Perempuan dan Laku Berkesadaran (Mindful)

“Teh, toko masih bukan kan? Saya masih di jalan, tunggu yaa teh,”

Sebuah notifikasi pesan terlihat di layar ponsel yang sudah retak bagian sudut kirinya. Waktu menunjukkan pukul 16.30, setengah jam lagi sebelum jam buka Toko Nol Sampah selesai.

“Iya, santai aja,” jawab saya dilengkapi dengan emoticon tersenyum. Saya memang menjawab pesan itu sembari tersenyum, karena senang mengetahui seorang pelanggan bersemangat untuk berkunjung.

Tidak lama, datanglah perempuan yang barusan saja mengirim pesan. Berjalan masuk ke dalam toko sembari melempar senyum, tangan kanannya merapikan ujung kerudung yang sedikit terlipat karena terburu-buru membuka helm. Sementara tangan kirinya menjinjing tas kain besar, penuh beraneka macam toples dan wadah.

“Tadi agak telat selesai kantor, jadi mepet kesininya. Takutnya sudah tutup,” ujarnya sumringah sambil mengeluarkan wadah-wadah yang ingin diisi ulang dengan berbagai macam bumbu. Saya menyambutnya dengan tak kalah sumringah.

Dari sekian banyak wadah yang dibawanya, terdapat sebuah rantang susun dua. Saat mengisi rantang tersebut dengan pasta kering yang diinginkannya, saya mendengarkannya bercerita bahwa rantang itu adalah wadah makan siangnya tadi, yang kemudian ia cuci dan keringkan saat di tempat kerja.

Sengaja ia pastikan sudah bersih sejak siang hari, sehingga wadah kembali kering di sore hari dan siap untuk diisi pasta favoritnya. Saya tersenyum mebayangkan betapa panjang dan detil hal-hal yang disiapkannya untuk memastikan hari itu semua kebutuhan dan keperluannya terpenuhi tanpa menghasilkan sampah.

Selesai berbelanja kebutuhan dan mengisi penuh wadah-wadah yang dibawanya, ia pun beranjak pulang dari toko saat waktu menunjukkan pukul 17.15.  Lebih sedikit dari jam buka toko, tentu tak mengapa. Energinya yang begitu bersemangat untuk meminimalisir sampah, meski dalam kondisi lelah dan terburu-buru sepulang kerja, membuat saya juga ikut kembali berenergi meski sudah memasuki penghujung hari. Sungguh sangat sepadan.

Perempuan
Seorang perempuan menunjukan pilihan belanjaan. / Foto: John Cobb / Greenpeace

Kisah-kisah manis sederhana seperti ini, adalah energi-energi berkesadaran yang setiap hari silih berganti mengisi sudut-sudut Toko Nol Sampah, toko curah tanpa kemasan plastik yang saya dirikan sejak September 2020. Mayoritas pelanggan yang datang adalah perempuan. Mulai dari remaja, ibu-ibu muda, hingga lanjut usia.

Setiap harinya ada yang datang membawa toples kaca bekas, wadah plastik guna ulang, botol plastik, jeriken, kantong kain, kantong blacu, hingga sapu tangan.

Satu hari, ada yang datang mendonasikan wadah-wadah plastik mika bekas makan siang selama satu bulan, yang tersusun rapi dan sangat bersih. Wadah-wadah bersih, rapi dan tidak rusak menggambarkan bagaimana ia memperlakukan wadah-wadah plastik tersebut dengan sangat baik, meskipun pada umumnya wadah-wadah seperti ini digunakan hanya sekali pakai.

Di hari lain, ada yang berbelanja melalui kurir dengan mengirimkan wadah-wadah kosong disertai catatan lengkap daftar kebutuhan untuk diisi sesuai wadah yang dikirimkannya. Lalu kemudian dikirimkan kembali dengan kurir. Sebuah pemandangan yang hangat melihat bagaimana ia berupaya untuk meminimalisir produksi sampah, meski berbelanja dengan sistem delivery.

perempuan
Seorang perempuan di supermarket. / Foto: Greenpeace

Bagi saya, mereka semua tidak hanya sedang berbelanja keperluan sehari-hari, namun sedang menciptakan perubahan, dengan membangun perilaku berkesadaran (mindful).

Meditasi

Dalam sebuah sesi diskusi, praktisi meditasi dan juga penulis buku Mochammad Zaim mengatakan bahwa laku berkesadaran tidak hanya berbentuk bermeditasi. Justru, semua kegiatan sehari-hari bisa menjadi bentuk meditasi dimana energi berkesadaran (mindful) dapat dibangun.

“Misalnya salah satu contoh di Jepang ada tradisi atau ritual minum teh. Bagaimana mereka memiliki cara untuk merasakan dan menghargai setiap tegukan saat meminum teh. Bagi mereka, meminum the adalah bentuk meditasi. Dengan cara seperti itu, akan muncul energi yang berbeda (dibandingkan minum teh pada umumnya-red),” katanya.

Berkesadaran adalah proses menyadari dan mengamati fenomena yang terjadi saat ini, tanpa menghakimi. “Melatih berkesadaran bisa saat berjalan, menulis, bahkan bernapas. Dengan menyadari dan mengamati semua yang terjadi, being present saat kita melakukan aktifitas sehari-hari, maka akan muncul wisdom (kebijaksanaan). Kedewasaan spiritual kita bertambah,” ujar penulis buku Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat itu.

Sikap berkesadaran, sangat penting dalam konteks isu lingkungan. Sadar konsumsi secukupnya, sadar tidak berbelanja makanan atau barang berlebihan, hingga berkesadaraan saat memperlakukan sisa konsumsi agar tidak menjadi sampah.

Seperti apa yang direfleksikan para perempuan-perempuan yang di tengah berbagai kesibukannya mau repot-repot mempersiapkan wadah-wadah dan list kebutuhan berbelanja demi menghindari potensi sampah. Di tangan perempuan, bahkan berbelanja menjadi sebuah laku meditatif.

Dengan melakukan kegiatan sehari-hari sesederhana berbelanja secara berkesadaran, mampu memberikan pengalaman dan energi positif yang berbeda dari biasanya. Energi-energi yang tanpa disadari akan menular ke lingkungan di sekitarnya dan melahirkan perubahan-perubahan kecil lainnya.***

Baca juga: Zero Waste, Seni Mengontrol Potensi Sampah dan Emosi

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan