Double Burden, Tambang Pasir Laut Galesong Kabupaten Takalar
Belakangan ini, masalah penambangan pasir laut di pesisir pantai Galesong Kabupaten Takalar kembali muncul di berbagai media seusai penetapan tersangka kasus korupsi pada aktivitas penambangan tersebut terungkap.
Aktivitas penambangan pasir laut di Takalar yang beroperasi sejak tahun 2017 silam, meninggalkan kesan pilu bagi masyarakat pesisir di 3 kecamatan yaitu kecamatan Galesong, Galesong Selatan dan Galesong Utara.
Kawasan pesisir pantai galesong yang berhadapan langsung dengan selat makassar menyimpan berbagai keanekaragaman hayati dan ekosistem laut yang melimpah.
Kekayaan alam ini menjadi surga bagi nelayan Takalar yang menggantungkan hidupnya dengan hasil tangkapan ikan laut. Namun, sejak dimulainya penambangan pasir di kawasan pantai tersebut semuanya seketika berubah.
Penambangan pasir laut yang di lakukan di pesisir pantai Galesong Takalar menjadi sumber utama untuk pembangunan reklamasi mega proyek Center Point of Indonesia (CPI) dan Makassar New Port (MNP).
Nyatanya, dibalik keindahan kawasan reklamasi CPI Kota Makassar setidaknya terdapat 2.160 KK di kabupaten Takalar yang harus menanggung peliknya dampak abrasi yang terjadi tiap tahunnya.
Sejak aktivitas tambang tersebut dibuka, sudah menuai banyak polemik dari penduduk lokal dan aktivis lingkungan. Upaya penolakan dari warga sekitar mulai masif dilakukan sejak Maret 2017 sebagai bentuk perlawanan terhadap perusahaan PT Boskalis Internasional Indonesia yang merupakan dalang dibalik semua ini. Perusahaan ini diketahui sebagai pemenang tender reklamasi kawasan CPI tersebut.
Aksi yang dilakukan masyarakat serentak di 21 desa pada Juli 2017 lalu membentang sepanjang 35 km di muka pantai dari kecamatan Galesong Utara hingga Galesong Selatan sebagai bentuk perlawanan akibat penambangan yang tak kunjung dihentikan.
Namun, karena aksi tersebut tak kunjung membuahkan hasil, perlawanan pun dilayangkan ke sektor pemerintah kabupaten Takalar, yakni menuntut DPRD Kabupaten hingga Kantor Gubernur Sulsel agar segera menghentikan aktivitas tambang tersebut. Selain itu, sebagai bentuk protes nelayan juga sempat menyandera kapal tambang pasir yang diam-diam beroperasi pada malam hari.
Ironinya akibat dari penambangan pasir tersebut, berdampak pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah Pantai Galesong. Sejak dimulainya penambangan ini, konflik pada masyarakat nelayan pun terjadi dengan pihak perusahaan yang melakukan penambangan.
Dari sisi ekonomi yaitu, penurunan hasil tangkapan ikan nelayan yang sebelum adanya penambangan bisa memperoleh 1 basket perhari, sedangkan saat ini bisa seminggu bahkan lebih. Hal ini tentu akan mempengaruhi pendapatan para nelayan yang mayoritas nelayan tradisional.
Diketahui bahwa, dari segi keanekaragaman hayati perairan galesong memiliki keanekaragaman hayati yang sangat bagus hingga menjadi kawasan konservasi perairan dalam pola ruang KSN Mamminasata.
Bahkan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga memiliki aset pada wilayah ini dalam produksi benih udang unggulan atau disebut Balai Benih Air Payau Takalar. Namun, semuanya menjadi hancur akibat ulah penambangan di kawasan tersebut.
Penambangan kemudian berhenti sementara akibat penolakan keras dari masyarakat dan menunggu proses pengesahan Perda Sulsel No. 2 tahun 2019 yang menjadi acuan pengelolaan penambangan pasir dengan memperhatikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) selesai. Namun, ternyata aktivitas pertambangan hanya berhenti sebulan dan beroperasi kembali hingga Maret 2018.
Dengan demikian, selama tahun 2017-2018 pengerukan pasir tersebut tidak mengacu pada aturan ini yang mengakibatkan penambangan dilakukan di areal kurang dari 8 mil yang menyebabkan terganggunya biota laut, terumbu karang, dan tanaman mangrove. Hal ini pun menjadi penyebab terjadinya abrasi di berbagai wilayah pesisir pantai Galesong.
Disisi lain, bahwa pengerukan pasir yang dilakukan juga tidak diimbangi dengan upaya mitigasi bencana abrasi. Sehingga akibat dari dalamnya permukaan laut yang dikeruk mengakibatkan kemampuannya memecah ombak menurun sehingga akan terbawa ke bibir pantai dan menjadi abrasi.
Dalam kurun waktu 7 tahun terakhir, 10-15 meter wilayah daratan tersapu bersih dengan fenomena ini sehingga batas garis pantai pun bergeser kedaratan. Sebagai contoh adalah wilayah pemakaman penduduk sekitar yang kondisinya sangat memprihatinkan seperti kain kafan dan tulang belulang manusia ditemukan di area tersebut.
Alih-alih berhenti, proses penambangan rupanya berlanjut pada Februari hingga Oktober 2020 yang terpusat pada kawasan kecamatan Galesong Utara. Aktivitas penambangan ini kembali memecah amarah masyarakat pesisir Galesong.
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar dan warga Galesong kembali menuntut pemerintah untuk menghentikan aktivitas tambang pasir untuk kepentingan pembangunan reklamasi lanjutan di CPI dan MNP.
Kemudian, ketika konflik antara warga dan perusahaan tak terbendungkan, aksi warga kembali dramatis dengan menghadang kapal yang beraktivitas. Hal ini kemudian membuat beberapa warga diciduk pihak kepolisian dan angkatan laut yang sedang berjaga dengan tuduhan pengancaman. Sungguh miris negeri ini ketika yang salah kemudian dibela oleh para penegak hukum bangsa.
Berlanjut pada penambangan yang terus dilakukan dengan dibawah pengawalan dari polair membuat warga yang berprofesi sebagai nelayan tertekan. Selain karena sudah terbatas untuk menyuarakan aspirasinya, mereka juga tidak lagi bebas mencari ikan di kawasan tersebut.
Setelah 3 tahun berlalu, tahun 2023 ini menjadi tahun yang terang membuka rahasia para koruptor dibalik penambangan pasir laut di Takalar.
Masalah ini kemudian hangat dibahas kembali setelah munculnya dugaan korupsi pada aktivitas penambangan tersebut.
Yah, benar saja bahwa telah terjadi korupsi tambang pasir laut yakni dengan memanipulasi harga dasar pasir laut yang dilakukan oleh oknum pejabat di lingkup pemerintah daerah kabupaten Takalar.
Setidaknya, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah menetapkan 3 tersangka yaitu Gazali Machmud (Mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Takalar) dan dua anak buahnya yaitu Juharman (Mantan Kepala Bidang Badan Pendapatan Dinas Keuangan Takalar) dan Hasbullan (Mantan Kepala Bidang Pajak dan Retribusi Daerah BPKAD Takalar). Akibat dari perbuatan para tersangka ini mengakibatkan pemda Takalar mengalami kerugian 7,06 miliar rupiah.
Bak sudah jatuh, ditimpa tangga pula. Begitulah kira-kira yang menjadi masalah pada pertambangan pasir laut di Takalar. Masyarakat telah banyak merasakan dampak negatif dari aktivitas penambangan ini hingga saat ini, disisi lain pemerintah seharusnya membantu membangunkan tanggul pemecah ombak abrasi namun entah kenapa hingga saat ini masih belum terselesaikan.
Sejak peristiwa tersebut terjadi, masyarakat tidak lagi hidup damai dengan pantai, mereka dihantui khawatir akan tempat tinggalnya yang suatu saat nanti akan diterkam abrasi.
Sebuah lagu yang bermakna menjadi spirit yang masih dipegang oleh masyarakat Galesong adalah perjuangan karaeng Galesong yang memilih mati dan tenggelam daripada pulang dengan kekalahan.
Semoga masyarakat Galesong dapat terus memperjuangkan ruang hidup dan kelestarian alam ekosistem laut dan memperoleh solusi yang terbaik.***
Baca juga: Menelusuri Kembali Jejak Reklamasi Pantai Losari, Makassar
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan