Plastik yang Diproduksi Lalu Terbuang Tanpa Kesadaran

Terbuang. Itulah kata yang terpintas dalam pikiran saya ketika melihat sampah plastik. Plastik barangkali ditakdirkan untuk dibuang, tetapi apakah kita, manusia, telah membuangnya dengan benar?

Takdir sampah harusnya dibuang pada tempatnya, yaitu tempat sampah dengan sistem pemilahan agar mereka dapat dengan mudah didaur ulang dan menjadi plastik yang dapat berguna kembali.

Bagaimana dengan nasib sampah plastik yang dibuang tidak sesuai dengan takdirnya itu?

Sampah plastik itu pun akan merasakan terbuang bahkan terombang-ambing di perairan laut. Mereka berharap agar dapat kembali ke daratan dan melanjutkan proses penguraian walaupun tetap membutuhkan waktu yang sangat lama.

Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia (Jambeck, et al., 2015).

Maka, janganlah heran bila suatu saat kalian berlayar di laut dan menemukan sampah plastik yang terombang-ambing di lautan.

Sekali lagi! Sebagai negara penyumbang sampah plastik dan berada dalam peringkat kedua di dunia. Itu bukanlah sesuatu yang pantas kita banggakan.

Hal tersebut mencerminkan bahwa kesadaran masyarakat dan proses pengolahan sampah yang sedang berjalan di Indonesia masih sangat dipertanyakan. Memprihatinkan!

Melihat kondisi yang memperihatinkan ini, Greenpeace Youth Jakarta menginisiasi riset terhadap sampah botol plastik. Riset tersebut dinamakan Plastic Debris Research (PDR).

Dalam melakukan riset tersebut, Greenpeace Youth Jakarta menggandeng Ocean Defender Indonesia.

Riset yang dilakukan tersebut mengacu pada modul NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administartion). Tujuan dari riset ini sendiri adalah untuk mengetahui produsen mana saja yang menjadi penyumbang sampah botol plastik terbesar di Jakarta.

Lokasi riset prioritas yang dipilih adalah pulau-pulau di Teluk Jakarta yang tidak berpenghuni dan tidak terdapat pembersihan rutin.

Dengan demikian, dari data yang kami kumpulkan dari 3 kali pengambilan data di setiap lokasi dalam jangka waktu 3 bulan, kami dapat mengetahui ‘suksesi’ dan akumulasi dari sampah plastik yang terombang-ambing di lautan dan pada akhirnya terdampar pantai dari pulau-pulau tidak berpenghuni tersebut.

Sampah di lautan menjadi salah satu masalah pencemaran yang paling menjadi perhatian masyarakat dunia kini (Lippiatt, Opfer, & Arthur, 2013).

Menurut United Nations Environment Program (UNEP), pada tahun 2005, sekitar 6,4 juta ton sampah berakhir di laut tiap tahunnya.

Sampah, terutama sampah plastik, merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai produsen dan juga konsumen dari barang yang telah kita gunakan atau perjualbelikan, kita sudah pasti turut andil dalam menciptakan masalah.

Namun apakah kita juga siap beraksi menjadi bagian dari solusi?

Bila kita membiarkan sampah plastik berakhir di lautan dan hal ini terus berlangsung, maka perlahan kita akan mulai merasakan kehilangan atau beralihnya fungsi laut. Laut tidak lagi mampu memberikan kebutuhan kita, oksigen dan ikan yang berlimpah.

Apakah dampak buruk sampah plastik seperti itu yang kita mau dan wariskan bagi generasi mendatang?

Ayo semakin peduli dengan kesehatan laut dan ambil tindakan sekarang!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan