Tarek Pukat Dalam Aspek Lingkungan Laut

Tarek pukat merupakan istilah yang diambil dari bahasa Aceh yang artinya “mengambil jaring/jala. Tarek pukat adalah salah satu warisan budaya masyarakat Aceh yang biasanya dilakukan oleh para nelayan di daerah pesisir untuk menangkap ikan.

Sampai saat ini, kegiatan ini masih terus dilakukan di beberapa tempat oleh nelayan tradisional khususnya di daerah kawasan Gampong Jawa, wilayah pesisir kota Banda Aceh.  

Dalam kegiatan ini, jala ataupun jaring dilemparkan oleh nelayan dengan menggunakan perahu di bibir pantai.  Salah satu ujung tali pukat diikat di pinggir pantai dan ditarik ketika jaring melingkar ke tengah.  Nelayan secara serentak menarik jaring tersebut secara perlahan dan ikan-ikan yang tertangkap akan terseret hingga ke pantai. Setelah proses tarik pukat selesai, masyarakat dapat langsung membeli ikan hasil tangkapan ke para nelayan. 

Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun oleh nelayan di Aceh sejak abad ke-16 dan bahkan diangkat dalam bentuk tarian  pada tahun 1962.  Seiring dengan berjalannya waktu dengan isu perubahan iklim dan juga kerusakan laut akibat dari teknologi dan arus produksi ekonomi yang berlebihan,  tradisi ini juga menimbulkan pertanyaan bagi saya akan dampak dari aktivitas tarek pukat terhadap lingkungan. 

pukat
Tarek Pukat / Foto: Pemkot Banda Aceh

Apakah tarek pukat menjadi pilihan yang solutif dalam menangani isu kerusakan laut saat menangkap ikan?

Penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan menjadi ancaman besar terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut. Disisi lain, penangkapan ikan secara berlebihan juga dapat memberikan dampak penurunan polusi ikan yang mengakibatkan kurangnya pendapatan nelayan di masa yang akan datang.

Penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dapat berupa penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, sianida, jaring insang, dan pukat pantai yang dimana masih banyak digunakan oleh para nelayan di Indonesia.

Alat tangkap yang terbengkalai juga menyebabkan terjebaknya ikan dan satwa laut menjerat mangsa dan membekap karang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah penyebaran. Bagaimana dengan penggunaan tarek pukat di pantai?

Berdasarkan klasifikasi statistik internasional standar FAO, alat tangkap yang ramah lingkungan berupa; jaring lingkar; pukat pantai; penggaruk; scoop Nets, Jala lempar, Falling gear (alat yang dijatuhkan) seperti Jala Lempar/Hand cast nets, Gill net, dan entangling nets (jaring insang dan jaring puntal) dan alat tangkap lainnya.

Aktivitas dalam tarek pukat sendiri menggunakan jaring pukat besar yang tentunya akan dikontrol oleh banyak nelayan sehingga jaring yang digunakan hanya sampai di daerah pesisir saja.

Selain itu juga, wilayah jaring yang dilemparkan hanya berjarak sekitar 50 meter dari pinggir pantai dimana di wilayah tersebut tidak ada terumbu karang yang akan mengenai jaring yang digunakan oleh nelayan. Di satu sisi, nelayan juga memastikan wilayah yang mereka lemparkan tidak terkena terumbu karang karena dapat merusak jaring-jaring jala yang  dilemparkan ke laut.

pukat
Tarek Pukat / Foto: R. Sugito via Kata Alpha

Dari dua pandangan tersebut, saya berkesimpulan bahwasanya para nelayan sendiri menyadari akan dampak yang nanti nya akan didapatkan baik ke lingkungan dan juga efisiensi penggunaan alat tangkap yang ada. Jala pun digunakan secara berulang saat aktivitas tarek pukat dilaksanakan secara beramai tiap harinya.

Berdasarkan dari apa yang saya amati pada aktivitas tarek pukat oleh para nelayan, tidak ada kerusakan maupun dampak negatif yang diberikan kepada ekosistem pantai.

Hanya saja, hasil ikan yang ditangkap tidak selalu stabil sehingga mempengaruhi kehidupan nelayan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari nya. Bahkan sebaliknya, sampah masyarakat  yang mengambang di laut memberikan dampak buruk bagi hasil tangkapan nelayan yang menggunakan metode tarek pukat. Sehingga, perlu adanya peran kita sebagai masyarakat agar lebih bijak dalam membuang sampah pada tempatnya.

Apa yang kita lakukan terhadap sampah yang dibuang ke pantai ataupun laut tanpa disadari juga mempengaruhi mata pencaharian para nelayan yang ada di laut.

Perlu adanya kesadaran serius terhadap siapa saja mengenai hal ini. Bukan hanya para nelayan, namun kita sebagai masyarakat yang juga hidup dan menikmati hasil tangkapan laut dari aktivitas tarek pukat ini.

Baca juga: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara PT Mifa Bersaudara Berdampak Pada Hasil Tangkapan Nelayan Pukat Bineh  

Editor: J.F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan