Ketika Sampah Plastik Menghantui Laut dan Wilayah Pesisir Indonesia

Sampah plastik terlihat mengapung di sepanjang pesisir pantai dekat dermaga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Sejauh mata memandang, di tengah birunya laut Pulau Pramuka masih banyak sampah-sampah yang mampir ke pesisir pantainya.

Selepas turun dari kapal, saya memperhatikan bagaimana sampah-sampah ini bisa menyapu lautan dan kembali lagi ke darat.

Menurut beberapa masyarakat lokal, pemandangan itu adalah hal biasa, bisa jadi juga sampah plastik itu merupakan sampah kiriman dari Jakarta akibat angin musim barat. Namun tak menutup kemungkinan pula, ada beberapa masyarakat yang masih membuang sampah rumah tangga mereka ke laut, seringkali tak ada pilihan bagi mereka.

“Kalau gak dibuang bau mbak, biasanya kalau gak diambil petugas, ya dibuang ke laut” terang salah satu pedagang di Pulau Pramuka, selepas kegiatan volunteer yang saya lakukan untuk mendata rumah tangga yang memilah sampah di Pulau Pramuka.

Pada tahun 2015, dunia digemparkan dengan hasil riset dari Jenna Jambeck yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah China.

Riset yang fenomenal ini kemudian membuat berbagai gerakan pengelolaan dan pengolahan sampah laut mulai muncul. Salah satunya adalah Pulau Pramuka, pada tahun 2020 saya berkesempatan melakukan kegiatan volunteer bersama Yayasan Get Plastic Indonesia, sebuah organisasi yang berfokus pada pengelolaan dan pengolahan sampah plastik menjadi BBM melalui proses pirolisis.

Pulau Pramuka menjadi salah satu wilayah yang diintervensi untuk piloting mesin pirolisis ini, bekerjasama dengan Yayasan Rumah Literasi Hijau, program ini menjadi salah satu jawaban untuk menyelesaikan sampah plastik yang ada di wilayah pesisir, terutama sampah-sampah plastik tak bernilai yang tidak diterima oleh pengepul atau bank sampah.

Sampah plastik tentu menjadi momok menakutkan bagi kita semua, terlebih wilayah pesisir yang secara akses jauh lebih sulit untuk mengakses sarana-sarana pengelolaan dan pengolahan sampah. Bahkan, untuk kasus Pulau Pramuka, mereka rutin mengirimkan sampah dari pulau ke TPA Bantar Gebang.

Inovasi yang mampu menjawab tantangan ini diperlukan sehingga permasalahan sampah terutama sampah plastik dapat diselesaikan secara langsung di wilayah pulau.

Pulau Pramuka, Bertahan dari Permasalahan Sampah Plastik

Sampah plastik bukan menjadi permasalahan baru di Indonesia, salah kelola dan sulitnya material plastik untuk terurai menjadi penyebab utama bahayanya sampah plastik bagi alam. Terlebih bagaimana sampah plastik ini berpengaruh di wilayah pesisir, dimana akses sarana TPA sangat minim, bahkan belum ada sistem pengolahan yang dapat menjawab tantangan ini. 

Hal ini juga dikuatkan dengan penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity) pada 2016, dimana dijelaskan bahwa sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies laut yang ada.

Sampah plastik menjadi salah satu yang bahaya, dimana ia menyebabkan terancamnya biota laut karena karakteristiknya yang sulit terurai secara alami. Hal yang lebih menyeramkan dijelaskan BBC (2021) dimana paus di Wakatobi memakan sebanyak 115 plastik dan sandal jepit, ancaman yang serius bagi biota laut kita hari ini.

Maraknya kasus-kasus kerusakan biota laut akibat sampah plastik, membuat Yayasan Get Plastic Indonesia jengah untuk membangun sistem pengolahan sampah plastik melalui pirolisis secara remote dengan mesin yang low-tech solusi ini dapat mengolah sampah plastik menjadi BBM sejenis solar dan bensin, selain itu mesin ini juga menghasilkan gas propilen dimana semua keluaran dari mesin ini dapat digunakan untuk mendukung kebutuhan operasional nelayan seperti bahan bakar kapal, gas propilen untuk menyalakan genset dan berbagai mesin lainnya yang disuplai oleh solar atau bensin.

Keberhasilan Pulau Pramuka dalam pilot pengolahan sampah plastik menjadi BBM ini juga berkat kerja keras dari Yayasan Rumah Literasi Hijau yang membuat program dapat berjalan dengan berkelanjutan.

Selain mengolah sampah dari tiap rumah tangga di Pulau Pramuka, Yayasan Rumah Literasi Hijau yang dikepalai oleh Ibu Mahariah Sandre juga menginisiasi program pengolahan sampah plastik untuk nelayan, dimana program ini dikenal dengan barter BBM berupa solar, dengan mekanisme nelayan mengumpulkan 3 kg sampah plastiknya dari laut untuk ditukarkan dengan 1 liter BBM hasil pirolisis.

Skema pengolahan sampah plastik ini dapat dijadikan salah satu opsi untuk mengurangi sampah plastik yang terbuang ke laut yang membahayakan biota laut.

Proses ini juga dapat dijadikan salah satu strategi bertahan dari kelangkaan solar di kemudian hari, jika pilot ini dapat dikembangkan lebih lanjut makan masyarakat pesisir akan memiliki nilai tawar terhadap kebutuhan energi di pulaunya sendiri. Selain mampu menjawab tantangan pengelolaan dan pengolahan sampah plastiknya, mereka juga mampu sintas dalam keadaan sulit akan akses energi.

Mengelola Sampah Plastik Menjadi Energi

Sepanjang tahun 2020-2021, pendampingan intensif dilakukan oleh Yayasan Get Plastic Indonesia untuk melihat bagaimana solusi pirolisis ini dapat menjangkau kebutuhan akan akses pengolahan sampah plastik di pesisir.

Program ini juga menjadi rujukan bagaimana cadangan energi dapat diupayakan apabila masyarakat mampu menggerakkan usaha kolektif dalam pengolahan sampah plastik ini.

Menurut catatan dari Yayasan Get Plastic Indonesia, sebanyak 279,9 kg sampah plastik diolah selama 2 bulan menjadi 184,31 liter BBM sejenis solar. Hasil keluaran dari metode ini menjadi salah satu catatan untuk kita dapat mengelola sampah plastik yang ada di pesisir agar tidak masuk dan mencemari ekosistem bawah laut kita lagi.

Seperti yang dijelaskan KLHK (2021) bahwa dalam 15 tahun terakhir Indonesia menghadapi tantangan besar dalam produksi sampah plastik karena jumlah dan fraksi sampah plastik terus meningkat yang, dimana sebagian besar dihasilkan dari barang-barang plastik sekali pakai seperti kantong plastik, kemasan plastik fleksibel (sachet dan pouch), sedotan plastik, dan wadah busa plastik (styrofoam). 

Plastik sekali pakai ini merupakan salah satu jenis yang sering ditemui di Pulau Pramuka, melalui metode pengelolaan sampah plastik menjadi energi ini, banyak harapan terucap agar perairan Indonesia dapat bersih dari sampah plastik dan masyarakat pesisirnya dapat menjadi pioner dalam penyelesaian masalah ini.

Posisi Perempuan dan Ekosistem Pesisir

Peran masyarakat pesisir dalam penjagaan ekosistem bawah laut menjadi salah satu yang utama, namun dimanakah posisi perempuan pesisir dalam keberlangsungan ekosistemnya?

Nyatanya, peran perempuan menjadi sangat krusial, entah apapun pekerjaannya dalam ekosistem kelautan. Hal ini dapat dilihat dari sosok Mahariah Sandre yang bergerak untuk membangun sistem pengolahan sampah di daerahnya di Pulau Pramuka. Ia mengambil ranah-ranah pekerjaan yang vital dan mampu membangun keberlangsungan lingkungan di Pulau Pramuka.

Posisi lain dari perempuan pesisir juga sudah seharusnya ditilik dalam kaitannya dengan penjagaan keanekaragaman hayati. Anita Dhewy dalam Jurnal Perempuan ke 95 mengenai Perempuan Nelayan juga menjelaskan bahwa analisa posisi perempuan dalam menjaga laut menjadi penting agar produktivitas dan keadilan terhadap perempuan juga terjamin.

Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan advokasi mengenai kesetaraan gender, membentuk “champions” (yang dapat memajukan hak-hak perempuan nelayan), kerja sama dengan peneliti dan para ahli kebijakan.

Koalisi besar ini dibutuhkan antara LSM, pemerintah, peneliti dan akademisi. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa lensa gender dibutuhkan dalam memformulasi kebijakan perikanan yang menitikberatkan pada hak-hak perempuan.

Hal yang baik sudah ditunjukkan salah satunya di Pulau Pramuka, harapannya adalah posisi perempuan pesisir mampu meneropong isu keberlanjutan ekosistem laut termasuk dari ancaman sampah, sehingga tak ada lagi sampah-sampah plastik yang hanyut dan menyebabkan rusaknya ekosistem laut Indonesia.***

Julia Cohen, Managing Director, Plastic Pollution Coalition, tengah bersama staf dari Pusat Hukum Lingkungan Internasional dengan pesan sebelum pengiriman petisi. Pendukung lingkungan dengan gerakan #breakfreefromplastic bertemu dengan seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri, untuk memberikan 67.482 tanda tangan yang menyerukan Amerika Serikat untuk mendukung Perjanjian Plastik Global yang mengikat secara hukum yang mencakup langkah-langkah sepanjang siklus hidup plastik pada sesi kelima PBB yang dilanjutkan Majelis Lingkungan (UNEA-5.2) / Foto: Tim Aubry / Greenpeace

Baca juga: Pesisir Bintan, Jeritan Dalam Jeratan Minyak Hitam

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan