IUU Fishing Sebabkan Perbudakan. Begini Cerita Mantan ABK Indonesia di Kapal Taiwan

iuu fishing

IUU Fishing ini salah satu dampaknya adalah terjadinya perbudakan diantara ABK-ABK,” ujar Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace, saat menerangkan melalui podcast #NgobrolLingkungan Greenpeace Indonesia pada 3 November 2021.

Afdillah juga menerangkan saat ditanya mengenai sudah seberapa besar upaya-upaya yang dilakukan dalam memberantas IUU Fishing.

“Sudah banyak negara-negara terlibat dan mencetuskan komitmen pemberantasan IUU Fishing, namun progresnya belum signifikan. Sudah ada effortnya atau upaya-upaya itu namun fakta dilapangan masih berbeda,” ujarnya.

Kemudian dijelaskan pula mengenai negara-negara yang terlibat hingga ironinya negara Indonesia.

“Rantai suplai bisnis perikanan global itu adalah memang ikannya berasal dari laut tapi kapal-kapal pengkap ikan ini yang kita lihat ini ada negara-negara China, Korea, Taiwan dan beberapa negara lain, kemudian mereka akan menjual ikan tangkapan ke negara-negara seperti Thailand salah satu terbesar di dunia kemudian Taiwan, Jepang. Dan Indonesia ironinya adalah hanya penyuplai tenaga kerjanya, penyuplai ABK nya. Yang ingin saya tekankan disini adalah salah satu dampak dari IUU Fishing ini adalah terjadinya perbudakan diantara ABK-ABK ini,” ujar Afdillah.

Praktik perbudakan didasari karena semakin sulitnya saat ini mendapatkan ikan karena telah terjadi overfishing sehingga ada upaya ingin meningkatkan upaya namun dengan modal yang sedikit mungkin.

“Kenapa? Karena ikan di laut yang semakin sedikit akhirnya kapal-kapal tersebut kan harus mencari ikan lebih jauh dan lebih lama bahkan sampe berbulan hingga bertahun-tahun kapal itu tidak pernah kembali ke darat. Kemudian dampak selanjutnya dalah biaya operasionalnya jadi meningkat lagi, makanya banyak diantara mereka mengakali untuk bagaimana supaya biaya operasionalnya tetap rendah atau lebih rendah, maka mereka carilah tenaga-tenaga kerja yang bisa dibayar lebih murah. Dimana itu? Ya di Asia Tenggara termasuk Indonesia,” ujar Afdillah.

iuu fishing
ABK di kapal penangkap ikan jarak jauh

Kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya regulasi di negara Indonesia yang dapat melindungi tenaga kerja ABK.

“Sejauh ini belum ada regulasi di negara kita yang bisa untuk melindungi ABK kemudian bagaimana praktek pengiriman-pengiriman itu banyak sekali dicurangi karena pengawasannya yang lemah. Sampai hari ini negara kita tidak tahu berapa banyak ABK kita yang bekerja di kapal ikan asing,” ujar Afdillah.

Menurut Afdillah, tercatat lebih dari 17.000 kapal di perairan global. 160 miliar dollar ini sebuah bisnis yang profitable. Stok ikan berkurang drastis. 33% laut kita mengalami overfishing.

Cerita Seorang Mantan ABK Indonesia di Kapal Taiwan

iuu fishing shark
Seekor ikan hiu tertangkap 

Ardi, mantan ABK kapal Taiwan yang juga menjadi pembicara pada podcast #NgobrolLingkungan menceritakan kisahnya saat bekerja di kapal penangkap ikan yang juga menangkap ikan hiu.

“Kalo untuk pekerjaannya itu ya ikan hiu yang kita tangkap, ikan tombo, ikan pitau, ikan marlin, dan hampir seluruh jenis ikan kita ambil, kecuali anjing laut itu kita enggak ambil sama ikan pari. Kalau untuk kapalnya itu kapal GT6 kapasitas 6 ribu ton,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan sistem alat tangkap, peristiwa kemanusiaan, dan praktik transhipment yang ia alami selama bekerja di kapal.

“Alat tangkapnya itu namanya sistemnya Holler, jadi dikapal itu sudah tersedia tali sepanjang kurang lebih 10 km nanti setiap kail itu disangkutkan di tali itu. Pada saat tali itu dijulurkan dan bagian membuang umpan, tali itu dibuang ke laut , lalu ditarik pakai mesin. Setiap jarak 5 meter itu ada pelampung dan kailnya 10-15 kail.

Ada rekan kerja 1 ABK meninggal yang saya tau karena dipukul sama mandornya, namun hasil keterangan otopsi di Australia, KBRI memberikan informasi bahwa meninggal karena penyakit. Kemudian praktik transhipment atau barter ditengah laut itu terjadi biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali,” ujar Ardi.

Praktik-praktik IUU Fishing tidak hanya sebatas proses menangkap ikan saja melainkan luas secara keseluruhan dari praktik industri perikanan global yang tidak baik dan merugikan ekosistem laut (lingkungan), sosial, hingga kemanusiaan seperti terjadinya perbudakan terhadap ABK.

Baca juga: IUU Fishing, Apa Saja Modusnya ?

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan