Kisah si Nenek Sia dan Lautnya

“Dulu kalo mau makan ikan saya cuma memancing dari atas rumah, jadi kailnya saya turunkan ke air melalui sela-sela papan rumah ini, paling cuma 1 jam memancing disini itu sudah cukup untuk makan sehari, jadi tidak perlu keluar rumah, sangat mudah”

Itulah kutipan dari nenek Sia, sapaan akrabnya di pulau sembilan kecamatan Pulau Sembilan kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan .

Matanya berkaca-kaca saat menceritakan masa kecilnya yang bahagia dan tak lama kemudian tanpa sadar air matanya menetes saat ceritanya mulai berlanjut kepada sosok anaknya yang sudah almarhum saat melakukan bom ikan di laut lepas .

Cerita ini berawal saat kami sedang liburan di Pulau Sembilan karena gencarnya promosi pemkab Sinjai tentang keindahan salah satu pulau yang tak berpenghuni di pulau Sembilan yang di jadikan sebagai salah satu objek wisata, di pikiran kami akan melakukan foto-foto untuk mengisi album instagram dan liburan melepaskan semua beban pikiran tentang pengapnya kehidupan kota .

Dalam perjalanan menuju pulau Sembilan ini kita menggunakan jolloro (istilah untuk perahu penumpang yang di gunakan untuk penyeberangan antar pulau) di kapal inilah kami satu tumpangan dengan nenek Sia yang menyapa kami dengan senyum karena merasa asing melihat kami

Katanya :  “laut ini memang luas dan sepanjang mata memandang, isinya adalah harta semua yang di sediakan alam untuk manusia agar alam bisa di jadikan sahabat oleh manusia maka alam menyediakan berbagai macam harta kekayaan yang bisa di gunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarga dan anak cucunya” .

“Namun ternyata laut salah menduga tentang manusia, karena manusia mengeruk semua isi laut dengan cara yang kurang bersahabat. Saya sendiri kaget melihat anak cucu saya menggunakan alat yang baru saya lihat, itu alatnya seperti bom yang bentuknya botol kecil tapi merusaknya besar” Kata nenek Sia. Bom inilah yang membunuh anak saya beserta isi laut lainnya .

Karang rusak akibat bom di Sulawesi Selatan, Photo by : Ria Q.L

Menantu saya belum pulang sampai sekarang, kata orang dia di tangkap oleh polisi malaysia karena masuk ke perbatasan malaysia mencari ikan dan kapalnya di hancurkan. Padahal dari dulu saya sering tegur waktu mulai ikut-ikut dengan kapal besar yang mencari ikan sampe ke tengah laut karena kapal yang dia ikuti sering buat bom ikan, mungkin anak saya belajar disitu akhirnya .

Nenek Sia sadar dan tau betul bahwa cara keluarganya menangkap ikan tidak ramah lingkungan dan sangat merusak, namun ia tidak bisa berbuat banyak dengan keterbatasannya dan usianya yang sudah beranjak 83 tahun. Tetapi dia tidak pernah putus asa karena sering mensosialisasikan  cara menangkap ikan yang ramah lingkungan.

Hal itu dilakukan karena dia tidak ingin jika orang lain bernasib seperti anaknya dan berdampak buruk sampe ke anak cucu dan generasi selanjutnya karena dia tau bahwa seluruh isi pulau Sembilan ini ada hubungan kekeluargaan .

Tiga jam perjalanan naik kapal bersama nenek Sia, saya mendapat banyak pelajaran bahwa sikap rakus manusia itu sendiri yang membuatnya menderita, karena ingin mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak sehingga menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan sehingga merusak dan menghancurkan isi laut yang dampaknya adalah ikan semakin menjauh karena hancurnya terumbu karang akibat bom.

Pada akhirnya tidak ada lagi yang bisa di jadikan rumah oleh ikan-ikan laut dan tempat mencari makanan, akibatnya manusia harus mencari ikan sampai ke tengah laut sampai berhari-hari bahkan tanpa sadar memasuki kawasan terlarang atau mencari ikan sampai ke negara tetangga secara ilegal .

Mungkin karena melihat bahwa kapal sudah hampir sampai di pulau, nenek Sia menyempatkan memberi nasehat bahwa hidup itu harusnya sederhana saja, jangan banyak maunya atau menuntut ini itu karena melihat kehidupan orang lain yang serba mewah dan berlebihan, itu merusak diri kita, merusak dari dalam dan susah di obati.

Kita harusnya mensyukuri yang ada dan jangan memaksakan yang tidak ada karena pasti kita akan menyusahkan diri sendiri. Syukur Nenek Sia masih di beri kesehatan sampai sekarang, makanya saya ingin banyak melakukan kebaikan hingga akhir hayat dan semampunya karena ia merasakan sendiri manfaatnya sehingga ia masih bertemu dengan saya di perjalanan ini.

Saya pastikan ikan yang saya makan adalah ikan segar hasil pancing sendiri bukan ikan yang mati karena bom atau ikan di awetkan, karena yang ingin di masukkan ke dalam perut harusnya yang berasal atau di dapatkan dengan cara baik .

Sesuatu yang baik datang dari hal yang baik . Salam lestari !

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan