Potret Muram ABK Perikanan di Indonesia

abk indonesia

Mimpi para Anak Buah Kapal (ABK) perikanan untuk membantu perekonomian keluarga ternyata tak sesuai dengan impian mereka.

Kehidupan di kapal perikanan yang notabene berbendera Cina cukup untuk membuat banyak ABK trauma. Salah satunya adalah cerita Yuli Triyanto (26) yang trauma dengan kondisi bekerja di kapal perikanan berbendera Cina.

Dan kisah Yuli bukan satu-satunya, banyak Anak Buah Kapal (ABK) perikanan di Indonesia memiliki trauma yang sama. Bahkan banyak dari mereka harus kehilangan nyawa saat mencari nafkah di laut lepas sana.

Terombang-ambing tanpa kepastian gaji dan terus mendapatkan intimidasi dalam pekerjaan, membuat kisah mereka patut menjadi perhatian kita semua.

Mimpi Mengubah Kehidupan Keluarga

Memiliki mimpi tinggi untuk mengubah kehidupan jadi banyak cita-cita orang. Apalagi di zaman serba ‘flexing’, rasanya hidup nyaman bisa didapatkan semua orang.

Mengejar mimpi hingga kemana saja, bahkan menjadi seorang Anak Buah Kapal (ABK) di kapal negara lain bisa menjadi pilihan.

Namun ternyata, bagi ABK yang bekerja di kapal perikanan, mimpi mengubah kehidupan keluarga bisa jadi membawa petaka bahkan harus kehilangan nyawa.

Kisah Yuli Triyanto (26), yang menyabung nasib di tengah laut menjadi ABK di sebuah kapal berbendera Cina, salah satunya.

Kisahnya diangkat oleh Kompas.com, dimana ia menjadi korban penipuan sebuah PT di Pemalang. Menurutnya, ia dijanjikan untuk mendapatkan gaji sebesar 300 USD (4,2 juta rupiah per bulan).

Dimana gaji ini akan dibayarkan 3 bulan sekali dan dikirimkan ke rumahnya di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Namun ternyata hal itu hanya omong kosong belaka, uang yang dijanjikan dipotong sebesar 100 USD per bulan.

Ia dijanjikan dimana uang yang dipotong ini akan diserahkan kepadanya saat kontrak habis. Ternyata ia tak pernah menerimanya hingga ia pulang ke kampung halamannya.

Cerita Yuli bukan hanya satu-satunya. Kondisi pekerja awak kapal perikanan sangat rentan di tengah laut.

Tak hanya satu dua terdengar kabar bahwa para pekerja diintimidasi dan diancam jika melaporkan diri kepada otoritas setempat.

Kenyang Kekerasan di Atas Kapal Perikanan       

abk perikanan
Aksi untuk medorong perlindungan ABK perikanan di Indonesia. / Foto: Adhi Wicaksono

Melihat data yang dikeluarkan oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, banyak aduan dari para ABK yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan selama bekerja di kapal perikanan.

Perlakuan yang tidak menyenangkan mulai dari tidak mendapatkan makanan yang layak. Beberapa cerita para ABK harus memakan ikan umpan ketika memancing, memakan makanan yang haram bagi muslim, memaksa ABK meminum air hasil sulingan air laut atau bahkan minum air laut, tidak diberi makanan yang bergizi dan kadang dibiarkan kelaparan berhari-hari.

Tak hanya itu, mereka juga dipaksa bekerja diatas batas wajar. Jika mereka mengaku kelelahan atau sakit, malah akan dipukuli atau diberikan pekerjaan yang lebih berat lagi.

Tak ayal, banyak ABK yang akhirnya harus meregang nyawa diatas kapal. Jenazah mereka disimpan di lemari pendingin bersama ikan-ikan atau dilarung di laut. Jarang mayat ABK bisa kembali ke tanah air untuk dimakamkan secara layak.

Beban kerja ABK selama melaut sangatlah berat. ABK bisa bekerja sampai 3 jam per hari. Karena kapal perikanan tidak memberikan waktu beristirahat.

Hal ini tidak sesuai dengan Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, dimana ABK seharusnya berhak istirahat selama 10 jam sehari yang tetap melaut selama 3 hari.

Selain itu posisi ABK yang rentan, karena gaji bisa dipotong begitu saja, semua dokumen penting ditahan oleh penyalur, ataupun mereka juga dipaksa untuk tetap di kapal sampai waktu kontrak berakhir. Sehingga posisi tawar mereka sangatlah rendah dan tak bisa banyak berbuat apa-apa.

Negara Hadir di Kapal Perikanan Asing

Disinilah seharusnya negara hadir untuk mendukung ABK untuk mencari nafkah tanpa harus khawatir akan perlakuan yang berbeda dengan ABK berasal dari Cina.

Kejadian mengenai ABK yang diintimidasi bukan hanya sekali dua kali. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menunjukkan bahwa November 2019 – Juni 2020 terdapat 31 awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal ikan China.

Dimana dari 31 orang, tujuh orang meninggal, 3 orang menghilang tanpa kabar dan sisanya selamat.

“Sedangkan dalam kurun waktu 2020-2021 DFW-Indonesia menerima 69 pengaduan dengan total korban yang mencapai 169 orang,” jelas Abdi Suhufan, selaku Nasional Koordinator DFW-Indonesia (antaranews.com).

Kejadian ini mestinya jadi perhatian pemerintah dan penyalur tenaga kerja keluar negeri. Potret muram kisah ABK di luar negeri ini tak seharusnya terjadi di negara yang memiliki konsep maritim.

Perbaikan penangkapan perikanan dan membuat pembaruan teknologi agar semua kapal bisa dilakukan dengan negara agar bisa menjadi tuan di tanah sendiri.

Carut Marut Perekrutan ABK di Indonesia

Data dari Serikat Buruh Migran Indonesia mengatakan “perbudakan” ABK Indonesia disebabkan oleh carut-marutnya tata kelola aturan perekrutan, pelatihan dan penempatan pelaut perikanan Indonesia, sehingga menjamurnya agen-agen pengiriman “gadungan” manning agent atau penyalur tenaga kerja seringkali menjadi terbukanya celah perbudakan modern di Indonesia.

Ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang sudah terjadi bertahun-tahun.

Selain carut marut, banyak calon ABK yang mendaftar untuk bekerja di kapal perikanan tidak memiliki kemampuan yang memadai.

Setiap pelaut wajib memiliki sertifikasi Basic Safety Training (BST), sedangkan di manning agent “gadungan”, seringkali dokumen tersebut dibuat palsu.

Sehingga tak ayal mereka diberikan informasi palsu dan dibuatkan pelatihan palsu agar bisa masuk kerja di kapal. Padahal kemampuan Basic Safety Training sangat dibutuhkan agar bisa bertahan di laut.

Parahnya jika ada ABK yang wafat di kapal, seringkali jenazahnya dilarung ke laut, tanpa bisa dikuburkan di tanah kelahirannya.

Hal ini membuat seringkali orang yang bekerja di kapal perikanan seperti menggadai nyawa mereka ketika mendaftar sebagai ABK.

Dari cuplikan film Before You Eat, seorang oknum manning agent mengaku sangat senang jika seorang ABK mati di laut.

Hal ini diamini oleh Abdi Suhufan dalam wawancara pribadi, menurutnya manning agent mendapatkan biaya asuransi dari pihak perusahaan untuk disampaikan ke keluarga duka.

“Setiap ABK yang meninggal, biasanya mendapatkan dana asuransi ratusan juta, tapi yang masuk ke keluarga korban hanya beberapa persen dari uang yang dibayarkan oleh perusahaan,” katanya.

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan para keluarga ABK yang harus kehilangan anggota keluarga sebagai pencari nafkah. Dan kejahatan seperti ini seperti masif dan tersturuktur.

Karena itu, sistem perekrutan harus mulai diperbaiki agar tidak ada lagi nyawa ABK yang harus hilang karena sistem perekrutan yang tak jelas.

Insiatif yang Bisa Dilakukan Pemerintah

Ada beberapa inisiatif yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga terkait yang mengurus soal ABK Perikanan :

  1. Membuat penguatan perlindungan terhadap ABK dalam bentuk peraturan yang lebih representatif selain UU Ketenagakerjaan,
  2. Negara bisa memonitoring seluruh pergerakan ABK melalui manning agent terdaftar, bisa dikatakan, negara harus tegas untuk menutup jalur manning agent yang menyalurkan ABK ilegal,
  3. Membantu menguatkan asosiasi para ABK sehingga bisa saling berdiskusi dan saling membantu,
  4. Membentuk pusat pengaduan bagi para ABK yang menjadi korban kekerasan. Salah satunya adalah Fishers Center yang bisa diakses oleh para korban. Dimana laporan ini akan disambungkan ke instansi pemerintah terkait yang bisa membantu menyelesaikan masalah korban.

Semoga kedepannya nasib ABK tak terombang-ambing seperti saat ini. Dibutuhkan sinergi banyak pihak agar nasib para ABK lebih baik dan bisa mewujudkan mimpi mereka untuk membantu keluarganya. Aamin.***

Baca juga: Turtle Heaven: Habitat Penyu di Gili Trawangan

Editor: J. F. Sofyan

Sumber : bisnis.tempo.co, regional.kompas.com, bbc.com, voaindonesia.com, antaranews.com

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan