Illegal Fishing di Perairan Natuna, Mengapa Terus Terjadi?
Perairan Natuna menjadi daerah yang sangat rentan terhadap illegal fishing, perairan ini merupakan salah satu area yang dapat menarik perhatian nelayan untuk melakukan illegal fishing.
Keberadaan sumber daya perikanan yang melimpah di dalamnya menjadikan laut ini sangat menarik (V.A.R.Barao et al., 2022). Selain itu, perairan Natuna juga berada di perbatasan dengan perairan internasional, sehingga memungkinkan nelayan asing masuk ke wilayah perairan Indonesia dengan mudah.
Secara administratif, Natuna merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Ranai yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Natuna. Kabupaten Natuna ini memiliki wilayah administratif seluas 264.198,37 km2, yang terdiri dari daratan seluas 2.001,30 km2 dan perairan seluas 262.197,07 km2.
Secara geografis, Kabupaten Natuna memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bintan
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Anambas
- Sebelah timur berbatasan dengan Negara Malaysia Timur
Kepulauan Natuna, berdasarkan letak geografisnya, merupakan kabupaten terluar di wilayah Kepulauan Indonesia. Hal ini membuatnya rentan terhadap konflik dan illegal fishing terkait dengan batas maritim di perairan Natuna yang juga merupakan bagian dari Laut Cina Selatan (Putranto et al., 2019).
Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, China, Thailand, dan Malaysia selalu tertarik dengan sumber daya perikanan yang menjadi primadona di laut Natuna (Liputan6.com, 2015). Mereka sering kali melakukan pencurian ikan secara ilegal tanpa memperhatikan aturan-aturan yang jelas bahwa laut Natuna merupakan wilayah kepulauan yang sah dimiliki oleh Indonesia (Purwanto, 2014).
Sumber daya ikan yang melimpah di pulau Natuna menjadi salah satu faktor utama terjadinya illegal fishing. Sumber ikan tersebut terbagi atas dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal.
Ikan pelagis adalah jenis ikan yang hidup di permukaan air antara 0-200 meter dan biasanya hidup berkelompok. Terdapat dua subkategori dalam ikan pelagis, yaitu pelagis besar seperti tuna, ikan pedang, marlin, cakalang, dan tenggiri, serta pelagis kecil seperti selir, teri, kembung, dan tongkol.
Sedangkan ikan demersal dapat ditemukan mulai dari lingkungan pantai hingga perairan laut dalam. Ikan demersal dibagi menjadi dua jenis, yaitu bentik (hidup di dasar perairan) dan bentapholagic (hidup di dekat dasar perairan).
Beberapa jenis ikan potensial yang dapat ditemukan di perairan Natuna meliputi kerapu, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning, selar, kembung, kepiting, rajungan, udang windu, udang putih, cumi-cumi, dan sotong (V.A.R.Barao et al., 2022).
Melimpahnya hasil perikanan di perairan Natuna ini menyebabkan munculnya kasus pencurian, salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pengawasan karena luasnya wilayah perairan Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Oleh karena itu, diperlukan upaya dalam mencegah tindakan pencurian hasil laut oleh kapal asing, serta perlunya tindakan dan sanksi yang tegas terhadap pelaku yang melakukan tindakan ilegal ini (Gillbrain et al., 2021).
Susi Pudjiastuti dalam (Wijayanti et al., 2021) menyatakan bahwa, salah satu penyebab aksi illegal fishing adalah kelemahan kondisi pengawasan dan keamanan di perairan Indonesia.
Akibat dari kelemahan pengawasan tersebut, nelayan asing dengan mudahnya dapat masuk ke wilayah perairan Indonesia, terutama negara-negara perbatasan, dan melakukan pencurian ikan secara ilegal.
Jika sikap aparat yang bertanggung jawab dalam mengawasi perairan Indonesia semakin lemah, maka akan terjadi peningkatan kasus illegal fishing di perairan Indonesia.
Kedaulatan Indonesia saat ini masih diabaikan oleh berbagai pihak. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya patroli yang dilakukan oleh aparat TNI Angkatan Laut dan Polisi Air di daerah laut yang jarang terjamah.
Fakta ini sangat mengkhawatirkan kondisi kelautan di Indonesia. Kekhawatiran tersebut terkait dengan kurangnya pengendalian terhadap tindak kejahatan di perairan Indonesia, termasuk kegiatan illegal fishing.
Meningkatnya Permintaan Pasar
Maraknya illegal fishing juga didukung oleh meningkatnya konsumsi ikan secara global. Hal ini disebabkan karena ikan mengandung sumber protein yang tinggi dan sangat diminati oleh manusia sebagai konsumen, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Nilai ekspor perikanan Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, menurut Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan. Pada tahun 2019, nilai ekspor perikanan Indonesia mencapai 73 miliar rupiah mengalami peningkatan sebesar 10,8% dibandingkan dengan tahun 2018 yang hanya sebesar 66 miliar rupiah.
Volume ekspor untuk komoditi perikanan konsumsi hidup pada tahun 2019 meningkat 24% dibandingkan tahun 2018. Sementara itu, untuk komoditi perikanan konsumsi non-hidup, volume ekspor pada tahun 2019 meningkat 27% dibandingkan tahun 2018.
Volume ekspor untuk komoditi perikanan non-konsumsi hidup pada tahun 2019 meningkat 21% dibandingkan tahun 2018. Sedangkan untuk komoditi perikanan non-konsumsi non-hidup, terjadi peningkatan sebesar 47% dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Kerugian dan Tantangan Baru
Akibat dari meningkatnya konsumsi ikan secara global menimbulkan permasalahan baru, yaitu terjadinya overfishing. Overfishing atau penangkapan ikan berlebihan di laut merupakan bentuk eksploitasi yang sangat berbahaya bagi populasi ikan.
Para nelayan melakukan penangkapan ikan dengan jumlah yang berlebihan, dengan tujuan untuk mendapatkan sebanyak mungkin ikan, dan jika tidak, nelayan lain akan melakukannya.
Akibat dari overfishing ini, para nelayan menggunakan berbagai cara yang merusak populasi sumber daya laut. Bahan peledak seringkali digunakan sebagai senjata utama dalam penangkapan ikan, yang menyebabkan kematian ikan kecil, ikan besar, terumbu karang, dan biota laut lainnya.
Dengan adanya fenomena illegal fishing akan berdampak serius pada kondisi perekonomian, illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) telah menyebabkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, termasuk kerugian materi.
Untuk menetapkan angka asumsi dasar terkait kerugian ini, diperkirakan ada sekitar 1.000 kapal asing dan eks-asing yang melakukan illegal fishing. Selain itu, sekitar 25% ikan yang dicuri dari kegiatan illegal fishing dibuang (discarded) berdasarkan estimasi FAO tahun 2001.
Dengan asumsi tersebut, jika jumlah tangkapan lestari maksimum (maximum sustainable yield/MSY) ikan sebesar 6,4 juta ton/tahun, maka sekitar 1,6 juta ton ikan hilang akibat pencurian dan pembuangan setiap tahunnya.
Jika harga jual rata-rata ikan di luar negeri adalah 2 USD/kg, maka kerugian yang dialami Indonesia bisa mencapai 30 triliun per tahun. Dengan kata lain, illegal fishing memiliki dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi maupun keberlanjutan sumber daya perikanan (Mahabror & Hidayat, 2018).
Uapaya Penanggulangan
Untuk menanggulangi terjadinya illegal fishing, pemerintah Indonesia melakukan penenggelaman kapal-kapal yang melakukan kegiatan ilegal di perairan Indonesia. Kebijakan tersebut memiliki pendukung dan penentang dari berbagai pihak.
Meskipun banyak yang setuju dengan kebijakan tersebut, tidak sedikit pula yang tidak setuju, dan bahkan negara bendera kapal-kapal tersebut mengajukan protes.
Kebijakan penenggelaman kapal ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari kebijakan ini adalah pemerintah Indonesia berhasil mengurangi aktivitas pencurian hasil laut dan melindungi habitat perairan di dalam laut. Hal ini penting karena pelaku ilegal sering menggunakan metode yang merusak, seperti penggunaan bahan peledak. Kebijakan ini dapat mencegah penangkapan ilegal terhadap populasi laut oleh nelayan asing.
Namun, dampak negatif dari kebijakan ini adalah potensi terjadinya pencemaran akibat peledakan dan pembakaran kapal asing, yang dapat mencemari udara di sekitar laut. Kebijakan ini juga dapat menciptakan kontroversi dalam hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara terkait.
Terdapat lima alasan mengapa kebijakan ini layak ditegakkan dan tidak akan memperburuk hubungan antarnegara.
Pertama, semua negara di dunia tidak akan mengakui atau mendukung tindakan ilegal yang dilakukan oleh warganya di negara lain.
Kedua, kapal-kapal asing yang ditenggelamkan adalah kapal-kapal yang tidak memiliki izin untuk menangkap hasil laut di perairan Indonesia, sehingga tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal. Pelaksanaan penenggelaman ini dilakukan di wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia, termasuk wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Perikanan.
Ketiga, negara lain seharusnya memahami dan mengerti posisi Indonesia bahwa kebijakan ini dilakukan karena Indonesia merasa dirugikan oleh tindakan ilegal tersebut.
Keempat, jika kegiatan ilegal ini dibiarkan terus-menerus tanpa adanya sanksi yang tegas, maka kerugian yang ditimbulkan akan semakin besar. Oleh karena itu, penenggelaman kapal dilakukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi Indonesia.
Kelima, proses penenggelaman kapal telah memperhatikan keselamatan awak kapal yang berada di dalamnya.
Dengan demikian, kebijakan ini bukanlah bentuk perlakuan yang semena-mena terhadap pelaku ilegal, tetapi merupakan langkah yang diambil dengan mempertimbangkan kepentingan dan keamanan semua pihak yang terlibat.
Kebijakan penenggelaman kapal asing ilegal memang menjadi perdebatan yang kontroversial, namun ditegakkannya kebijakan ini tidak akan mempengaruhi hubungan kenegaraan Indonesia yang meliputi hubungan bilateral, regional, dan multilateral.
Alasan-alasan yang mendukung kebijakan ini termasuk prinsip bahwa negara tidak mendukung tindakan ilegal warganya di negara lain, ketidakpatuhan kapal asing terhadap izin penangkapan di perairan Indonesia, pelaksanaan yang sesuai dengan hukum perikanan, pemahaman bahwa Indonesia merasa dirugikan, pentingnya sanksi tegas untuk mencegah kerugian yang semakin besar, dan memperhatikan keselamatan awak kapal yang terlibat (Gillbrain et al., 2021).
Meskipun Indonesia melakukan upaya diplomatik dan berpartisipasi dalam kebijakan perikanan internasional, upaya tersebut akan menjadi tidak efektif jika tidak diikuti dengan penindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
Ketegasan dari petugas kemaritiman Indonesia sangat penting dalam mencegah peningkatan illegal fishing di perairan Natuna.
Keseriusan pemerintah dalam melindungi hak berdaulatnya tercermin dalam kebijakan, termasuk penenggelaman kapal. Kebijakan penenggelaman kapal didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan.
Undang-undang ini menjadi dasar bagi pemerintah dalam menjaga sumber daya perikanan. Pemerintah harus berani mengambil tindakan cepat dan tepat untuk memutuskan setiap tindak pidana illegal fishing yang terjadi.
Eksekusi penenggelaman kapal dapat dilakukan. Kapal asing yang melakukan pelanggaran dapat ditembak, meledakkan, dan ditenggelamkan oleh penegak hukum kelautan di Indonesia.
Dasar hukum untuk penenggelaman kapal asing dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 69 ayat 4 perikanan, yang berbunyi:
1.) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
2.) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api.
3.) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.
4.) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Putranto et al., 2019).***
Baca juga: Hari LSM Sedunia: 5 LSM di Indonesia yang Memiliki Konsentrasi Terhadap Kelautan
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan