Merawat Laut dengan Salah Satu Kearifan Lokal Suku Bajo di Meko

Kalau dalam dua atau tiga hari sudah mendapat hasil yang cukup. “Saya biasa bilang stop”, 

kata Ama Laga kepada nelayan suku bajo di Mekko.

Indonesia memiliki beragam etnis suku bangsa, ras dan agama. Tidak ketinggalan, banyak juga kepercayaan lokal atau kearifan lokal tradisional yang masih dilestarikan dari  generasi ke generasi. Dari dulu hingga hari ini. 

Ulang tahun hari laut kali ini membuat saya lebih tertarik untuk menelusuri informasi dan mendedikasikan diri untuk menulis tentang budaya kearifan lokal suku bajo di Mekko, yang hidup mereka selalu berdampingan dengan laut. Jika dihitung, sudah ratusan hingga ribuan tahun lamanya mereka menaruh hidup di laut. 

Pekan lalu, Minggu  16 Juni 2024 itu saya berkunjung sebuah dusun yang letaknya berada di pesisir pantai, namanya dusun Mekko. Lokasinya sekitar 7 KM dari desa induk Pledo, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Untuk tiba di pemukiman ini, saya harus melewati jalan aspal dan sebelum tiba di tujuan, sekitar 1 km, saya harus melewati jalan dengan medan tanah berlubang, penuh batuan tajam, dari hasil agregat proyek yang belum diaspal. Tampak beberapa bagian jalan merupakan pecahan semenisasi akibat  pengikisan banjir pada musim hujan. Maklum Pembuatan jalan tanpa badan dan selokan di pinggir kiri dan kanan. 

Saat tiba di sana, saya di sambut hangat oleh seorang bapak yang sedang bersantai siang di bale bale bambu bersama seorang anaknya. Siang hari itu dia tidak melaut, karena esok  harinya idul adha ( hari raya kurban ). 

“Hari ini saya tidak mencari karena besok kan lebaran Idul Adha, atau hari raya kurban”, katanya. Kebanyakan penduduk disini beragama Islam Muhammadiyah, termasuk  pria tua itu. Mencari adalah melaut, sebuah istilah umum, yang digunakan nelayan suku Bajo di Meko.

Bapa itu bernama lengkap Sopan Suku, namun sapaan akrabnya Ama Laga. Nama Ama Laga  merupakan nama dari orang gunung, merupakan hasil perkawinan silang antara orang pesisir dan orang pegunungan. Ayahnya dari suku pesisir sedangkan ibunya berasal dari suku orang pegunungan. Penggunaan nama orang gunung kerap kali menggunakan nama para leluhur. Ama Laga mengaku sudah terjadi percampuran budaya (Akulturasi Budaya) antara budaya bajo dan budaya orang pegunungan. 

Sopan Suku Alias Ama Laga. Sumber : Doc. Pribadi
Sopan Suku Alias Ama Laga. Sumber: Doc. Pribadi

Ama Laga mengatakan, leluhur  mereka  di Meko, aslinya berasal dari Bone, salah satu daerah di Sulawesi selatan. Hingga kini sudah ratusan tahun lamanya mereka tinggal di Meko, jika terhitung dari kedatangan pertama nenek moyang suku Bajo di Meko.

Seperti suku Bajo lainnya, profesi utama mereka ialah sebagai nelayan. Di bale bale bambu itu, Ama Laga lalu bercerita tentang berbagai budaya suku Bajo. Mulai dari ilmu bela diri, tarian dan kearifan lokal merawat laut. Tapi siang ini kami lebih fokus membahas tentang kearifan likal mereka dalam merawat sumber daya laut.

Ama Laga mengatakan, aslinya mereka, nelayan Bajo melaut di Mekko 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Mereka menangkap ikan dengan jumlah tertentu. Menangkap secukupnya saja. Hanya untuk  kebutuhan konsumsi di rumah bersama keluarga di rumah.  Jika memiliki hasil lebih, mereka gunakan untuk barter bersama para petani, untuk mendapat ubi, jagung, pisang, kacang kacangan dan sayur mayur. Tapi itu dahulu, sudah puluhan hingga ratusan tahun lalu. 

Hidup sebagai nelayan di laut, Ama Laga mengatakan dirinya dan nelayan suku bajo lainnya memiliki kepercayaan arif dan  mereka mewarisi pengetahuan tentang cara merawat laut dengan segala isinya.  Mereka diajarkan mengucapkan syukur atas rezeki oleh para leluhur mereka,dari hasil yang peroleh dari laut. Mereka percaya ada sebuah kerajaan di laut yang menjaga semua sumber kehidupan di laut.

” Kami percaya ada sebuah kerajaan di laut yang selalu menjaga segala sumber kehidupan di dalamnya”, kata Ama Laga dalam kepercayaan Suku Bajo di Meko. “Kepercayaan itu sudah diwariskan secara turun temurun kepada kami” .

Ilustrasi Nelayan Bajo di Meko. / Sumber : Google.


Suka duka mencari kehidupan di laut terkadang tidak selalu mulus dan tidak menyenangkan. Ama Laga mengisahkan, terkadang dia, temannya atau mereka harus pulang tanpa membawah hasil tangkapan yang cukup dengan muka kecewa. Tapi Laga mengatakan, suku bajo di Mekko punya kepercayaan tersendiri untuk menjawab masalah ini.

Semua nelayan Bajo di Mekko bisa meminta rezeki kepada penjaga laut. Ketika mereka  (para nelayan ) tidak mendapat ikan, “kita bisa  meminta” tegas Ama Laga.

Meminta dalam bahaso Bajo namanya Malaku Delei berarti meminta rezeki kepada penjaga laut.  Dalam kepercayaan suku Bajo, ikan akan sendirinya menghampiri para nelayan. Dan dalam kepercayaan mereka, ikan tersebut berasal atau diberikan oleh penjaga laut.

Jika sudah cukup hasilnya, segeralah pulang. Begitu harap kepada para nelayan di Meko. Beliau kerap kali menegur nelayan yang dalam 2 sampai 3 hari kalau mereka sudah mendapat tangkapan yang cukup.

“Saya biasa bilang stop dulu “, tegur Ama Laga menirukan kata-kata pada para nelayan di Meko. 

Jangan lupa! Nelayan yang sudah meminta harus membayar dengan memberi makan para penjaga laut.  “meminta tapi harus ingat untuk memberi mereka makan ( para penjaga laut red )”, jelas bapa yang bernama lengkap Sopan Suku itu.

Memberi makan laut dalam bahasa bajo di Meko disebut Cinakangbasal. Ama Laga mengatakan, ketika ada nelayan yang lengah, atau lupa tidak melakukan Cinakangbasal, nelayan tersebut akan mengalami musibah dalam menjalani kehidupannya, contohnya akan dikejar Hiu, jatuh jatuh sakit, bahaya  di laut dan hal merugikan kehidupan semacam lainnya.

Dalam kebiasaan suku Bajo di Mekko, petunjuk atau peringatan selalu datang dalam bentuk mimpi. Ketika peringatan biasa muncul bahaya dalam  mimpi, mereka akan memanggil suku dengan keturunan dari suku Bajo Lolo Wajo. Ama Laga menjelaskan, hanya suku tertentu yang bisa melakukan seremoni Cinakangbasal.  Biasanya suku Bajo Lolo Wajo berperan dalam membacakan mantra dan mempersembahkan sesajen di laut dan di darat. Kebiasaan ini memang sudah dikesepakati dan diwariskan oleh leluhur suku Bajo di Meko.

Ama Laga sendiri termasuk dalam suku ini ( Lolo Wajo red ). Ada 3 jenis suku bajo di Mekko yaitu, suku Lolo Wajo, Kapitan, dan Punggawa . Tidak kalah dalam berperan, kedua suku lainnya ini pun memiliki peran dalam rapat ketika ingin melakukan Cinakangbasal. Sungguh kerjasama  penuh toleransi dalam kehidupan bermasyarakat satu sama lain.

“Kita dari ketiga Suku ini harus duduk bersama. Itu sudah ada dalam aturan adat”, Terang Ama Laga.

Membuat sesaji Cinakangbasal

Untuk merangkai sesajen Cinakangbasal, makanan dirangkai dalam bentuk sesajen. Bahan atau material untuk membuat sesajen  Cinakangbasal serba alami. Mereka menggunakan bahan alami dari alam (bebas plastik).

Sesajen Cinakangbasal menggunakan sesajen yang terbuat dari nasi dan telur.  Nasi diwarnai menjadi warna hitam, merah, hijau, putih, kuning, hijau, dan beberapa warna lain. Warna nasi juga dibuat dari pewarna alami dari alam ( non sintetik, bukan dari pewarna kimia buatan ). Sesajen yang disusun melingkar secara berlapis dengan warna warni yang tersusun rapi meningkat keatas tersebut memiliki arti tersendiri.

“Masing masing warna pada nasi itu memiliki nama. Mereka itu adalah  manusia. Kami yang mengalami musibah di laut  (misalnya tenggelam) bisa memanggil dengan menyebut nama mereka untuk meminta tolong”, kata Ama Laga, dalam kepercayaan Bajo di Meko. Menurut Ama Laga dan dalam kepercaayaan orang Bajo, mereka tidak akan tenggelam di laut. saat masih bayi mereka sudah menyatu dengan laut.

Mereka lalu meletakan sejajen itu di atas daun pisang. Tatanan urutan warna warni sesajen tampak persis menyerupai Cake pada resepsi pernikahan pengantin.

Setelah di tata dengan rapi telur rebus (yang sudah di kupas kulitnya) diletakan tepat di tengah lingkaran nasi tersebut. Sesajen bersama daun pisang ditaruh di atas dulang. Dulang sebagai wadah sesajen tapi hanya sesajen yang dipersembahkan saat seremoni Cinakangbasal. Sesajen siap dipersembahkan di darat dan laut.

Cinakangbasal dibuat dua macam untuk dilakukan di dua tempat, di laut dan di darat.
Pada tempat pertama seromoni yang dilakukan di darat, mereka lakukan di dekat atau di bawah pohon. Sesajen yang digunakan Cinakangbasal di darat memiliki perbedaan dengan sesajen Cinakangbasal yang dilakukan dilaut. Untuk Cinakangbasal di darat nasi warna kuning tidak digunakan.

Ilustrasi Cinakangbasal di darat. Sumber : Google
Ilustrasi Cinakangbasal di darat. / Sumber : Google

Cinakangbasal di darat menggunakan  air. Air diisi di dalam bambu yang dibuat menyerupai tumbler (berukuran sedang botol air aqua). Cinakangbasal kedua dilakukan di laut dengan kedalaman yang cukup dalam.

“Biasanya nasi warna kuning berada di lapisan paling atas”, jelas Ama Laga. Cinakangbasal di laut tidak menggunakan air seperti di darat”.

Ritual Cinakangbasal terkesan sakral dengan niat tulus. Ketulusan akan terbukti ketika sesaji yang tenggelam secara perahan dalam keadaan tetap utuh hinggah ke dasar laut.

“Tandanya penjaga laut menerima dengan hati senang”, terang bapa yang akrab disapa Ama Laga itu. “Jika sebaliknya sesajen akan pecah berantakan sebelum seremoni dilakukan”.

Ilustrasi prosesi Cinakang Basal di laut. Sumber : Google
Ilustrasi prosesi Cinakang Basal di laut. / Sumber : Google

Selain itu, Sopan Suku alias Ama Laga juga menceritakan kepercayaan dan pantangan yang pada suku Bajo. Dia menceritakan bahwa suku bajo di Meko tidak disarankan untuk menggunakan warna kuning pada perahu mereka. Karena dalam kepercayaan mereka, warna kuning berarti warna pantangan bagi para penjaga laut. Misalnya hewan liar buas di laut bisa membahayakan diri mereka. Salah satunya Hiu.

“Ada kaitan dengan  nasi warna kuning yang di tempatkan paling atas pada Cinakangbasal laut. “ terang Ama Laga.

Selain itu ada juga pantangan tertentu lainnya. Ama Laga menuturkan bahwa Suku Bajo Lolo Wajo tidak disarankan untuk mewarnai perahu mereka dengan warna kuning. Jika tidak, malapetaka akan menimpa kehidupan mereka saat sedang mencari atau mengais rezeki di laut.

Ama Laga menceritakan pengalaman malang beberapa masa silam yang pernah menimpa kehidupan adiknya. Adiknya membuat kesalahan dengan melanggar pantangan dalam kepercayaan suku mereka Bajo Wolo Wajo, dimana tidak boleh menggunakan warna kuning pada bagian-bagian tertentu di tubuh perahu.

Kala itu adiknya memancing mengunakan perahu dengan layarnya warna kuning. Meskipun mendapat banyak ikan, namun nasipnya hidupnya tiba tiba teracam, dikejar oleh seekor Hiu yang ukurannya amat besar.

“Memang suku kita tidak boleh menggunakan warna kuning pada perahu sampan”, kata Ama Laga menjelaskan pantangan suku mereka. “Itu pantangan suku, bukan dibuat buat”.

Selain itu, Ama Laga juga menguraikan, ada hal yang dikeramatkan atau dipantangkan oleh suku Bajo.  Ama Laga menceritakan, suku Lolo Wajo mengkeramatkan ikan naga di laut. Ikan ini dikeramatkan karena berkat jasanya pernah menolong leluhur suku Lolo Wajo yang terkena musibah saat melaut.

Saat itu, perahu mereka ( leluhur suku Bajo Lolo Wajo red ) kehilangan kemudi dan tersesat. Saat itu juga ikan inilah yang menolong menyelematkan nenek moyang suku Bajo Lolo wajo dengan, dengan memposisikan dirinya di tengah papan lubang perahu yang terbuka dengan sendirinya. Ikan ini lalu mengantar mereka ( leluhur Suku Lolo Wajo red ) dari laut sampai ke daratan. Nenek moyang suko Bajo Lolo Wajo kemudian melakukan sumpah dan untuk mengkeramatkan ikan tersebut untuk tidak menangkap atau dimakan. 

Hari sore tiba. Jarum jam telah menunjukan sekitar pukul 5 sore. Saya harus beranjak dari Mekko.

Dalam perjalanan saya menyimak dan merenung kembali hasil cerita bersama Ama Laga. Ternyata ada hal yang sangat adem dalam menjaga laut. Saya menemukan jawaban di depan mata, ketika dunia sedang bingung mencari jawaban atas permasalah kerusakan laut, entah itu penangkapan ikan yang berlebihan, kerusakan terumbu karang, serta masalah sampah plastik atau hal merugikan lainnya.  Jawabannya sungguh sederhana. Cukup pahami, lakukan dan menirukan tiga hal sederhana yang mereka suku bajo lakukan. Hanya itu.

Untuk hidup lebih hidup, kita bisa belajar dari mereka tentang 3 cara serderhana dalam menjaga dan merawat sumber daya laut, diantaranya:

  1. Konsep ikan berkelanjutan sudah dilakukan suku bajo dengan   menangkap ikan secukupnya. Hasil tangkapan yang terukur untuk  konsumsi keluarga, jika lebih itu tidak banyak hanya untuk kepentingan barter.
  2. Cara bersyukur melalui ritual Cinakangbasal. Cinakangbasal adalah bentuk kearifan lokal dengan mengucapkan rasa syukur atas rezeki yang diperoleh. Sejaji ini menggunakan bahan serba alam ( bebas bahan kimia sintetik dan bebas plastik )
  3. Pantangan suku Bajo adalah bentuk konservasi sumber daya laut. 

Dari Meko saya coba bergaung dan mengajak, kita patut berterima kasih kepada petuah dari suku Bajo yang hidup di Meko. Mari kita dukung kearifan lokal mereka. Sesuai tema hari laut ini, Laut sehat, Masyarakat berdaya. Kearifan lokal yang lestari, kehidupan terus berlanjut. Mari  kita bijak merawat laut, seperti Suku Bajo di Mekko.***

Artikel Terkait

Tanggapan