Kabar Baik! Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pelindungan ABK Akhirnya Disahkan

Gugatan Awak Kapal Perikanan

Perjalanan panjang perjuangan para ABK dalam memperjuangkan haknya dan medorong negara untuk aktif dan serius menindaklanjuti persoalan perbudakan modern dalam industri perikanan global sedikit medapatkan titik terang.

Pasalnya, Peraturan Pemeritah (PP) Penempatan dan Pelindungan ABK telah disahkan pemerintah pada Rabu, 8 Juni, lalu. PP ini akhirnya terbit setelah empat tahun lamanya sejak Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diundangkan.

Sebelumnya, tiga mantan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang pernah bekerja di kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan gugatan yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa, 31 Mei 2022, yang menuntut Presiden RI untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan. Langkah hukum yang dilakukan para ABK ini didukung oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia.

PP ini disahkan bertepatan dengan hari pertama sidang gugatan administratif yang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta, namun perwakilan pemerintah tidak hadir.

Mantan ABK yang sebelumnya melakukan gugatan ke PTUN, Pukaldi, mewakili kedua rekannya, mengungkapkan kegembiraan atas kemenangan kecil dari perjalanan panjangnya memperjuangkan hak dirinya dan ABK lain.

“Dengan disahkannya PP Penempatan dan Pelindungan ABK, tentu saja saya senang. Berarti perjuangan saya dan teman-teman selama ini tidak sia-sia. Kami berharap pemerintah juga segera mengambil langkah tegas agar pihak-pihak yang bertanggung jawab dapat membayarkan hak gaji saya yang belum terbayarkan sampai sekarang. Saya bekerja selama 2,5 tahun, tapi hak gaji saya sama sekali belum terbayarkan. Perjuangan belum berakhir,” kata Pukaldi.

Kuasa hukum perwakilan ABK, Viktor Santoso Tandiasa berharap perwakilan pemerintah dapat hadir di sidang kedua pada Rabu, 15 Juni, dan menyampaikan secara resmi bahwa objek yang digugat telah dikabulkan. Dengan demikian gugatan administratif dapat dicabut.

“Namun demikian perjuangan tidak berhenti di situ. Kita akan terus menempuh upaya lain untuk memperjuangkan hak-hak para penggugat yang belum diberikan. Selain itu, kita juga perlu mengkaji isi dari PP ini guna memastikan bahwa PP ini benar-benar dapat memberikan pelindungan bagi para ABK migran asal Indonesia,” tutur Viktor.

Di samping itu, Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno menjelaskan bahwa upaya hukum menggugat presiden ke PTUN memang harus dilakukan karena pemerintah telah abai, tidak menjalankan amanat Pasal 64 dan Pasal 90 UU PPMI.

“Faktanya, Presiden baru mau menandatangani PP Penempatan dan Pelindungan ABK setelah tiga mantan ABK perikanan mengajukan gugatan ke PTUN. Artinya, untuk perbaikan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK, SBMI bersama Greenpeace Indonesia dan jaringan memang harus terus mendorong dan mendesak pemerintah agar menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan UU,” ujar Hariyanto.

Senada dengan Hariyanto, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Afdillah berharap mulai saat ini dan seterusnya pemerintah bisa benar-benar hadir dalam upaya pelindungan para ABK migran Indonesia. Menurutnya, sikap lamban pemerintah dalam mengesahkan PP Penempatan dan Pelindungan ABK hingga adanya gugatan dari ABK ini menjadi preseden buruk, betapa pemerintah perlu didesak melalui meja hijau dulu untuk akhirnya mengambil langkah.

“Tentu kita senang PP ini diterbitkan, walaupun tetap ada kekecewaan pada pemerintah. PP ini harusnya sudah diundangkan sejak beberapa tahun lalu, tapi kenyataannya terlambat dan telah berdampak buruk bagi keadaan para ABK. Meski begitu, hadirnya PP tersebut tetap menjadi kemenangan signifikan dari kampanye kita untuk mendorong Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam lingkaran bisnis perikanan global, untuk bergerak ke arah yang sama mengakhiri praktek perbudakan di laut, dan menegakkan pengelolaan perikanan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” ujar Afdillah.***

Baca juga: Potret Muram ABK Perikanan di Indonesia

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan