Akhir Kepemimpinan Presiden Jokowi: Wacananya Poros Maritim, Faktanya Gagap Maritim

poros maritim, gagap maritim

Zulficar Mochtar, Direktur Ocean Solutions Indonesia yang juga mantan Dirjen Perikanan Tangkap zaman Menteri Susi Pudjiastuti menyebut Indonesia negara gagap maritim. Ungkapan itu disampaikannya pada acara diskusi publik yang berjudul “Menagih Komitmen Capres-Cawapres Untuk Perlindungan Pelaut Migran dan Pulau-Pulau Kecil” yang diselenggarakan oleh KORAL (Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan) di kantor YLBHI, Jakarta.

“Negara Indonesia merupakan negara maritim namun tidak jelas. Ketika berbicara membahas maritim, keputusan/kebijakan yang diambil di bidang maritim by feeling dan ngawang. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan terbesar. Terumbu karang, mangrove, dan padang lamun terbesar ada di Indonesia. Indonesia adalah negara megabiodiversity,” ujar Zulficar.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat strategis yang menyebabkan 45% lalu lintas niaga/perdagangan dunia melewati wilayah perairan Indonesia. Indonesia juga memiliki produksi perikanan terbesar di dunia yang seharusnya bisa menjadi kabar baik bagi sektor maritim.

Namun, di akhir masa kepemimpinan Presiden Jokowi dan menjelang pemilu 2024 tantangan maritim justru semakin berat, situasinya semakin memburuk, dan beragam permasalahan lainnya muncul karena diabaikan.

“Terdapat degradasi ekosistem yang masih sangat masif. Indonesia termasuk 10 besar dunia indeks kerentanan terhadap IUU fishing. Indonesia juga mengalami tantangan perubahan iklim yang meningkatkan suhu perairan. Indonesia kontributor 10 besar sampah plastik. Hal ini diakibatkan oleh gencarnya eksploitasi serampangan, minimnya perhatian, dan gagap paham negara maritim,” kata Zulficar.

Zulficar Mochtar (tengah) dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh KORAL (Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan) di kantor YLBHI, Jakarta. / Foto: Jibriel Firman / Greenpeace

Pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia menjadi lebih rentan tertinggal karena kemiskinan banyak terjadi dan gagapnya kebijakan.

“Indonesia menjadi sangat rentan tertinggal, kemiskinan banyak ditemukan di pesisir pulau-pulau kecil karena keterbatasan akses pendidikan, Kesehatan, teknologi. Pekerjaan pelaut/nelayan termasuk pekerjaan 3D (Dangerous, Dirty, Difficult). Nelayan merupakan pekerjaan yang sangat berbahaya, rentan konflik perebutan lahan dikarena paradigma berpikir maritim yang sangat rendah. Disebabkan juga oleh kebijakan afirmatif yang sangat minim, kapasitas masalah, serta program dan kebijakan minim dampak untuk permasalahan/persoalan yang ada,” kata Zulficar.

Selain itu, ia juga meyoroti pemerintah yang secara internal sudah mewarisi cara berpikir tentang laut yang keliru. Pemerintah tidak berani untuk masuk lebih jauh dan lebih peduli terhadap laut.

“Secara geopolitik, negara tetangga takut Indonesia menguasai laut. Ditambah secara internal juga sudah mewarisi cara berpikir laut itu capek, berbahaya, hitam, mahal, dan sebagainya. Akibatnya Ketika berbicara laut tidak berani masuk kesana. Banyak kebijakan yang melihat laut seperti daratan, sehingga ketika berbicara laut diterjemahkan sebagai investasi dan sesuatu yang instan,” kata Zulficar.

Cara berpikir dan kepedulian politik pemerintah yang keliru tersebut menyebabkan permasalahan yang ada selamai ini tidak kunjung selesai.

“Terdapat banyak kompilasi permasalahan pesisir dan laut seperti IUU fishing, pencemaran, tata kelola, degradasi, dan sebagainya. Aktivitas pengeboman, pembiusan ikan juga sangat merugikan terhadap ekosistem terutama terumbu karang. Mata pencaharian pekerja perikanan di atas kapal berada diujung tanduk, tidak ada perisai dan perlindungan. Pemerintah tidak membantu dalam penyelesaian permasalahan pekerja perikanan, ABK, bahkan pemerintah saja tidak memiliki data jumlah ABK,” kata Zulficar.

Zulficar mengugkapkan kekhawatirannya tentang Indonesia yang gagal mencapai target Indonesia Emas jika persoalan maritim diabaikan terus-menerus.

“Jika diabaikan terus-menerus, target Indonesia emas tidak akan dapat tercapai,” ujar Zulficar.

Zulficar lantas menyarankan kepada para pemimpin untuk mengubah paradigma, memihak politik ke laut, dan mainstreaming kebijakan bernuansa maritim untuk menyelesaikan persoalan di laut dan pesisir.

“Saran untuk perbaikan adalah shifting paradigma, affirmatif policy (keberpihakan politik ke laut), mainstreaming kebijakan bernuansa maritim untuk menyelesaikan persoalan di laut dan pesisir. Stop kerusakan dengan hentikan kegiatan ekstraktif serampangan (pertambangan di pulau kecil), mengembangkan tata kelola yang bertanggung jawab, tolak Judisial Review yang akan memperburuk kondisi pulau kecil dan pekerja imigran,” kata Zulficar.***

Baca juga: Nasib Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terancam JR UU PWP3K, 9 Organisasi Masyarakat Sipil Ajukan Sahabat Pengadilan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan