Hidup Penuh Kesadaran adalah Landasan Membela Lautan
Pada 16 Desember lalu, saya bersama dengan tim Pembela Lautan Greenpeace mengadakan episode terakhir kelas daring Cuap-Cuap Akhir Pekan (CAKEP) dengan tema keterkaitan konsep hidup penuh kesadaran (mindful living) dengan konsumsi makanan laut yang juga penuh kesadaran (mindful seafood consumption) dengan pembicara Kakak Bagia Arif Saputra, S.Psi. dan Ibu Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes.
Apa, sih, yang dimaksud dengan hidup penuh kesadaran (mindful living) dan bagaimana cara mengkonsumsi makanan laut dengan penuh kesadaran (mindful seafood consumption)?
Mindful berarti kesadaran/keawasan dan hidup penuh kesadaran adalah hidup dengan menyadari apa saja yang terjadi di tubuh, pikiran dan perasaan mengingat ketiganya sebetulnya saling berhubungan satu sama lain.
Pentingnya hidup dengan penuh kesadaran dalam membela lautan kita didasarkan pada fakta masih banyaknya kondisi kerja yang tidak layak bagi awak kapal perikanan kita hingga mengarah pada eksploitasi, kerja paksa, maupun perbudakan modern di laut yang erat kaitannya dengan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur.
Ketidaksadaran di balik konsumsi kita bisa saja justru melanggengkan eksploitasi, kerja paksa maupun perbudakan modern sehingga kesadaran, sikap kritis dan bijak memilih, serta mengkonsumsi makanan laut sangat diperlukan.
Praktik hidup penuh kesadaran (mindful living) melalui meditasi mindfulness juga bisa digunakan sebagai sarana untuk bisa memproses/meregulasi emosi kita sehingga pada akhirnya bisa memunculkan pemaafan diri (self-forgiveness), penerimaan diri (self-acceptance), dan juga rasa cinta terhadap diri sendiri (self-love).
Rasa cinta dan welas asih (compassion) yang banyak inilah yang bisa kita berikan kepada sesama, termasuk para awak kapal perikanan yang kerap bekerja dan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dan ekosistem laut kita yang sudah banyak tereksploitasi.
Rasa cinta dan welas asih (compassion) dapat membawa kita pada rasa empati dan mengarahkan kita untuk menjadi lebih sadar, kritis dan bijak dalam membela lautan kita termasuk melalui konsumsi makanan kita.
Dari segi pemenuhan kebutuhan gizi, protein berasal dari kata proteos (yang utama), yang mana penyusun utama di tubuh kita adalah protein. Sumber protein sendiri terdapat pada banyak makanan, yakni: daging ayam, daging sapi, daging ikan, daging telur, tempe, tahu, kacang merah, kacang tanah, kacang kedelai, udang, kerang, dan cumi-cumi.
Menariknya, kacang kedelai dan kacang tanah ternyata punya kandungan protein per 100 gram yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sumber protein lainnya (termasuk makanan laut). Karena itu, semakin beragam makanan yang menjadi sumber pemenuhan protein kita, maka akan semakin baik susunan asam amino yang kita dapatkan.
Penangkapan ikan yang eksploitatif dan berlebih-lebihan demi memenuhi permintaan pasar melatari pentingnya edukasi kepada masyarakat bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan protein dari ikan. Di samping itu, kalau ada satu saja jenis makanan laut yang hilang populasinya, ini akan mengganggu keseimbangan yang lain, sehingga penangkapan yang tidak sesuai prosedur dan berlebih-lebihan akan mempengaruhi keberlangsungan makanan laut sebagai sumber makanan yang baik. Selain penangkapan, penting juga untuk menyoroti soal pengolahan makanan sebagai sumber protein.
Pengolahan yang tidak benar seperti menggoreng, membakar, memanggang – semua dengan panas tinggi suhu di atas 180 derajat Celsius menyebabkan protein rusak dan asam lemak esensialnya berubah menjadi lemak jenuh dan trans-fat yang meningkatkan LDL kolesterol dan menurunkan HDL kolesterol sehingga berpotensi menimbulkan penyakit pembuluh darah.
Pembakaran ikan/makanan laut lain yang langsung pada api menyebabkan minyak, lemak, dan protein yang terdapat pada ikan akan masuk ke dalam api, api mengubahnya menjadi gas, dikeluarkan dan masuk ke dalam ikan lagi yang kemudian berubah wujud menjadi heterocyclic acid (HCA) yang tidak dikenali tubuh manusia, merangsang peningkatan kerja sel-sel imunitas dan ketika terakumulasi bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker).
Sebaliknya, beberapa pengolahan yang baik yang dapat menyelamatkan zat gizi pada makanan tanpa merusak yaitu:
1) pematangan dengan menggunakan uap air seperti mengukus/memepes;
2) merebus (meskipun ada beberapa vitamin B seperti B3, B16, B12 yang larut pada air sehingga air rebusannya harus diminum);
3) mengolah dengan minyak sedikit seperti tongseng/cah/tumis – menggunakan panas tinggi hanya sebentar saja setelah itu diberikan air dan ikan/makanan lautnya dimasukkan; dan
4) menggoreng dengan minyak sedikit (pan-sear fry) yang mana ikan/makanan lautnya tidak terendam sempurna di dalam air dan menggorengnya dibolak-balik.
Hidup yang penuh dengan kesadaran bukanlah hidup yang sekadar hidup, sama halnya dengan makan yang penuh kesadaran (mindful eating) bukanlah makan sekadar makan.
Untuk mempraktikkan makan yang penuh kesadaran (mindful eating), setiap kita akan memulai makan, aktifkan semua panca indra, misalnya: mata kita melihat ada bagian yang gosong maka bagian tersebut perlu disingkirkan dan jika ikan/makanan lautnya porsinya terlalu besar melebihi 60 gram yang dibutuhkan tubuh kita maka perlu dipotong lebih kecil; tangan kita meraba daging ikan/makanan laut yang ada; mulut kita mengunyah dengan perlahan dan merasakan sensasi enaknya makanan tersebut. Makan dengan perlahan dapat membuat sinyal dari lambung sampai ke otak kita ketika tubuh kita sebetulnya sudah merasa cukup.
Makan yang penuh kesadaran (mindful eating) membuat kita bertanya apakah yang dimakan itu sumbernya bagus atau tidak, ketika sumbernya bagus (ikan/makanan laut lain), ikan yang bagaimana dan ditangkap seperti apa.
Ikan yang ditangkap hingga membuat para awak kapal perikanan diperlakukan dengan tidak baik demi untuk memenuhi selera manusia yang makanannya berlebih-lebihan (yang mengarah pada kondisi ekosistem laut yang tidak sehat) sebetulnya juga tidak baik untuk kesehatan karena tubuh kita tidak membutuhkan ikan/makanan laut yang berlebih-lebihan.
Hidup penuh kesadaran bukan saja hidup yang baik untuk kita, tapi juga hidup yang baik untuk sesama, untuk para awak kapal perikanan kita, untuk laut kita. Hidup penuh kesadaran adalah landasan membela lautan.***
Baca juga: Sunscreen: Sahabat Manusia, Musuh Terumbu Karang
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan