktu yang banyak dinantikan oleh sebagian besar orang, di mana di sana ada kenangan, teman-teman, dan harapan. Sembari mengenang kampung halaman kita, mari sejenak jalan-jalan virtual ke Sangihe.

Terletak di utara Provinsi Sulawesi, Kabupaten Kepulauan Sangihe menjadi salah satu kabupaten yang berada dalam status Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT).

Dalam UU No.1 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dinyatakan bahwa Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) yang memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi serta memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki luas sekitar 11.863,58 km2, dengan luas daratan 736,98 km2 (6,2%) dan lautan 11.126,61 km2 (93,8%). Luas lautan lebih luas daripada luas daratan. 

Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah Tahuna. Jika kalian melihat Tahuna dari ketinggian maka kita akan takjub dengan pemandangannya yang indah sekali. 

Pemandangan Tahuna, ibu kota Kabupaten Kepulauan Sangihe. / Foto: Afdillah

Sangihe terdiri dari 105 pulau (27 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni) dan terdiri dari 15 kecamatan.

Selain itu Kabupaten Kepulauan Sangihe berada dalam kawasan segitiga karang dunia. Di mana pada kawasan segitiga karang dunia terdapat lebih dari 600 spesies karang. Artinya Sangihe menyimpan sebagian kekayaan laut di dalamnya. 

Jadi… Sangihe menarik bukan?

Tunggu hingga kita tahu kehidupan yang ada di Negeri Tampungan Lawo ini.

Ada dua jalan pulang menuju Pulau Sangihe, bisa lewat darat atau laut. Dari manado (Bandara Sam Ratulangi) kita bisa menggunakan pesawat ke Bandara Naha dengan waktu sekitar 50 menit.

Eitsss, hampir lupa, untuk perjalanan lewat udara ke Sangihe sejauh ini jadwal penerbangannya hanya tersedia di hari Senin dan Jumat. Jadi untuk kalian yang berencana menjelajahi keindahan alam Sangihe harap perhatikan waktu tersebut ya. 

Jika menggunakan jalur laut mungkin perlu waktu sekitar 8 hingga 9 jam. Namun yang pasti, di sepanjang perjalanan kita akan disuguhkan hempasan laut yang biru serta merasakan kehidupan sosial di atas kapal.

Akhir-akhir ini banyak sekali namanya Sangihe disorot media, namun penuh dengan kontroversi. Untuk itu, mari ku tunjukkan sisi lain dari Sangihe.

Kondisi Sosial Kehidupan Masyarakat Sangihe

Sangihe memiliki sumber daya alam yang melimpah baik di darat maupun di laut. Masyarakat hidup berdampingan dengan alam sejak zaman dahulu. Saling menjaga, harmonis, dan memberi satu sama lain. 

Hutan mangrove Desa Salurang, Kec. Tabukan Selatan Tengah, Sangihe. / Foto: Afdillah

Kehidupan masyarakat di Sangihe saling melengkapi satu sama lain, baik yang hidup di wilayah pesisir sebagai nelayan maupun di daratan sebagai petani. Mayoritas profesi masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.

Hasil bumi dari daratan Sangihe sangatlah melimpah komoditas di antaranya adalah kelapa, cengkeh, pala, sagu, dan masih banyak lagi.

Untuk kebutuhan rumah tangga, masyarakat hanya tinggal memetik di halaman atau di pekarangan rumah untuk memenuhi kebutuhan dapur tanpa harus membeli ke pasar contohnya seperti tomat, cabai rica-rica, dan lain-lain.

Kekayaan Laut dan Kehidupan Masyarakat Pesisir

Untuk perikanan, wilayah Kepulauan Sangihe sangat melimpah seperti ikan tuna, cakalang, layang, tongkol, kakap merah, dan masih banyak lagi.

Dengan kondisi ikan yang melimpah sayangnya tidak jarang terjadi pencurian ikan atau penangkapan ikan ilegal di wilayah Sangihe dan menyebabkan nelayan kecil kesulitan untuk mendapatkan tangkapannya.

Maka kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah baik di tingkat nasional hingga internasional akan memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat khususnya di wilayah perbatasan seperti Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Dengan luas wilayah lautan sebesar 93,8% tentu bisa ditebak jika anugerah Tuhan terhadap perairan di Kepulauan Sangihe sungguh luar biasa. Terutama untuk ekosistem laut seperti terumbu karang, padang lamun hingga hutan mangrove. 

Padang lamun di halaman belakang rumah warga, Desa Batuwingkung, Sangihe. / Foto: Rrinjani

Secara sederhana lamun memiliki fungsi penting sebagai tempat tinggal berbagai biota laut, termasuk biota laut yang bernilai ekonomis, seperti ikan baronang/lingkis, ikan cendro, rajungan atau kepiting, teripang dan lain-lain.

Keberadaan biota tersebut bermanfaat bagi manusia sebagai sumber pangan. Selain itu, mengurangi besarnya energi gelombang di pantai dan berperan sebagai penstabil sedimen sehingga mampu mencegah erosi di pesisir pantai hingga berperan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Waaah, luar biasa sekali peranannya untuk kehidupan.

Seperti yang ada di wilayah Desa Batuwingkung Kabupaten Kepulauan Sangihe, sesekali masyarakat tidak perlu melaut jauh ke tengah perairan terutama ketika kondisi cuaca sedang kurang bersahabat. Sebagian besar memanfaatkan wilayah tangkap yang berada di sekitar perairan kampung.

Ditambah, Desa Batuwingkung sudah memiliki Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang diinisiasi oleh masyarakat. Kawasan ini terdiri dari dua zona:

  1. Zona inti, adalah kawasan yang dikhususkan untuk penelitian, pendidikan lingkungan, pelestarian, pengawasan dan pemeliharaan, jalur perahu yang menggunakan dayung.
  2. Zona perikanan berkelanjutan, di mana aktivitas yang diperbolehkan adalah untuk melakukan penelitian, pendidikan lingkungan, ekowisata bahari, menangkap/mengambil ikan, jenis hewan, binatang dan biota laut dengan menggunakan alat tangkap tradisional dan ramah lingkungan, budidaya perikanan.

Di wilayah ini juga kaya akan biota unik dan kharismatik, tidak jarang masyarakat sekitar juga melihat ikan dugong bermain di area pesisir dekat rumah mereka. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi perairannya masih baik sehingga perlu terus dijaga. Dengan demikian, perluasan penerapan kawasan konservasi pesisir di Indonesia perlu diperbanyak sehingga perlindungan terhadap laut dan kehidupannya dapat terjaga dengan baik. 

Bagi masyarakat yang hidup di wilayah pesisir, laut adalah bagian penting bagi kehidupan. Anak-anak sudah hidup berdampingan dengan laut sejak dini, bahkan untuk mengakses pendidikan mereka harus mengayuh sampan ke desa tetangga, laut memberikan sumber makanan sehari-hari, hingga lahirnya sebuah jati diri.

Tiga pelajar dari Desa Palareng saat tiba di Ddesa Batuwingkung untuk bersekolah menggunakan perahu sampan. / Foto: Rrinjani

Kerajaan Bawah Laut

Sangihe memiliki dua gunung api bawah laut yang menyedot perhatian dunia. Satu di antara dua gunung api bawah laut tersebut dinyatakan sebagai tertinggi di dunia.

Jika pendaki gunung takjub akan kebesaran Sang Maha Pencipta pada alam semesta dari ketinggian, maka melihat ciptaanNya dari bawah laut adalah kesempatan berharga untuk melengkapinya dari dua sisi yang berbeda.

Menyelami dunia bawah air Tahuna, kabupaten kepulauan Sangihe. / Foto: Jonlie / Sangihe diving center

Gunung Api Banua Wuhu

Bagi para pecinta dunia bawah laut mungkin sudah tidak asing dengan Banua Wuhu atau dikenal dengan Gunung Api Mahangetang. Lokasinya terletak di sebelah barat Pulau Mahangetang, Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Gunung ini memiliki ketinggian 400 meter dari dasar laut dan puncaknya berada di kedalaman 6 meter di bawah permukaan air.

Ekosistem laut di kawasan tersebut tentu sangatlah mengagumkan dan menjadi salah satu gunung api bawah laut dengan ekosistem terindah di dunia. Jika kita menyelam kita akan melihat gelembung-gelembung udara keluar dari celah bebatuan.

Gelembung tersebut adalah gas yang menyembur dari perut Banua Wuhu dan untuk suhu di sekitarnya cukup hangat, antara 38-39 derajat celcius. Namun, jangan coba-coba menyentuh bebatuan yang mengeluarkan gelembung tersebut karena suhunya sangat panas dan bisa membuat tangan kita melepuh saat memegangnya.

Gunung Api Kawio Barat

Pada tahun 2010 Gunung Api Kawio Barat ditemukan di bawah laut di perairan Utara Sulawesi tepatnya di sekitar pulau Kawio, Kecamatan Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Gunung tersebut ditemukan secara tidak sengaja melalui sebuah penelitian oseanografi. Setelahnya diadakan penelitian lanjutan mengenai keberadaan dan ekosistem di sekitar gunung tersebut.

Ketinggian Gunung Kawio Barat bisa mencapai 3.200 meter dan puncaknya berada di sekitar 1.900 meter di bawah permukaan laut. Gunung ini dikenal sebagai gunung api bawah laut tertinggi di dunia.

Menurut situs Good News from Indonesia, terumbu karang yang tumbuh sangatlah unik, sehat dan beragam, serta memiliki warna-warna yang menarik. Selain itu banyak sekali hewan-hewan laut seperti ikan, udang, lobster, bintang laut, cumi dan sebagainya.

Hewan-hewan tersebut tumbuh dengan sehat dan memiliki warna yang beragam. Menariknya, ekosistem tersebut bisa hidup dan tumbuh subur di kedalaman laut yang bersuhu sampai 200 derajat celcius.

Bagaimana dengan Sangihe? Mengagumkan, ya, pastinya.

Alam di negeri kita yang indah ini adalah tanggung jawab bersama untuk menjaganya. Apakah Ia akan tetap seperti yang diceritakan oleh tulisan ini dalam beberapa tahun ke depan?

Bagaimana jika ada perusakan alam terjadi pada tanah kita? Bagaimana dengan masa depan anak cucu kita nanti? Bagaimana dengan kehidupan lain selain yang dijalani oleh kita sebagai manusia?

Sangihe memiliki sejarah yang panjang dalam melawan imperialisme dan kolonialisme. Semangat para pendahulu mengalir pada generasinya. 

“I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng.” -Bataha Santiago

Baca juga: Kawasan Konservasi Perairan di Kepulauan Sangihe, Inisiatif Lokal untuk Melindungi Kehidupan Laut dan Pesisir

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan