Warisan yang Memudar: Krisis Iklim di Mata Para Penjaga Laut

Di pesisir yang selalu disapa nyanyian ombak. di bawah langit biru yang sering kali menyimpan rahasia badai, nelayan memulai harinya dengan doa dan keberanian. Mereka tahu, laut adalah sahabat sekaligus musuh; tempat segala harapan ditabur dan sering kali, juga tempat segala ketakutan berlabuh.

Namun, akhir-akhir ini, laut yang dulu penuh dengan berkah seolah enggan memberi. Ikan-ikan semakin sulit ditemukan. Mereka yang dulu menari-nari di permukaan kini menghilang ke kedalaman yang tak terjangkau. Angin laut yang biasanya membawa tanda musim kini datang dengan murka, membawa badai yang tak terduga, nelayan hanya bisa termenung di tepi pantai, menyaksikan perahu-perahu kecil mereka berjuang melawan gelombang.

“Ini karena cuaca” kata seorang nelayan tua, menatap jauh ke horizon. “Laut tidak seperti dulu. Terlalu panas, terlalu marah.”

Pemanasan laut, pengasaman air, dan naiknya permukaan air laut bukan sekadar cerita di berita-semua itu nyata, terasa, mengubah hidup mereka. Terumbu karang yang dulu menjadi tempat ikan bersembunyi kini memutih, mati perlahan karena panas yang tak tertahankan. Mangrove yang menjadi pelindung pantai dari erosi juga perlahan hilang, digantikan tambak atau bangunan beton.

Bagi para nelayan, laut tak lagi seperti buku yang bisa mereka baca. Musim tak lagi menuruti siklus lama yang mereka kenal. “Musim ikan sekarang tak jelas,” keluh seorang nelayan muda sambil membetulkan jaringnya yang mulai usang. Mereka pergi melaut, menghabiskan bahan bakar yang mahal, hanya untuk pulang dengan jaring kosong atau hasil tangkapan yang tidak cukup untuk menutupi biaya melaut.

Krisis iklim bukan hanya menghantam laut dan penghidupan mereka; itu juga menghantam harga diri mereka. Dulu, laut adalah ibu yang memberi makan tanpa henti. Kini, laut menjadi ruang tak terduga, tempat mereka bertaruh setiap hari untuk hasil yang tidak pasti. 

Namun, ironi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka, penjaga samudra, kini terjerat dalam lingkaran kemiskinan. Data mencatat bahwa dari 2,7 juta nelayan di Indonesia mereka menyumbang seperempat angka kemiskinan nasional. Ini berarti banyak dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan, berjuang dengan penghasilan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Lebih dari setengah keluarga nelayan tinggal di daerah pesisir dengan kondisi yang sama sulitnya.

Sebuah keluarga nelayan di desa kecil di pesisir utara Jawa bercerita tentang perjuangan mereka. “Dulu, kami bisa makan dari hasil laut tanpa khawatir. Sekarang, harus pinjam sana-sini untuk beli bahan bakar,” kata Luqman sang kepala Keluarga. Utang menjadi teman yang tak diinginkan tetapi tak terhindarkan.

Nelayan kecil yang mencoba bertahan sering kali beralih ke perbankan untuk meminjam uang guna membeli peralatan atau bahan bakar. Namun, utang ini sering kali berubah menjadi beban yang tidak terbayar. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa sektor perikanan memiliki tingkat kredit macet tertinggi, dengan rasio non-performing loan (NPL) mencapai 5,99% pada 2024, melampaui batas ideal.

Bagi nelayan, ini bukan sekadar angka. Ini adalah kenyataan pahit. Mereka tidak hanya harus melawan gelombang laut, tetapi juga tekanan ekonomi yang menjerat mereka dari segala arah. Jika jaring kosong, mereka bukan hanya kehilangan pendapatan hari itu; mereka kehilangan kepercayaan diri, semangat, dan masa depan.

Krisis iklim menjadi dalang besar di balik penderitaan ini. Perubahan suhu laut, badai yang lebih sering terjadi, dan kenaikan permukaan laut membuat hidup di pesisir semakin sulit. Laut yang dulu menjadi tempat berlindung kini menjadi ancaman. Banjir rob sering kali menerjang desar-desa nelayan, menghancurkan rumah mereka yang sederhana, dan merusak perahu-perahu yang menjadi sumber mata pencaharian.

Namun, di tengah semua ini, para nelayan tetap bertahan. Ada yang menyebut mereka keras kepala, tetapi mungkin itu adalah keberanian sejati. Mereka bangun setiap pagi, menghadap laut dengan perasaan yang bercampur antara cinta yang mendalam dan rasa kecewa yang terus menggerogoti.

Bagi para nelayan, hidup adalah perjuangan tanpa henti. Mereka tak bisa meninggalkan laut, tetapi mereka juga tak bisa mengandalkannya sepenuhnya. Di negeri yang disebut tanah surga ini, mereka justru hidup dalam neraka kecil di tepi laut.

Ketika malam tiba, dan gelombang berubah menjadi bisikan, mereka sering kali bertanya-tanya dalam hati, “Sampai kapan kita bisa bertahan?”Namun, esok pagi, mereka akan kembali. Karena bagi mereka, laut bukan sekadar sumber hidup; laut adalah warisan, identitas, dan harapan yang, meskipun redup, tetap menyala.

 

Artikel Terkait

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan