Suku Bajo, Riwayatmu Kini

“Kelak, Suku Bajo yang gemar melaut itu mungkin hanya akan menjadi cerita saja,” ujar Andar, salah seorang pemuda Bajo dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘the Call from the Sea’.

Keresahan yang dirasakan Andar memang cukup masuk akal.

Wajah pemukiman Suku Bajo yang dia huni sekarang di Sampela, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memang sudah banyak berubah, terutama jika membandingkannya dengan kondisi pada sepuluh tahun sebelumnya.

Kesehatan terumbu karang menurun, warnanya banyak yang memudar (bleaching), sumber daya laut dijual secara serampangan untuk memenuhi keinginan pasar (overfishing), pasokan ikan semakin berkurang, sementara populasi Suku Bajo terus-menerus bertambah.

Jika dahulu Suku Bajo bisa dapat dengan mudah menangkap ikan-ikan besar, kini tangkapan mereka hanyalah ikan-ikan kecil. Laut yang mereka huni tidak lagi menjanjikan sumber penghidupan sebagaimana yang pernah dinikmati oleh nenek moyang mereka terdahulu.

Faktor perubahan iklim memang memengaruhi terjadinya bencana ekologis tersebut.

Namun, jika ditarik ke belakang, faktor alami itu juga tidak bisa dipisahkan dari aspek antropogenik yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Menurut Andar, pencemaran laut akibat terkontaminasi deterjen, pestisida, dan racun sudah tidak bisa dihindari lagi.

Pengeboman dan pengambilan terumbu karang secara sembarangan juga telah marak terjadi.

Belum lagi perubahan lanskap pesisir akibat proyek pembangunan industri pariwisata oleh pemerintah yang juga turut memengaruhi kondisi laut di pemukiman Suku Bajo.

Melihat kualitas ekologi yang terus menurun, tidak heran apabila Andar dan banyak Suku Bajo lainnya ragu bahwa laut akan tetap menjadi tumpuan masa depan mereka.

Beranjak dari Sampela, sebagian dari kita barangkali juga pernah mendengar kabar tentang Suku Bajo di Teluk Bone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang rumahnya tenggelam akibat muka air laut yang terus naik.

Suku Bajo sejak dahulu memang dikenal sebagai bangsa pelaut. Mereka membangun rumah di atas laut, mengembara di lautan bebas (zee-nomaden), dan melakukan aktivitas ekonomi subsistensi, yaitu mengolah sumber daya laut hanya untuk dikonsumsi kelompok mereka sendiri.

Sementara itu, naiknya muka air laut memaksa Suku Bajo di Teluk Bone harus memindahkan pemukimannya ke daratan.

Sebelumnya, mereka telah berusaha mempertahankan pemukiman tersebut dengan cara meninggikan tiang penyangga bangunan rumah.

Akan tetapi, muka air laut yang terus naik sudah tidak lagi bisa dibendung, sehingga memaksa mereka bermigrasi ke daratan (pesisir).

Situasi itu hampir sama seperti yang dialami oleh penduduk di Kepulauan Solomon yang berada di Samudera Pasifik.

Mereka terpaksa berpindah ke daerah perbukitan karena kepulauan yang mereka huni telah tenggelam akibat kenaikan muka air laut.

Bencana ekologis dan kemanusiaan yang diakibatkan oleh perubahan iklim itu juga telah menjadi sorotan warga dunia, terutama oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Namun demikian, tanpa perlu beranjak jauh ke Kepulauan Solomon, bencana serupa rupanya juga terjadi persis di depan mata kita, seperti yang dihadapi oleh Suku Bajo di Teluk Bone, Sulawesi Selatan.

Sebagaimana Suku Bajo di Sampela, perubahan iklim memang menjadi faktor determinan yang menyebabkan malapetaka tersebut.

Namun, sekali lagi, perubahan iklim tidak tiba-tiba muncul dengan sendirinya. Ia juga merupakan akibat dari adanya antroposentrisme, yaitu anggapan yang menempatkan manusia sebagai pusat dunia sekaligus sebagai penentu utama kondisi bumi secara keseluruhan.

Akibat hasrat itu, aktivitas manusia yang merubah alam secara besar-besaran menjadi tak terhindarkan: industrialisasi, menebangi hutan, mencemari udara, dan mengekstraksi isi perut bumi.

Melebihi itu, perubahan iklim juga memuat dimensi politik, terutama terkait ketidakadilan global yang menuntut negara-negara dunia selatan (global south) harus menanggung beban dua kali lipat lebih berat dibandingkan negara-negara dunia utara (global north).

Pemukiman suku bajo
Permukiman Suku Bajo

Suku Bajo dan Ketidakadilan

Ketidakadilan semacam itu dirasakan betul oleh Suku Bajo.

Bagi Suku Bajo, laut adalah masa depan, pekarangan, halaman depan rumah, sumber kehidupan, ruh, filsafat, jati diri, sasana yang menjadi tempat budaya mereka tumbuh, juga pandangan mereka tentang dunia semuanya ada di laut.

Di lautan yang biru itu, nenek moyang Suku Bajo melahirkan kehidupan: menangkap ikan dan mengolah rumput laut untuk mereka konsumsi sendiri (subsistensi).

Praktik kehidupan semacam itu mereka terapkan jauh dari hingar bingar modernitas.

Dengan berbekal pengetahuan tradisional, pranata adat, dan nilai-nilai spiritual, Suku Bajo terbukti berhasil menjaga laut selama ratusan tahun lamanya. Mereka adalah pelindung laut (ocean defenders) yang sesungguhnya.

Sebagai innocent people yang hidup di ribuan kilometer jauhnya dari pusat-pusat kota dan industri, Suku Bajo justru menjadi pihak yang harus menanggung dampak paling besar akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

Kejahatan para perusak lingkungan itu dirasakan betul oleh orang-orang yang ‘tidak berdosa’ ini. Bagi Suku Bajo di Teluk Bone misalnya, memindahkan pemukiman ke darat sama seperti mempertaruhkan identitas dan jati diri mereka sebagai orang laut.

Mereka yang terbiasa hidup di atas air, mendengar bunyi ombak, dan mencium aroma laut tiba-tiba harus terbiasa menginjak tanah, mendengar bunyi jangkrik, bahkan tidak jarang pula harus meninggalkan budaya melaut dan beralih menjadi petani.

Ibarat ikan yang tidak bisa hidup tanpa air, situasi tersebut tentu saja akan membuat mereka sekarat.

Kekerasan kultural semacam itu tidak melulu disebabkan oleh faktor-faktor alam, seperti perubahan iklim.

Tidak jarang pula, ada campur tangan negara yang turut ambil andil merampas jati diri orang-orang laut.

Hal itu sebagaimana yang pernah terjadi pada Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kepulauan Riau.

Sama seperti Suku Bajo, Orang Suku Laut juga merupakan bangsa penjelajah samudera yang hidup mengarungi lautan lepas.

Oleh junta militer Soeharto, kehadiran mereka justru dianggap sebagai hama: miskin, tidak beradab, penyebab ketimpangan, dan perlu didisiplinkan sebagaimana ‘orang darat’ lainnya.

Mereka kemudian dipindahkan ke darat, dibangunkan rumah dari semen, dan dipaksa beralih menjadi petani.

Konsekuensinya, pola kekerabatan mereka berubah, sistem kepemimpinan komunitas mereka berganti, jati diri mereka sebagai orang laut juga dipertaruhkan.

Kekerasan kultural semacam itu bukan mustahil juga akan mengancam kelangsungan hidup Suku Bajo di Teluk Bone.

Sementara itu, bagi Suku Bajo di Sampela, kelangkaan sumber daya alam dan rusaknya ekosistem laut bukan tidak mungkin akan mendorong mereka merubah orientasinya dari upaya bertahan hidup (survival) menjadi upaya memperbaiki status kehidupan (consolidating strategy).

Hal itu dilakukan dengan merumuskan berbagai pilihan rasional (rational choices) dengan tidak lagi menggantungkan tumpuan hidupnya pada laut saja, melainkan juga pada sumber penghidupan lainnya, seperti bermigrasi ke pulau lain, bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, kondisi laut yang terus memburuk berpotensi merubah perspektif Suku Bajo tentang laut.

Jika manusia yang paling dekat dan paling memahami laut saja sudah tidak lagi menganggap laut sebagai sumber penghidupan dan rumah masa depannya, bagaimana nasib laut dan budaya maritim kita di masa mendatang?

Aspek ini “orang laut” perlu menjadi perhatian kita bersama. Diskusi mengenai kerusakan ekosistem laut selama ini lebih banyak diarahkan pada aspek sumber daya alam dan aspek ekologis semata.

Aspek manusia, terutama manusia yang paling bergantung pada laut, belum banyak dibahas.

Padahal, isu kerusakan ekosistem laut ini serupa mata rantai yang tidak pernah putus.

Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan memang mengancam kelestarian sumber daya laut kita.

Akan tetapi, kerusakan tersebut juga memengaruhi kelangsungan hidup manusia, utamanya manusia yang berada di sekitar laut.

Membicarakan kerusakan ekologi laut hanya sebatas pada aspek sumber daya alam laut tidaklah cukup apabila tidak membicarakan aspek manusianya.

Dalam cerita ini, saya berusaha mengisi celah kosong itu. Saya menunjukkan bagaimana Suku Bajo, kelompok masyarakat yang selama ratusan tahun menghabiskan hidupnya untuk merawat laut, justru menjadi pihak paling dirugikan akibat kerusakan ekosistem laut yang sama sekali tidak mereka perbuat.

Menyuarakan aspek itu penting, mengingat Suku Bajo yang tinggal ribuan kilometer jauhnya dari pusat pemerintahan ini tidak memiliki ‘kekuatan politik’ untuk memobilisasi suara dan kepentingan mereka.

Melalui cerita ini, saya ingin memberikan suara pada mereka yang ‘bisu’ ini.

Baca Juga: Kenalan dengan Suku Pengembara Lautan dari Timur Nusantara, yuk!

Editor: Jibriel Firman

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan