Bukan Lomba Tarik Tambang, Melainkan Lomba Alat Tambang Dipaksa Masuk Pulau Sangihe!
Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke-77 tahun!
Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia kali ini membawa saya mengingat kembali aksi damai pada tanggal 7 Juli 2022 lalu saya lakukan bersama teman-teman Greenpeace Indonesia dan juga Koalisi Save Sangihe Island (SSI) di depan Kantor Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral.
Sebenarnya, Apa yang Terjadi di Pulau Sangihe?
Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 Tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) memberikan izin area operasi seluas 42.000 ha di atas Pulau Sangihe yang hanya memiliki luasan total 73.700 ha.
Artinya, lebih dari separuh luas Pulau Sangihe, yang notabene termasuk pulau kecil, akan rusak karena eksploitasi tambang emas yang dilakukan tersebut. Surga kecil di utara Pulau Sulawesi ini sungguh terancam!
Apakah Kita Sudah Benar-Benar Merdeka?
Kasus Pulau Sangihe yang sudah ramai diperbincangkan sejak 2021 hingga kini masih belum menemukan titik terang.
Berita terkait Pulau Sangihe pun kian tenggelam selepas ditutupnya kasus meninggalnya Wakil Bupati Sangihe di pesawat tahun lalu.
Padahal Keputusan Tata Usaha Negara Manado sudah menyatakan bahwa izin lingkungan PT. TMS sudah dibatalkan dan segala aktivitas PT. TMS seharusnya ditangguhkan selama proses hukum berjalan sehingga PT. TMS tidak memiliki izin lingkungan.
Namun pada kenyataannya, update informasi malam kemarin, sejumlah kendaraan berat milik PT. TMS memaksa masuk di saat masyarakat sedang lelap (instagram @save.sangihe).
Padahal, pihak KESDM sudah menerima hasil kajian dan juga bukti 150.000 masyarakat yang menandatangani petisi change.org/SaveSangiheIsland yang menuntut operasi PT. TMS dihentikan.
Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Bukankah ini merupakan bentuk penjajahan yang mirisnya dilakukan oleh bangsa kita sendiri?
Salah satu perkataan masyarakat adat Sangihe di depan Gedung KESDM yang teringat oleh saya dan membuat saya merasa miris, sakit hati, dan menangis:
“Kami, masyarakat Pulau Sangihe, tidak pernah meminta makan dari kalian, wahai pemerintah. Kami tahu, tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi kalian yang berada di dalam sana, jauh lebih tinggi dari kami. Namun mengapa kalian justru masih mencari makan melalui tanah kami? Mengapa kalian mengganggu kehidupan kami dan membuat kami menderita? Mengapa kalian rusak sumber air dan makanan kami, rusak laut kami, rusak hutan kami?” ujar Ibu Jull Takaliuang saat itu.
Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Atau mungkin tanggal 17 Agustus yang kita peringati setiap tahun hanyalah sebuah seremonial belaka tanpa adanya pengejewantahan nilai dan amanat dari UUD 1945 serta Pancasila sebagai dasar hukum yang mengatur kehidupan kita, bangsa Indonesia?
Sampai kapan pemerintah terus berpihak pada segelintir elite dan kelompok kepentingan dibandingkan masyarakatnya itu sendiri?
Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas terkait apa yang terjadi di Pulau Sangihe hingga detik ini, kalian juga bisa menonton dokumenter dari Watchdoc berjudul “Sangihe Melawan” berikut ini:
Baca juga: Rencana Pertambangan PT. TMS Dan Alasan Warga Pulau Sangihe Menolak
Editor: J. F. Sofyan
Responses