Suara Laut untuk Manusia

Semilir angin membelai lembut kulit wajahku. Mataku mulai mengamati keindahan alam ciptaan Tuhan. Aroma khas laut seakan memberikan ketenangan dari beratnya hari dan besarnya beban di pundak.

Langkahku tak sabar menelusuri tepi pantai tempat aku menghabiskan separuh masa kecilku. Ah, laut yang indah, laut yang damai. Harusnya aku lebih sering pulang, untuk menjernihkan pikiran yang mulai terkontaminasi dengan asap-asap perkotaan.

Batu karang dihadapanku berdiri tegap dan kokoh menahan kerasnya ombak. Riak kecil yang melambai, mengajak aku untuk menari bersamaan dengan birunya ombak. Tanpa sadar, aku mulai menyelami keindahannya. Semakin aku takjub semakin dalam aku terbawa dalam arus keindahan lautan.

Dengan setiap gerakan renangku, aku merasa semakin terhubung dengan kehidupan laut yang penuh misteri. Matahari bersinar terang, menciptakan sinar yang menari-nari di permukaan air, seolah-olah menyambutku ke dalam dunianya yang tak terduga.

Tiba-tiba, sesuatu mengganggu kedamaianku. Suara gemuruh mendekat, menggetarkan air di sekitarku. Lalu bayangan besar muncul di bawahku. Itu adalah seekor hiu, makhluk pemangsa yang terkenal kejam dan mematikan.

Paul Hilton/Greenpeace
Hiu karang. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Jantungku berdegup kencang, dan napasku tercekat. Aku merasa seperti ditelanjangi oleh ketakutan saat hiu itu semakin mendekat segalanya terlihat kabur, dan akhirnya aku pingsan di dalam air. Kesadaranku pun terhanyut, dunia di sekelilingku seketika menjadi gelap.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti abad kegelapan, aku akhirnya membuka mataku. Namun, apa yang aku temui di depan mataku tidak seperti yang kusangka. Aku berada di suatu dimensi yang tak terduga.

Lobster di ekosistem terumbu karang. / Foto: Richard Barnden / Greenpeace

Aku melangkah dengan hati yang penuh kebingungan, dihadapanku terbentang pemandangan laut yang menakjubkan. Pasir putih bersih terhampar luas di sepanjang pantai, memantulkan sinar matahari dengan gemilang. Air laut berkilau dengan kejernihan yang menakjubkan, mengungkapkan pesona kehidupan bawah laut yang mengagumkan.

Sepasang burung camar terbang di langit biru, menciptakan tarian elegan yang melengkapi keindahan alam ini. Aku tak dapat menahan rasa kagum dan kekaguman yang menyelimuti hatiku. Betapa indahnya laut ini, begitu murni seperti sebuah keajaiban yang nyata.

Di kejauhan, aku melihat terumbu karang yang megah dan berwarna-warni, memancarkan kehidupan dan kekayaan yang luar biasa. Ribuan spesies ikan dan organisme laut lainnya berenang dengan leluasa, menciptakan taman bawah laut yang tiada banding.

Ombak yang lembut melantunkan melodi yang menenangkan, seakan menyapa kedatanganku dengan kehangatan. Sesekali aku melirik riak gelombang yang bermain dengan karang. keindahan yang menakjubkan.

Namun, sedikit demi sedikit, rasa takjubku mulai bercampur dengan kekhawatiran. Apakah tempat ini benar-benar ada? Apakah aku telah memasuki dimensi lain? Ataukah ini hanya sebuah khayalan yang diciptakan oleh pikiranku sendiri? Kehadiranku di sini semakin membuatku merasa kebingungan dan bertanya-tanya tentang tujuan sebenarnya dari perjalanan ini.

Kemudian, sesuatu yang tak terduga mulai berubah di hadapanku. Aku merasakan suhu udara yang berbeda, lebih panas dari biasanya, dan segera menyadari bahwa ini adalah masa depan yang dipenuhi dengan perubahan iklim yang drastis.

Foto: Alex Westover & Wendy Mitchell / Greenpeace

Aku menyaksikan lautan yang kini berbeda dari kenangan indahku. Seiring langkahku menyusuri bibir pantai, aroma samudera yang dulu khas semakin tergantikan oleh bau limbah dan polutan. Limbah industri mereka mengalir begitu saja ke laut, mencemari dan merusak ekosistem yang pernah indah.

Lihatlah, ombak yang dulu menari-nari dengan keindahannya, kini terlihat patah dan terbebani oleh sampah plastik yang melingkupinya. Dalam sunyi, mereka berkoar untuk mengisahkan kepedihan lewat tarian-tarian ombak yang hentakannya pecah di daratan.

Gelombang laut menyalak dengan lantang kemudian disusul oleh kekeringan yang berkepanjangan. Riaknya yang damai mulai memercikkan api. Kita terlalu banyak memberi laut derita. Deburan ombaknya memecah keindahan bak pedang bermata dua yang menghunus tajam masa depan.

Kajsa Sjolander/Greenpeace
Seekor hiu tertangkap. / Foto: Kajsa Sjolander / Greenpeace

Aku melanjutkan perjalananku, menapaki pasir yang kini terkoyak oleh bekas galian pasir yang rakus. Ratusan kapal besar memuat beban pasir dan mengangkutnya ke berbagai tujuan di berbagai negeri.

Proses ekspor yang rakus dan tanpa pengawasan ini telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir, merusak habitat alami berbagai spesies laut. Di mana laut yang dulu indah dan melimpah kini dieksploitasi secara terus-menerus.

Penangkapan ikan. / Foto: Jiri Rezac / Greenpeace

Tidak ada lagi keindahan terumbu karang yang berwarna-warni, sekarang hanya tersisa reruntuhan yang mati dan hancur akibat kerusakan ekosistem. Ikan-ikan yang dulu menghiasi perairan dengan kecantikannya, kini menghilang, tergantikan oleh kapal-kapal besar dengan mesin yang menggema memadati perairan, mengeksploitasi sumber daya laut dengan penuh keserakahan. Aku melihat jaring-jaring raksasa yang ditarik dari laut, menyapu dan merampas kehidupan yang ada di dalamnya tanpa ampun.

Melihat keadaan ini, kesedihan meliputi hatiku. Bagaimana manusia dapat membiarkan keindahan ini terkikis begitu cepat? Bagaimana mereka bisa melupakan warisan yang diberikan oleh lautan yang dermawan ini? Sungguh, ini fenomena yang sangat mengguncang hatiku.

Nuraniku bergejolak, aku mulai gagap menyitas masa yang menyelinap. Suara masa depan mulai tertindih oleh (kebijakan-kebijakan pemerintah). Entah itu ilusi atau hanya sekedar mimpi yang singkat, aku dibuat berkejaran dengan masa lampau yang indah dan masa depan yang kelabu.

Sebuah petaka yang berujung kematian disuguhkan. Mengapa hal-hal menakjubkan mulai tergantikan oleh kehancuran-kehancuran yang merugikan? Aku mulai ketakutan. Pada Tuhan aku meminta; semoga ini hanya sejenak dan tak menetap.

Foto: Andrew McConnell/Greenpeace

Jika lautan memiliki suara, maka dia akan berkata, Andai aku adalah engkau. Aku sangat lelah, teraniaya dan berdarah. Bisakah engkau berhenti dan kita kembali hidup damai? Sungguh jika diberi pilihan, aku tidak akan mau menjadi engkau yang kejam dan tak berperasa. Sungguh.

Mungkin kita lupa bahwa waktu tidak memanjang, dia terus menyusut seiring usia. Mari melihat realita dan berhenti terlena dengan fatamorgana yang dapat membinasakan.

Lihatlah semesta mulai murka. Bagaimana bisa langit menurunkan hujannya yang menyuburkan disaat manusia justru merangkai sebuah petaka? Bagaimana bisa matahari kembali bersikap hangat disaat manusia justru ingin menghancurkannya? Dan bagaimana lautan bisa memberikan kekayaan dalam perutnya disaat manusia justru merenggut paksa apa yang ada padanya?

Semua dilakukan atas nama manusia. Mengatasnamakan kesejahteraan namun hanya bagi kaum kaya. Jika jawaban tak kunjung datang, maka bersiaplah, semesta bisa kapan saja menebas siapapun yang membuat onar.

Kapal Rainow Warrior. / Foto: Maxwell Balmain / Greenpeace

Aku dapat merasakan angin laut berhembuskan semilir rindu. Ia rindu kedamaian, ia rindu penghuni-penghuninya yang mulai punah. Dan ia teramat merindukan keindahan singgasana dirinya yang mulai memudar.

Melalui tulisan sederhana yang jauh dari sempurna ini, aku ingin mengajak, diriku dan kita semua untuk menurunkan bongkahan ego yang terlalu besar, lalu berdamai dengan laut. Mari kembali berjabat tangan. Cukuplah syukur menjadi pupuk penyubur saat nurani mulai hanyut terkubur.***

Baca juga: Menelusuri Kembali Jejak Reklamasi Pantai Losari, Makassar

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan