Koalisi Perdana antara Serikat Pekerja dan Organisasi Masyarakat Sipil: Menuntut Pelindungan Pemerintah Indonesia dan Taiwan bagi Awak Kapal Migran Indonesia melalui Kesepakatan Migrasi

abk perikanan

Koalisi tujuh serikat pekerja yang mewakili lebih dari 30.000 Awak Kapal Perikanan (AKP) Indonesia di kapal-kapal ikan seluruh dunia, serta 12 organisasi masyarakat sipil di Indonesia dan Taiwan telah dibentuk untuk memperjuangkan standar-standar pelindungan yang lebih baik bagi AKP migran Indonesia.

Menamai diri sebagai Koalisi Pelindungan AKP Migran Indonesia di Kapal Ikan Taiwan, seluruh anggotanya mendesak otoritas Indonesia dan Taiwan segera merumuskan kesepakatan yang menjamin hak asasi manusia, terutama hak perburuhan AKP migran Indonesia, yang ditempatkan untuk bekerja di kapal ikan Taiwan sepanjang proses migrasi mereka.

Koalisi ini menandai gerakan perdana yang mempersatukan serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil di Taiwan dan Indonesia guna memperjuangkan hak AKP migran. Aspek-aspek yang diperjuangkan oleh koalisi ini dituliskan secara sistematis dalam proposal yang berisikan rekomendasi berbasis bukti (evidence-based) kepada otoritas di Indonesia dan Taiwan.

“Kami bersatu lintas batas untuk menyampaikan tuntutan kami. Kami menyerukan otoritas Taiwan untuk mengadopsi praktik terbaik internasional dan memenuhi komitmennya dalam mendukung hak-hak perburuhan untuk semua pekerja, termasuk hak-hak yang termaktub dalam perjanjian internasional terkait,” ujar Achmad Mudzakir, Ketua Forum Pertemuan Pelaut Indonesia (FOSPI).

Koalisi menuntut hak-hak perburuhan yang fundamental dan kondisi kerja yang layak, kebebasan berserikat dan anti-retaliasi, perjanjian kerja bersama, Wi-Fi, upah yang adil, mekanisme pengaduan masalah (grievance mechanism), dan pertanggungjawaban pemberi kerja dalam proses perekrutan, termasuk biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh pemberi kerja. Koalisi telah menyampaikan tuntutan ini kepada otoritas Taiwan dan Indonesia. Pada Maret, tuntutan ini telah disampaikan kepada Badan Perikanan Taiwan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Luar Negeri, serta Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan di Jakarta.

Koalisi juga telah menyampaikan Proposal dalam diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD) tentang Pelindungan AKP Migran Indonesia, yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia pada 6 Mei 2024. Kementerian/Lembaga pemerintah yang hadir dalam FGD ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Menanggapi proposal oleh koalisi, Pemerintah Indonesia menyetujui bahwa penempatan pekerja migran di sektor perikanan perlu diatur dalam pengaturan tersendiri. Namun, otoritas terkait di Taiwan belum menanggapi tuntutan yang diajukan pada 1 Maret 2024.

Di dalam FGD, Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyampaikan, “Kami telah mencatat dengan cermat dan mempertimbangkan semua rekomendasi yang disampaikan oleh koalisi. Kami mengakui kompleksitas pelindungan AKP migran dan berkomitmen melanjutkan diskusi bermakna dengan koalisi dan pemangku kepentingan lain untuk mendalami isu-isu penting dan praktik terbaik tentang pelindungan AKP migran Indonesia.”

“Kami mendesak otoritas Indonesia dan Taiwan untuk mengembangkan kesepakatan terkait pelindungan AKP migran Indonesia. Kami menghendaki tempat di meja perundingan agar kesepakatan tersebut dapat melindungi AKP Migran Indonesia yang telah memainkan peran penting dalam memastikan makan malam tersedia di meja-meja di Taiwan,” kata Syofyan, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (SAKTI).

Jeremia Humolong Prasetya, peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), menyampaikan pentingnya FGD dengan pendekatan multi-stakeholders. “Di samping model tripartit, pendekatan whole of government dan whole-of-society perlu menjadi landasan bagi pelaksanaan pelindungan AKP migran Indonesia, termasuk ketika otoritas Indonesia mengembangkan suatu kesepakatan dengan otoritas Taiwan.”

AKP migran di kapal ikan perairan jauh Taiwan, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, menyuarakan kondisi yang mereka hadapi, termasuk kerja paksa, kekerasan fisik, pemotongan upah, kematian dan hilang di laut, serta kurangnya komunikasi dengan keluarga dan dunia luar selama berbulan-bulan di laut.

“Jika industri perikanan di Taiwan ingin mempertahankan kelanjutan usahanya, mereka harus terus-menerus mendengarkan aspirasi para AKP dan serikat pekerjanya, serta organisasi masyarakat sipil. Pelaku-pelaku bisnis ini harus menjalankan usaha yang bertanggung jawab bagi pemenuhan hak asasi manusia AKP migran,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

“Ketiadaan akses Wi-Fi yang rutin untuk menghubungkan AKP migran ke darat membuat lautan secara efektif menjadi ‘zona tanpa serikat’ bagi para pekerja ini. Oleh karenanya, sangat penting bagi pemerintah Taiwan dan Indonesia untuk mengakui hak-hak pekerja AKP migran, dimulai dengan penyediaan akses Wi-Fi, dan memastikan hasil tangkapan harian bebas dari pelanggaran hak perburuhan para pekerja,” kata Valery Alzaga, Wakil Direktur Global Labor Justice.

Perjuangan AKP migran di kapal ikan Taiwan kembali mendapatkan perhatian usai kisah tragis yang baru-baru ini diberitakan The Guardian. Dalam artikelnya, The Guardian menyoroti kondisi kerja mengerikan yang dihadapi oleh AKP Migran di kapal ikan perairan jauh Taiwan. Kapal tersebut menyuplai ikan, termasuk tuna dan cumi-cumi, senilai USD1,1 miliar ke pasar global.

AKP migran merupakan penyumbang besar perekonomian Taiwan, dengan lebih dari 750.000 orang bekerja di industri kunci itu dengan kondisi yang tidak adil dan penuh kekerasan. Lebih dari 22.000 migran yang berasal dari Asia Tenggara bekerja di industri perikanan Taiwan, yang terdiri dari lebih dari seribu kapal penangkap ikan di seluruh samudra dunia.***

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan