Pelaut yang Selalu Hidup dalam Hati Mayang

Mayang, begitu orang-orang memanggilnya. Perempuan berusia dua puluh tujuh, yang setiap sore pergi ke tepi laut, hanya untuk menabur bunga, yang ia petik dari taman yang ia rawat sendiri.

Setelah selesai menabur bunga, ia bernyanyi dengan bahasa yang hanya dipahaminya sendiri. Orang-orang tak pernah tahu dia bernyanyi lagu apa, meski sering mendengarnya.

Konon, perempuan itu sudah gila, sejak ditinggal suaminya. Begitu orang-orang sering membicarakannya. Suatu malam, aku mendapat giliran ronda bersama Mas Bari dan Pak Dirjan. Kebetulan waktu itu Ki Pono, Ketua RT, datang ke pos ronda.

“Mayang itu sebenarnya masih seger ya, tapi sayangnya dia gila,” kata Ki Pono, setibanya di pos ronda.

Aku dan lainnya yang sedang asyik main kartu, seketika menghampiri Ki Pono, menyalaminya.

“Iya, sayang sekali. Kalau tidak gila, sudah aku jadikan bojoku,” sahut Pak Dirjan, seorang juragan bawang yang sudah punya istri dua.

“Kalau itu, aku juga mau,” sambar Ki Pono tak mau kalah.

“Mau ngopi Pak RT?” kata Mas Bari menawari.

“Boleh. Kebetulan sedang suntuk di rumah, jadi aku ke sini,” jawab Ki Pono yang sudah duduk di pos ronda.

Kemudian kami duduk melingkar. Mas Bari membuatkan kopi untuk kemi berempat. Ki Pono yang sudah tua itu, tidak pernah mau kalau dipanggil Ki. Lebih suka dipanggil Pak atau Bapak. Katanya biar terkesan lebih muda dan gagah.

“Kalian sudah keliling?” Tanya Ki Pono.

“Sudah Pak,” serempak kami menjawab.

“Bagus, sekarang kita ngopi sambil ngobrol Mayang saja,” lanjut Ki Pono, sambil mulutnya cengar cengir. Barangkali ia sedang membayangkan dirinya bersanding dengan Mayang, perempuan yang memiliki lensa mata hitam pekat, rambutnya yang terurai panjang, dan tubuhnya yang bahenol. Ki Pono memang hidup sebatang kara. Istrinya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan memilih tinggal di kota.

“Sebenarnya aku kasihan padanya,” kata Pak Dirjan.

“Kalau dipikir-pikir, betul juga kata Pak Dirjan. Kasihan Mayang. Sudah lima tahun suaminya nggak pulang,” balas Mas Bari.

“Sebenarnya, dia pergi ke mana? Kok nggak pulang-pulang sampai sekarang?” kataku ikut nimbrung.

“Katanya sih, dia pergi ke laut,” jawab Mas Bari.

“Nenek moyang kita kan pelaut. Ya kan?” kata Pak Dirjan meledek.

“Lalu kenapa kamu nggak melaut? Malah sibuk bermain bawang,” jawab Mas Bari sedikit kesal lantaran Pak Dirjan sering memainkan harga bawang, bahkan untuk tetangganya sendiri.

“Apa sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan yang membawanya?” tanya Pak Dirjan.

“Belum. Terakhir kali ada kabar, dia sedang sakit. Sakit apa pun tidak jelas,” jawab Ki Pono. Selaku Ketua RT, dia yang dihubungi pihak perusahaan yang membawa Kimin, suami Mayang.

“Kapan kabar itu datang Pak RT?” tanyaku.

“Sudah tiga tahun yang lalu. Saat itu aku bilang ke Mayang, dia langsung menangis sejadi-jadinya,” jawab Ki Pono.

“Jangan-jangan dia sudah mati,” sahut Mas Bari.

“Husss… jangan asal bicara,” sambar Ki Pono.

“Lagi pula, dia tidak pernah pulang, sudah bertahun-tahun. Ya, bisa jadi dia sudah mati dan mayatnya dibuang ke laut,” imbuh Pak Dirjan.

“Juga tidak pernah ada kabar. Jangan-jangan dia sudah dijadikan tumbal,” Mas Bari menambahi.

“Masih mending, kalau dia diculik Ratu Laut, dibawa ke istananya, dan dijadikan raja,” Pak Dirjan menimpali.

“Kalian lama-lama ngawur. Hati-hati kalau bicara,” sanggah Ki Pono.

Membicarakan Mayang seperti tidak ada habisnya, sampai tak terasa azan subuh berkumandang. Aku langsung pulang ke rumah. Begitu juga Pak Dirjan. Lain Ki Pono dan Mas Bari, mereka langsung ke masjid untuk beribadah.

pelaut

Meski dianggap tidak waras, gila, Mayang tetap pergi ke pasar untuk belanja. Tidak sedikit cibiran yang ia dengar ketika di pasar. Tapi ia tetap bersikap seolah tidak mendengarnya. Di rumah, ia juga mengerjakan jahitan, yang dipesan orang-orang. Kebanyakan yang memesan jahitan kepadanya, orang-orang dari luar desa ini. Orang-orang di desa ini jarang sekali memesan jahitan kepadanya. Kalau pun ada, itu karena merasa kasihan. Kebanyakan, takut kalau bertemu dengannya, apa lagi mengajak bicara. Seperti sesuatu yang mustahil.

Desa ini tidak jauh dari tepi laut. Hanya butuh berjalan sekitar sepuluh menit. Biasanya, kalau sore begini, banyak orang yang datang untuk menyaksikan terbenamnya sang mentari. Atau hanya duduk-duduk di bangku yang sudah disediakan warung-warung, sambil menikmati kopi. Lain pada sore ini, tepi laut terlihat lengang dan sepi. Angin berhembus kencang menggoyang dedaun pohon kelapa. Aku duduk di warung, memesan segelas kopi dan sepiring mendoan.

Saat mentari hampir terbenam, saat itu lah aku melihat Mayang, berjalan mendekati air laut. Aku menyaksikannya menabur bunga, dan kemudian bernyanyi. Aku coba menghampirinya perlahan-lahan. Selama ini, aku ingin sekali bertanya, untuk apa dia menabur bunga di laut, setiap sore. Aku rasa, ini lah saatnya.

Setiba di belakangnya, aku tak langsung bersuara. Aku menunggu nyanyiannya selesai. Nyanyian yang aku tak tahu arti dan maknanya. Usai ia bernyanyi, aku tak mau menyiakan kesempatan. Pertanyaanku melesat cepat, keluar dari mulutku.

“Untuk apa kamu lakukan semua ini?”

“Kamu bicara denganku?”

“Tentu.”

“Apa kamu tidak takut padaku?”

“Untuk apa aku takut?”

“Semua orang menganggapku gila. Mereka ketakutan kalau bertemu denganku.”

“Itu karena kamu yang bertingkah aneh.”

“Apa aku bilang, kamu juga menganggapku gila.”

“Aku tidak bilang begitu.”

“Aneh! Gila! Sinting! Kata-kata yang sering aku dengar dari orang-orang.”

“Aneh bukan berarti gila kan?”

“Mereka tidak pernah tahu perasaanku. Tidak pernah tahu apa yang aku derita. Mereka yang sudah gila!”

“Maaf.”

“Apa maumu? Mau menggodaku seperti si juragan bawang itu?”

“Tidak. Bukan itu.”

“Asal kamu tahu, suamiku masih hidup. Dia tetap hidup dalam hatiku, meski tak tahu di mana dia berada.”

“Aku tahu kamu sedih. Kesepian dan menderita. Aku tahu dari sorot matamu.”

“Untuk apa kamu pedulikan aku? Cuma seorang perempuan sinting.”

“Aku tidak menganggapmu begitu?”

“Lantas?”

“Untuk apa kamu menabur bunga di sini, setiap sore?”

“Apa aku harus menjawabnya?”

“Aku memohon.”

“Baiklah. Aku menabur bunga di sini dengan harapan bisa sampai di mana suamiku berada. Dari situ, dia akan tahu aku masih hidup dan merindukannya.”

“Lalu, kamu bernyanyi?”

“Ya!”

“Lagu apa yang kamu nyanyikan? Aku tak tahu bahasanya.”

“Kamu tidak tahu?”

“Tidak!”

“Aku menyanyikan mantra keselamatan. Keselamatan bagi seluruh makhluk hidup. Tidak hanya suamiku saja yang aku doakan setiap sore, aku juga berdoa agar laut dan seisinya tetap selamat.”

Burung-burung camar terbang kembali ke sarang. Begitu juga Mayang. Ia sudah pulang ke rumahnya, setelah bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Mentari sudah benar-benar terbenam, digantikan bulan dan bintang-bintang yang mulai menampakkan diri. Aku masih berdiri di atas pasir, memandangi buih yang dibawa sang ombak. Tak ada sesiapa, selain diriku sendiri. Disaksikan langit dan laut, aku berkata-kata sendiri;

“Mayang, tidak tahukah kalau aku mencintaimu? Jauh sebelum lelaki itu datang dan kini telah meninggalkanmu. Ya, walaupun kamu tidak menganggapnya begitu. Dia akan selalu hidup di dalam hatimu. Dan aku masih jadi pengecut sampai saat ini. Tak pernah berani mengungkapkan perasaanku. Mayang… kamu tidak gila! Kamu adalah seorang perempuan cantik dan tangguh.

Mayang…”

Baca juga: IUU Fishing Sebabkan Perbudakan. Begini Cerita Mantan ABK Indonesia di Kapal Taiwan

Penulis: Kucelsianus

Artikel Terkait

Tanggapan