Laut adalah Nyawa: Melihat Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Menjaga Pantai dan Laut

suku bajo indonesia

Wilayah pesisir Indonesia yang terkenal dengan keindahan serta potensi sumber daya pantai dan laut saat ini berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Semakin banyaknya ditemukan sampah di daerah pesisir (terutama sampah plastik), akan mengancam keseimbangan ekologis dan kedepannya tentu akan berimbas terhadap kelangkaan pangan berbasis biota laut.

Indonesia sendiri saat ini menjadi negara produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China, dan menghasilkan sekitar 200.000 ton sampah setiap hari. Terlepas dari banyaknya penelitian tentang sampah plastik yang sudah dilakukan baik oleh pemerintah, akademisi, bahkan juga lembaga swadaya masyarakat, ternyata sampai saat ini masyarakat masih mengabaikan permasalahan dan bahaya sampah plastik di daerah pesisir.

Banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi; masih kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan efek yang ditimbulkan oleh sampah plastik, gempuran produk-produk berkemasan plastik sekali pakai (berbentuk sachet) yang relatif murah dan diminati oleh masyarakat, namun menyebabkan timbunan sampah, serta yang tidak kalah pentingnya, regulasi pemerintah yang belum menganggap masalah sampah plastik di wilayah pesisir sebagai permasalahan yang krusial.

Lantas, benarkah kondisi seperti ini terjadi di hampir seluruh wilayah pesisir Indonesia?

Benarkah kita sudah sedemikian apatisnya terhadap keindahan serta kebersihan laut dan pantai?

Apakah sudah tidak ada lagi praktik atau kearifan lokal yang bisa terus kita lakukan demi menjaga lingkungan pantai dan laut agar tetap sehat?

Jawabannya, tentu masih ada. Mari kita menengok kehidupan masyarakat Suku Bajo di Desa Mola, Wakatobi yang ternyata sangat peduli akan laut dan menganggap laut sebagai ‘nyawa’ mereka.

Suku Bajo terkenal dengan sebutan “sea nomads” yang artinya sekumpulan masyarakat yang suka berpindah-pindah mendiami wilayah pantai dan laut. Sejarah mengenai Suku Bajo sendiri telah banyak diteliti oleh para antropolog sejak tahun 1400 Masehi, namun menariknya, meskipun terus menjalani kehidupan berpindah, mereka tetap menjaga kelestarian pantai dan laut.

Di Desa Mola misalnya, masyarakat Suku Bajo membangun rumah kayu tepat diatas karang sehingga berhadapan langsung ke laut lepas. Ini membuat segala aktivitas domestik yang mereka lakukan akan bersentuhan langsung dengan laut, mulai dari MCK, memasak sampai bersantai menghabiskan waktu luang.

Terlepas dari kegiatan domestik, eratnya hubungan Suku Bajo dengan laut juga terlihat dari pola mata pencaharian mereka yang memanfaatkan sumber daya laut sebagai sumber penghidupan.

suku bajo di desa mola

Ketika laki-laki Bajo melaut selama berbulan-bulan, ada pantangan yang harus dijaga baik oleh mereka yang melaut maupun oleh perempuan Bajo serta anggota keluarga lain yang sedang ditinggalkan. Tradisi ini disebut dengan Sasakai, yakni tradisi berupa pantangan membuang sampah dalam bentuk apapun ke laut (mulai dari sampah bekas makanan, bekas cucian bahkan juga sampah plastik).

Tradisi ini yang membuat lingkungan di Desa Mola tetap bersih dan terawat, meski banyak sekali potensi sampah rumah tangga yang dihasilkan. Masyarakat Suku Bajo percaya, jika pantangan ini dilanggar, mereka akan mendapatkan bala bencana, dan bahkan para laki-laki Bajo yang sedang melaut bisa pulang dengan tangan hampa.

Hal lain yang kerap dilakukan oleh masyarakat Suku Bajo adalah dengan menjaga kelestarian lingkungan pantai dan laut melalui perawatan hutan mangrove di sekitar desa, pun mereka juga melakukan penangkapan ikan dengan cara ramah lingkungan, menggunakan alat-alat sederhana dan tanpa menggunakan racun atau bahan peledak.

Suka Bajo ddi Laut Sulawesi. / Foto: Markus Mauthe / Greenpeace

Jadi tidak mengherankan bila Suku Bajo di Desa Mola ini selalu menjadi salah satu contoh masyarakat pesisir yang dapat menjaga laut tetap sehat dan lestari. Cara-cara sederhana serta praktik lokal sebenarnya sudah mengakar dan melekat pada masyarakat pesisir Indonesia.

Terkadang kita tidak perlu teknologi canggih atau bahasa yang rumit untuk mengedukasi masyarakat untuk tetap peduli pada kebersihan lingkungan pantai dan laut. Begitu pula halnya dengan permasalahan sampah plastik di pesisir Indonesia, mungkin sudah saatnya pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan juga pemerhati lingkungan mulai melihat praktik dan kearifan lokal sebagai ‘knowledge asset’ dalam mengatasi problem sampah plastik di area pesisir.

Terakhir tentu saja, tanpa melupakan penetapan regulasi yang ketat terhadap para produsen penghasil sampah plastik!

Karena sekali lagi, merujuk pada Suku Bajo, laut adalah nyawa.***

Baca juga: Suku Bajo, Riwayatmu Kini

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Tanggapan