Buruh Awak Kapal Perikanan, Pekerjaan Super Rentan

Hari buruh menginjak tahun 2024, khusus pada sektor perikanan, sorotan terhadap praktik perbudakan dan perdagangan orang, khususnya yang terjadi pada buruh awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja di kapal berbendera asing masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam melindungi warganya.

Pada 2019 dan 2021 lalu, Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerbitkan dua seri laporan investigasi tentang praktik perbudakan terhadap awak kapal perikanan. Kebanyakan korban adalah orang Indonesia yang menjadi buruh di kapal-kapal berbendera (perusahaan) Taiwan atau China dan hasil tangkapannya dipasarkan di negara-negara maju seperti kawasan Eropa dan Amerika Serikat.

Greenpeace Indonesia juga tergabung dalam Tim 9, koalisi informal sejumlah individu perwakilan masyarakat sipil berlatar belakang beragam dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, manning agency, dan akademisi juga fokus mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para buruh di sektor kelautan dan memuat sejumlah pembaharuan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.

Tahun lalu, Tim 9 merampungkan laporan berjudul “Rekomendasi untuk Akselerasi Peta Jalan Ratifikasi Konvensi Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, 2007 (K-188)”. Laporan ini berisi sembilan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia mempercepat pembahasan peta jalan untuk meratifikasi konvensi itu. Laporan itu telah dikirim ke Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, dan sejumlah pemerintah daerah.

Awal April lalu, Tim 9 lagi-lagi mendesak pemerintah dengan melakukan aksi damai teatrikal di tiga kota jelang Hari Nelayan Nasional 2024. Aksi tersebut mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera meratifikasi ILO K-188 sebagai jalan konstitusional melindungi awak kapal perikanan dan nelayan migran asal Indonesia dari jerat lingkaran perbudakan di atas kapal.

Pada kejadian lain, 14 April dini lalu, KKP menangkap kapal ikan Indonesia bernama KM Mitra Utama Semesta (MUS) usai melakukan alih muatan di Laut Arafura, Maluku. Penangkapan dilakukan usai KM MUS melakukan alih muatan dari dua kapal ikan asing, Run Zeng (RZ) 03 dan 05, yang tak berizin. Dua kapal ikan asing tersebut kabur dan masih dalam tahap pengejaran hingga saat ini.

Menurut keterangan resmi KKP, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menemukan sejumlah bukti foto dan video dari gawai milik para anak buah kapal (ABK) KM MUS yang menunjukkan kegiatan alih muatan ikan dari dua kapal RZ.

KKP Tangkap Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing
KKP tangkap pelaku transhipment dari kapal asing. / Foto: KKP RI

Total muatannya mencapai 100 ton, yang proses alih muatan berlangsung selama lima hari berturut-turut. Di KM MUS, KKP juga menemukan 870 drum—atau setara dengan 150 ton BBM solar—dan 58 orang ABK (Buruh Awak Kapal Perikanan).

Greenpeace Indonesia mengapresiasi keberanian dan langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang berhasil menangkap kapal ikan Indonesia yang diduga melakukan praktik patgulipat dengan kapal ikan asing berupa alih muatan (transhipment) ikan ilegal di laut, penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), dan perbudakan terhadap awak kapal perikanan.

Menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Sihar Silalahi, kegiatan alih muatan ikan di laut rentan mengarah ke penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing). Semua bisa terjadi karena sifatnya yang terisolasi dari pemantauan.

Kata Sihar, pemerintah Indonesia masih mengizinkan alih muatan ikan di laut untuk dilakukan, namun kurangnya kontrol dan persyaratan pemantauan yang ketat membuat celah yang besar bagi para pelaku IUU fishing untuk beroperasi.

“Padahal, laporan Environmental Justice Foundation (EJF) pada 2023 lalu menunjukkan persentase yang besar bahwa kapal yang melakukan alih muatan di laut juga melakukan praktik IUU fishing. Ini harus jadi perhatian. Kalau pemerintah tidak siap melarang praktik alih muatan ikan seperti yang dulu pernah dilakukan, setidaknya praktik itu sekarang harus melewati proses perizinan dan pemantauan yang baik, bisa lewat observer, pemantauan vessel monitoring system (VMS) yang transparan ke publik dan verifikasi izin yang menyeluruh. Tanpa ini, pemerintah masih mungkin kecolongan lagi,” tambah Sihar.

Menurut Sihar, kasus yang terjadi saat ini harusnya bisa mulai menyadarkan publik bahwa IUU fishing tak bisa dianggap remeh, dan bisa berujung ke rusaknya ekosistem laut Indonesia karena dieksploitasi tanpa batas. Oleh karena itu, ia mendesak agar KKP segera mengambil tindakan hukum yang tegas bagi para pemilik KM MUS dan RZ—yang saat ini masih dalam tahap pengejaran.

“Pemerintah perlu segera melacak siapa pemilik kapal-kapal itu, siapa penerima manfaat dari praktik ilegal itu, dan ke mana jaringan regional dan global bisnis mereka berlabuh. Kami meyakini praktik seperti ini sangat sistematis dan terkoneksi antar negara. Itu artinya, potensi kerusakan ekosistem laut dan kerugian akibat IUU fishing ini tak hanya terjadi di Indonesia,” kata Sihar.

Tak hanya itu, Sihar juga mendesak KKP untuk segera memberikan notifikasi kasus ini ke organisasi pengelolaan perikanan regional atau Regional Fisheries Management Organizations (RFMO), termasuk ke sekretariat The Regional Plan of Action (RPOA-IUU).

“Kami juga melihat bahwa peran pelabuhan perikanan di Indonesia dalam mencegah kapal-kapal yang terindikasi melakukan IUU fishing keluar dan masuk pelabuhan belum optimal. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme inspeksi kapal berbasis risiko, di mana kapal-kapal ikan dikategorikan menjadi kapal berisiko tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan catatan sejarah aktivitas IUU fishing yang dilakukan oleh kapal atau perusahaan yang terafiliasi dengan kapal tersebut. Kemudian, dalam inspeksi kapal di pelabuhan perlu menyesuaikan kategori yang telah disusun. Hal ini penting untuk mencegah praktik IUU fishing dari hulu, sejak kapal masih berada di pelabuhan dan belum melaut,” kata Sihar.

“Kasus ini juga seharusnya menjadi peringatan bagi para pengusaha dan konsumen seafood di level global, khusus negara-negara maju yang menjadi titik akhir rantai pasok seafood, untuk mulai berhati-hati dengan produk seafood dari Indonesia. Karena selain diduga didapat dari praktik IUU fishing, namun juga hasil eksploitasi para awak kapalnya,” tambahnya.***

Baca juga: Menjelang Hari Nelayan Nasional, Presiden Didesak untuk Segera Ratifikasi Konvensi ILO 188 Demi Nasib Nelayan

Artikel Terkait

Koalisi Perdana antara Serikat Pekerja dan Organisasi Masyarakat Sipil: Menuntut Pelindungan Pemerintah Indonesia dan Taiwan bagi Awak Kapal Migran Indonesia melalui Kesepakatan Migrasi

Koalisi Pelindungan AKP Migran Indonesia di Kapal Ikan Taiwan, seluruh anggotanya mendesak otoritas Indonesia dan Taiwan segera merumuskan kesepakatan yang menjamin hak asasi manusia, terutama hak perburuhan AKP migran Indonesia, yang ditempatkan untuk bekerja di kapal ikan Taiwan sepanjang proses migrasi mereka.

Tanggapan