Perizinan Satu Pintu untuk Selamatkan Nasib Awak Kapal Perikanan Migran dari Bayang-Bayang Perbudakan Modern
Setiap tahun ribuan Awak Kapal Perikanan (AKP) migran pergi meninggalkan Indonesia dan menjadi “pahlawan devisa” bagi Indonesia.
Karut-marutnya tata kelola dan kurangnya kesungguhan pemerintah untuk menjaga dan melindungi pekerja migran khususnya pada bidang awak kapal perikanan (AKP) masih menjadi persoalan hingga saat ini. Bahayanya, kondisi ini apabila berlarut dalam pembiaran maka akan terus mengancam nasib warga negara yang hingga saat ini bergelut dalam pekerjaan ini.
Melansir dari situs Greenpeace Indonesia tidak satu pun dari pihak pemerintah tahu pasti berapa jumlah AKP migran, di kapal mana saja mereka bekerja, dan bagaimana kondisi mereka yang sudah berada di laut sana.
Ketika AKP migran terjebak beragam masalah ketenagakerjaan seperti mengalami kekerasan fisik, gaji tak dibayar, ditipu, dokumen ditahan, dan lainnya, berbagai pihak saling tunjuk dan lepas tanggung jawab.
Lemahnya kehadiran pemerintah yang bertanggung jawab juga memberikan celah bagi perusahaan-perusahaan manning agency atau agen perekrut dan penyalur AKP migran nakal beroperasi.
Menurut Greenpeace Indonesia, dari puluhan manning agency yang beroperasi di Tegal, tak sedikit yang menawarkan “paket instan” untuk mengurusi proses penyaluran AKP migran. Praktik umum yang nakal misalnya memintai calon AKP migran sejumlah uang dengan jaminan semua urusan berkas beres dan mereka tinggal menunggu diberangkatkan. Ini merupakan salah satu celah yang mereka manfaatkan untuk memalsukan beragam dokumen dan mengirim awak kapal tanpa legalitas yang jelas.
Salah satu mata rantai dari karut marutnya peraturan pemerintah adalah persoalan perizinan tenaga kerja AKP serta perusahaan perekrut ini terjadi tumpang tindih antar sektor dari lembaga pemerintah.
Misalnya dalam PP No. 22 Tahun 2022 tertulis bahwa pihak yang merekrut dan menempatkan AKP migran harus mengantongi izi dari Kemnaker RI berupa Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) berupa Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI).
Akan tetapi yang berlangsung selama ini, ternyata Kementerian Perhubungan juga punya wewenang memberikan izin untuk manning agency, yakni melalui penerbitan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awal Kapal (SIUPPAK) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 59 Tahun 2021. Hal menjadi tumpang tindih dan tidak satu alur.
Dengan terbitnya PP 22/2022 seharusnya wewenang Kementerian Perhubungan tersebut gugur. Dan leading sector dalam perizinan dan pengawasan dalam perekrutan dan penempatan AKP migran adalah berada pada Kementerian Ketenagakerjaan.
Perizinan satu pintu, dan tindak lanjut pemerintah untuk segera membenahi tata kelola peraturan hingga pelaksanaan turunannya untuk menjamin nasib tenaga kerja AKP migran perlu untuk terus didorong bersama.***
Tanggapan