Pemerintah Tidak Serius Melindungi Awak Kapal Perikanan Migran? Massa Kembali Turun ke Jalan

awak kapal perikanan migran

Industri perikanan global merupakan kegiatan yang banyak melibatkan tenaga kerja atau buruh dari Indonesia.

Tenaga kerja atau buruh yang berasal dari Indonesia yang bekerja di industri perikanan global ini secara teknis harus bekerja meninggalkan Indonesia (migran) dan berlayar bersama kapal penangkap perikanan berukuran besar ke tengah laut lepas selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga bisa kembali bertemu dengan daratan.

Tentu saja bidang pekerjaan ini memiliki resiko yang sangat besar dan terbukti sudah banyak diketahui para pekerja migran tersebut telah menjadi korban penipuan di dalam mata rantai industri ini.

Resiko tidak hanya datang dari faktor alam yang karena bidang pekerjaan ini secara teknis langsung bersentuhan dengan alam liar seperti laut lepas, bahkan resiko muncul dari kekacauan tata kelola industri ini yang tentunya menjadi tugas dari pemerintah.

Laporan Greenpeace Asia Tenggara pada 2021 yang berjudul “Forced Labour at Sea: the Case of Indonesian Migrant Fishers” menyebutkan bahwa ABK (Awak Kapal Perikanan) migran asal Indonesia bukan hanya mengalami kekerasan fisik, tapi juga penipuan, penahanan upah dan dokumen, isolasi, intimidasi, dan kerja paksa melebihi waktu yang wajar. 

Padahal, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran mengamanatkan perlindungan kepada seluruh pekerja migran, termasuk ABK yang bekerja di kapal asing.

Perlindungan tersebut dimulai dari persiapan keberangkatan yang meliputi pelatihan dan kelengkapan dokumen, selama bekerja, hingga tiba kembali di tanah air.

Sayangnya, kebijakan tersebut masih hanya tertuang di atas kertas semata dan belum ada kemajuan implementasi yang signifikan. Hal tersebut memaksa massa kembali turun ke jalan untuk menuntut pemerintah.

Pada 19 Desember 2022, ratusan massa dari berbagai daerah di Indonesia yang tergabung dalam Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) serta gabungan organisasi serupa menggelar aksi memperingati Hari Migran Internasional yang setiap tahun jatuh pada 18 Desember.

Aksi ini berlangsung di depan gedung Kementerian Perhubungan RI dan Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Tumpang Tindih Kebijakan antar Kementerian

Aksi massa mendesak kepada kedua kementerian tersebut untuk memperbaiki tata kelola pelindungan terhadap pekerja migran, utamanya yang bekerja di sektor perikanan dikarenakan telah terjadi tumpang tindih kebijakan di antara dua kementerian tersebut.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno mengatakan hingga saat ini peran pemerintah dalam melindungi buruh migran masih belum maksimal. Meski undang-undang dan beragam peraturan turunannya sudah mengatur tugas dan wewenang masing-masing lembaga akan tetapi tumpang tindih masih terjadi.

“Hari Migran Internasional tidak untuk dirayakan, melainkan untuk konsolidasi rakyat dalam wadah perjuangan buruh migran, baik di sektor darat maupun laut yang sampai saat ini nihil perlindungan dari negara,” tegas Hariyanto.

Kata Hari, salah satu tumpang tindih aturan yang harus segera dituntaskan adalah soal implementasi PP 22 tahun 2022. Aturan ini menegaskan penerbitan izin Perusahaan Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang diterbitkan oleh Kemenhub harus dikonversi ke Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) yang diterbitkan oleh Kemenaker.

“Kemenhub harusnya sadar bahwa mereka sudah tidak punya kapasitas mengurus awak kapal perikanan migran,” tegas Hari.

Aksi peringatan Hari Migran Internasional ini juga diikuti oleh tujuh organisasi lain yang menyuarakan isu yang sama yakni Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Human Rights Working Group (HRWG), Solidaritas Perempuan (SP), Destructive Fishing Watch (DFW), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), dan Serikat Pekerja Greenpeace Indonesia (SPGI).

Sebelumnya, di sektor laut, SBMI dan Greenpeace Indonesia sudah mencatat beragam praktik perbudakan dan eksploitasi yang menimpa para ABK atau awak kapal perikanan (AKP) migran.

Banyak AKP migran asal Indonesia yang membutuhkan bantuan dari pemerintah. Pasalnya hingga kini, tidak ada data pasti terkait jumlah AKP asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan apa yang menimpa AKP asal Indonesia bisa dicegah dengan mitigasi regulasi yang tepat. Berbagai instrumen hukum yang tumpang tindih saat ini membuat mekanisme pelindungan pada AKP tidak maksimal.

“Kita tahu saat ini ada aturan yang tumpang tindih antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja, padahal kondisi AKP kita banyak yang tidak bisa menunggu. Disaat kita tengah menggelar aksi, kita tidak tahu ada berapa banyak yang butuh bantuan segera di tengah laut,” katanya.

Kata Afdillah, dalam laporan hasil kolaborasi Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) disebutkan pada AKP mengalami kondisi kerja buruk atau kerja paksa sesuai dengan 11 indikator kerja paksa ILO seperti kekerasan, penipuan, isolasi, pembatasan gerak, lembur berlebihan, pemotongan upah dan jeratan hutang.

Hingga kini, China tercatat sebagai pemilik mayoritas kapal penangkap ikan di lautan. Diketahui praktik IUU Fishing dan pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh kapal penangkap ikan berbendera China.

“Terbaru, Departemen Keuangan AS memberi sanksi pada Dalian Ocean Fishing Co. yang merupakan pemilik 26 kapal asal China. Kapal-kapal ini mayoritas mendapat izin menangkap tuna. Tapi faktanya, banyak AKP kita yang dipaksa secara ilegal mengambil sirip hiu atau bahkan membunuh hewan laut yang dilindungi,” kata Afdillah.

Dalam praktik industri perikanan global ini, perusahaan-perusahaan nakal yang mengeksploitasi sumber daya manusia, juga kerap melakukan praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing). Praktik perikanan seperti ini jelas mengancam kehidupan ekosistem laut.***

Baca juga: Perizinan Satu Pintu untuk Selamatkan Nasib Awak Kapal Perikanan Migran dari Bayang-Bayang Perbudakan Modern

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan