Dibalik Pembalut Sekali Pakai yang Sangat Praktis

Pembalut sekali pakai adalah barang wajib yang harus dimiliki setiap wanita saat ini. Selain pemakaiannya yang praktis, harganya pun sangat terjangkau. Tapi, apa teman-teman pernah terlintas, tentang bagaimana nasib dari limbah pembalut sekali pakai ini?

Apakah bisa terurai dengan baik atau justru berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan? Atau teman-teman sempat berfikir untuk berhenti menggunakan pembalut sekali pakai? Sebelum kita bahas lebih jauh lagi, yuk kita cari tahu informasi mengenai pembalut sekali pakai.

Pembalut Sekali Pakai Diproduksi Secara Masal Melalui Berbagai Macam Proses Kimia

Banyak rumor beredar tentang bahaya bahan kimia pada pembalut sekali pakai. Ternyata, itu bukan sekedar rumor. Pembalut sekali pakai mengandung bahan kimia berbahaya seperti Klorin (C12), Dioxin, Pestisida dan Plastik.

Terbukti dengan penelitian yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2015, YLKI menyebutkan bahwa ada sembilan merek produk pembalut sekali pakai yang mengandung bahan berbahaya.

Produsen Laurier, KAO grup yang namanya masuk dalam daftar pun menyanggah temuan tersebut. Mereka menyatakan bahwa produk yang mereka jual dipasaran aman digunakan dan semua produk sudah di uji serta mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

YKLI pun menduga bahwa produsen sengaja menyembunyikan beberapa informasi yang seharusnya diketahui konsumen, seperti label komposisi dan kedaluwarsa yang justru tidak dicantumkan jelas pada kemasan.

Produsen hanya menuliskan bahan baku seperti pulp yang notabennya merupakan bahan organik. “Padahal di situ juga ada kandungan klorin tapi tidak disebutkan,” ungkap Anggota Pengurus Harian YLKI Ilyani S. Andang sebagaimana dilasir dari merdeka.com.

Lalu, apa sih dampak dari penggunaan bahan kimia klorin ini?

Pertama, klorin sendiri merupakan gas kuning kehijauan. Dalam pembuatan pembalut dari bahan daur ulang, para produsen menggunakan klorin agar pembalut menjadi berwarna putih bersih.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 472/MENKES/PER/V/1996 dijelaskan, sifat bahaya dari klorin dimasukkan dalam kategori racun dan dapat menyebabkan iritasi.

Itulah sebabnya, wanita yang menggunakan pembalut sekali pakai akan merasakan gatal-gatal dan juga iritasi. Bahkan jika digunakan dalam jangka waktu yang panjang memiliki risiko kanker.

Kedua, masih banyak wanita yang memakai pembalut sekali pakai dan membuangnya ke dalam kloset atau toilet, yang pada akhirnya membuat selokan menjadi tersumbat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan limbah pembalut sekali pakai ini akan berakhir dilaut dan mengotori pantai.

Ekosistem dilaut pun akan terganggu, karena bahan kimia klorin yang terkandung dalam pembalut sekali pakai ini sangat berbahaya bagi biota laut. Limbah pembalut sekali pakai yang terus-menerus menumpuk, menjadi faktor sejumlah populasi ikan menjadi mandul dan mengembangkan kelamin ganda (interseks). Bahkan, pada kasus yang parah, fenomena interseks dan kemandulan pada ikan ini, bisa berujung pada kepunahan dan kerusakan keseimbangan sistem laut.

Selain klorin, pembalut sekali pakai juga terbuat dari plastik berperekat. Plastik inilah yang membuat pembalut sekali pakai sangat membahayakan lingkungan. Kenapa? Karena sampah plastik berperekat pada pembalut ini baru bisa terurai dalam waktu 200 – 800 tahun! Waktu   ini jauh lebih lama dibandingkan botol plastik yang membutuhkan waktu 40 – 750 tahun untuk bisa terurai.

Jika seorang wanita menggunakan 30 pembalut sekali pakai dalam sebulan, maka per-tahun menggunakan 360 pembalut sekali pakai. Jika wanita mengalami menstruasi pertama mereka pada usia 13 tahun dan menopause (kondisi berakhirnya menstruasi) pada usia 50 tahun, maka jumlah pembalut sekali pakai yang digunakan satu orang wanita adalah 360 pembalut x 37 tahun = 13.320 pembalut sekali pakai.

Jumlah ini belum termasuk pantyliners (untuk keputihan) maupun pembalut nifas (pembalut untuk pasca melahirkan).

Jumlah pemakaian pembalut sekali pakai ini akan terus bertambah, seiring dengan bertambahnya populasi wanita. Jadi, bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi 30 – 50 tahun ke depan pada ekosistem laut dan biota laut? Apakah kita masih bisa mengkonsumsi ikan, atau tidak? Jangan-jangan selama ini kita justru mengkonsumsi ikan yang sudah tercemar klorin?

Lalu, apa solusi untuk menggantikan pembalut sekali pakai?

Banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari penggunaan pembalut sekali pakai. Untuk mengurangi dampak tersebut, mau tidak mau kita sebagai wanita harus mulai beralih dari yang semula menggunakan pembalut sekali pakai, menjadi pembalut jenis lain, seperti :

1. Menstrual Cup

Merupakan produk yang berfungsi menampung darah yang dapat digunakan berkali-kali. Menstrual cup berbentuk seperti cangkir kecil dengan bahan karet yang memiliki daya serap 15-30 ml, dengan masa pemakaian selama 10 tahun. Walaupun masih banyak pro dan kontra dalam penggunaan menstrual cup ini, terutama bagi wanita Asia. Karena penggunaan produk ini yang harus dimasukkan ke dalam vagina.

pembalut
Menstrual Cup. / Foto: Via Pinterest

2. Reusable Menstrual Pads

Bentuk dan kegunaan alat ini sama persis dengan pembalut biasa, tapi alat ini bisa dicuci dan dipakai berulang-ulang. Reusable Menstrual Pads tidak mengandung bahan kimia, sehingga aman digunakan. Daya serapnya 9 – 30 ml dengan masa pemakaian selama 2 – 7 tahun.

pembalut
Reusable Menstrual Pads. / Foto: Via Pinterest

Jadi, bagaimana? Sudah berfikir untuk berhenti menggunakan pembalut sekali pakai? Mengubah kebiasaan memang sulit, tapi kita bisa memulainya dengan mencoba.

Selain ramah lingkungan, menggunakan menstrual cup / reusable menstrual pads merupakan langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita sendiri dan juga lingkungan, khususnya bagi biota laut dan ekosistem laut itu sendiri.

Baca juga: Zero Waste, Seni Mengontrol Potensi Sampah dan Emosi

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan