Kisah Awak Kapal Perikanan Indonesia Dalam Cerita Singkat: Berbulan-bulan Tak Bersandar, Gaji Pun Tak Dibayar

awak kapal perikanan indonesia

Banyak yang mengira menjadi awak kapal perikanan migran punya gaji besar dan dipenuhi fasilitas mewah selama bekerja. Namun dalam banyak laporan, realitas justru berkata sebaliknya. Bagaimana kisah awak kapal perikanan asal Indonesia?

Pada 2022 lalu, Greenpeace Indonesia mewawancarai salah seorang mantan ABK asal Indonesia yang pernah bekerja di kapal perikanan asing. Hasil wawancara ini tertuang dalam website Greenpeace Indonesia). Dalam tulisan ini, nama ABK akan disamarkan, sebut saja namanya Jojo (bukan nama sebenarnya). 

Berawal Dari Harapan

Cerita berawal saat Jojo mendaftarkan diri ke sebuah agen perekrutan untuk menjadi awak kapal berdasarkan rekomendasi seorang teman. Pada saat yang bersamaan, pihak keluarga sempat menentang rencananya. Menjadi ABK berarti ia akan menjalankan tugas yang lama dan jauh dari keluarga. 

Layar film “Before You Eat” menggambarkan oknum perekrut pekerja migran.

Namun Jojo tetap bersikukuh melanjutkan niatnya. Bukan tanpa alasan, pasalnya ia memiliki segudang harapan masa depan yang lebih baik, dan menghasilkan cukup uang untuk keperluan hidupnya. 

Mulai Bekerja

Setelah mendaftar dan melewati beberapa proses, tak menunggu waktu lama ia bertolak dari kampungnya untuk diterbangkan ke Fiji. Kejanggalan mulai Jojo rasakan. Ia baru tahu bahwa ia ditugaskan bekerja di kapal penangkap ikan longline yang akan berlayar ke Samudra Pasifik. 

Setibanya di atas kapal, ia langsung mulai bekerja. Lagi-lagi kejanggalan muncul, Jojo mengakui bekerja selama 14 jam sehari mengangkut banyak tuna sirip kuning. Menurutnya, ini termasuk jam kerja yang sangat panjang.

Dalam kapal tersebut, ada belasan awak kapal asal Indonesia lainnya. Tetapi Jojo dan awak kapal asal Indonesia lainya merasa terasingi dari kru lain, yang kebanyakan berbicara dalam bahasa Mandarin dan Vietnam.

Layar film “Before You Eat” menggambarkan kapal perikanan (Industri Penangkapan Tuna) di laut lepas.

Hari demi hari Jojo merasa tidak diperlakukan dengan baik. Ia kemudian menyadari bahwa memang kapal ini bermasalah. Jojo tidak diberikan waktu istirahat, dan tak diberi makan dan minum yang layak. Padahal, pekerjaan ini sangat bergantung pada kekuatan fisik.

“Makan tak pernah enak, bahkan tidak layak.. Sayur-sayuran busuk masih saja dimasak oleh koki kapal untuk memberi makan ABK,” tutur Jojo.

Jojo acap kali menyaksikan teman-temannya mengalami kekerasan fisik, seperti ditendang atau dipukul, karena tidak menjalankan tugas dengan baik. Ia dan awak kapal asal Indonesia lainnya lebih memilih tak melawan balik, sebab tak ada yang bisa menjamin keselamatannya selama di atas kapal.

Apakah Jojo dan kawan-kawannya tak berpikir untuk melarikan diri?

Jojo mengungkap, hampir semua awak kapal asal Indonesia ingin kabur dari kapal karena sudah tak tahan. Namun, di samping itu, mereka termasuk Jojo sendiri berpikir, jika tak menyelesaikan kontrak kerjanya hingga selesai, mereka tak akan dapat upah.

Lagi-lagi Jojo harus menelan pil pahit. Selain mengalami kondisi kerja yang tak baik, ia pun malah disuruh bekerja enam bulan lebih lama dari kontraknya. Karena sudah tak tahan, Jojo dan awak kapal asal Indonesia lainnya melakukan mogok kerja, berharap hati kapten sedikit melunak.

Tiga bulan barulah mereka berhasil pergi dari ‘lubang neraka’ tersebut dan kembali ke Indonesia. Total, selama 2,5 tahun lamanya Jojo tak menyentuh daratan.

Pulang Ke Rumah

Setiba di rumah, Jojo disambut hangat oleh keluarga dan berharap akan menyenangkan mereka. Namun, Jojo kaget bukan kepalang, karena tak ada sepeser rupiah pun dari seluruh gajinya yang disetorkan ke rekening banknya. 

Uang yang dibayangkan Jojo untuk modal pernikahan dan membuka usaha kecil-kecilan harus berakhir sirna. Hingga saat ini Jojo terus berupaya menuntut haknya.

Sebuah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa terjadi kepada para anak bangsa. Padahal, mereka dijuluki “pahlawan devisa” oleh negara.

Ratusan Awak Kapal Asal Indonesia Mengalami Perbudakan

Kisah Jojo yang membuat kita marah, bukanlah satu-satunya. Ada ratusan kisah serupa yang dialami oleh teman-teman awak kapal perikanan asal Indonesia.

Dalam laporan Greenpeace Asia Tenggara tahun 2021 berjudul “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fisher”, sebanyak 45 kapal ikan milik 26 perusahaan perikanan asal daratan Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, Cote d’Ivoire, dan Nauru dilaporkan melakukan perbudakan. Sebanyak 82% aduan adalah terkait kesewenang-wenangan atas kondisi kerja dan hidup.

Ratusan orang Indonesia, aktivis, dan pekerja migran selama peringatan Hari Migran Internasional mendorong pemerintah untuk menyelesaikan ketidakadilan industri perikanan global.

Selain itu, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 634 aduan sepanjang 2013-2021 dari para mantan ABK atau awak kapal perikanan. 

Gambar: Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)

Bisa dibayangkan, ratusan anak bangsa harus mengalami praktik perbudakan di atas kapal. 

Jika pemerintah Indonesia tak serius melakukan pelindungan pada para pekerja migran, bukan tak mungkin akan ada korban lebih banyak di masa depan.***

Baca juga: Pemerintah Tidak Serius Melindungi Awak Kapal Perikanan Migran? Massa Kembali Turun ke Jalan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan