Krisis Iklim dan Disparitas Gender di Kawasan Pesisir
Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan dan meluas terhadap kehidupan di kawasan pesisir. Dengan adanya peningkatan suhu global, naiknya permukaan laut, dan perubahan pola cuaca, masyarakat pesisir menghadapi tantangan baru dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi lingkungan fisik, tetapi juga struktur sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah bagaimana perubahan iklim mempengaruhi ketimpangan gender.
Dalam banyak masyarakat pesisir, perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda dan sering kali tidak setara. Perubahan iklim dapat memperparah ketidaksetaraan ini. Misalnya, perempuan bertanggung jawab atas pengumpulan air dan makanan.
Ketika sumber daya air dan makanan menjadi semakin sulit untuk diakses karena perubahan iklim, beban kerja perempuan meningkat. Bentuk kerentanan ini terjadi menurut Assaduzzaman et al. (2023) bahwa kepekaan perempuan terhadap perubahan iklim begitu tinggi mencakup sosial-ekonomi.
Perubahan pola hujan dapat menyebabkan sumber air menjadi berkurang, memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras dan lebih lama untuk mengumpulkan air yang cukup untuk keluarga mereka.
Demikian pula, perubahan suhu dan pola cuaca dapat mempengaruhi produktivitas tanaman dan stok ikan, membuat makanan menjadi lebih sulit untuk diakses dan meningkatkan beban kerja perempuan.
Ditambah lagi, masih mengakarnya budaya patriarki, contohnya perempuan Ilaje, pesisir Nigeria tidak bisa bebas membuat keputusan dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka tidak punya kuasa atas urusan keuangan dan aset, kemudian mereka tidak diberi kesempatan terlibat di ruang publik, khususnya dalam diskusi di tengah komunitas tentang adaptasi perubahan. Hasilnya, mereka tidak bisa menyuarakan keperluan dan kebutuhan mereka di level keluarga ataupun komunitas (Pratiwi Misbahul 2023).
Pengalaman ibu-ibu di Sumba Timur dan istri nelayan di Karangantu, Kota Serang yang di rilis oleh Jurnal Perempuan adalah cerminan dari perjuangan perempuan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.
Kekuatan negosiasi mereka yang cenderung tidak berkembang dan berada di belakang laki-laki membuat kontribusi dan berbagai sumber daya yang mereka gabungkan untuk mengatasi perubahan iklim seringkali diabaikan.
Perubahan dalam ekosistem tanaman pangan lokal di Sumba Timur yang membuat produksi pangan menjadi rentan terhadap perubahan iklim, memaksa ibu-ibu ini untuk menanggung beban ganda tanpa mendapatkan pengakuan bahwa mereka adalah penopang utama kehidupan rumah tangga.
Ketidakadaan pengakuan ini tercermin dari intervensi ekologis yang tidak melibatkan ibu-ibu dalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Ibu-ibu ini menciptakan jalur mereka sendiri melalui sumber daya yang dapat mereka akses.
Gerakan yang dilakukan oleh ibu-ibu ini merupakan bagian dari gerakan ekofeminisme yang mendorong perempuan untuk melawan perubahan iklim yang diperburuk oleh kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengatur agroekosistem dengan baik (Situmeang dan Aflaha 2022).
Cerita-cerita tentang perempuan yang berjuang melawan perubahan iklim memberikan gambaran tentang situasi di komunitas pertanian dan komunitas pesisir.
Subordinasi menjadi salah satu akar masalah dalam pengambilan keputusan strategi pembangunan yang bias terhadap perubahan iklim. Akhirnya, keputusan pembangunan yang mengabaikan dan tidak mempertimbangkan situasi perempuan justru membuat pemenuhan kebutuhan rumah tangga di daerah pedesaan menjadi lebih rumit.
Pengalaman perempuan di daerah pedesaan dari berbagai studi yang telah disajikan sebelumnya, baik dalam ekosistem pertanian maupun pesisir, menunjukkan bahwa perlu ada pemahaman baru bahwa kontribusi perempuan dalam membantu masyarakat menghadapi perubahan iklim sangat penting.
Kurangnya rencana mitigasi dan adaptasi iklim yang mempertimbangkan gender, serta kebutuhan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis gender dalam menghadapi perubahan iklim, perlu segera diwujudkan (Situmeang dan Aflaha 2022).
Disparitas gender di kawasan pesisir memang menjadi tantangan yang serius dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Meski peran dan tanggung jawab gender yang berbeda dalam masyarakat dapat mempengaruhi sejauh mana individu dan kelompok dapat beradaptasi dan mereduksi dampak perubahan iklim, namun seringkali hal ini justru menjadi hambatan. Misalnya, perempuan yang biasanya memiliki akses dan kontrol lebih sedikit terhadap sumber daya, seringkali menghadapi tantangan lebih besar dalam beradaptasi dengan perubahan iklim.
Selain itu, peran tradisional gender dalam masyarakat pesisir seringkali membatasi partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait adaptasi iklim. Hal ini dapat mengakibatkan strategi adaptasi yang kurang efektif dan tidak inklusif. Oleh karena itu, penting untuk mengkritisi dan menantang norma-norma gender yang ada dan mendorong partisipasi yang lebih setara dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa upaya adaptasi tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan berkelanjutan (Assaduzzaman et al. 2023).
Salah satu cara untuk mereduksi dampak perubahan iklim adalah melalui perubahan dalam praktek pertanian. Misalnya, beralih ke tanaman yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem atau menggunakan teknik pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Namun, perlu diingat bahwa perempuan dan laki-laki seringkali memiliki akses dan kontrol yang berbeda terhadap sumber daya pertanian, sehingga strategi adaptasi ini harus mempertimbangkan aspek gender.
Selain itu, pengelolaan sumber daya alam juga harus ditingkatkan. Misalnya, melindungi dan memulihkan ekosistem pesisir seperti mangrove yang dapat berfungsi sebagai tameng alami terhadap badai dan banjir. Dalam hal ini, peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan sangat penting dan harus diperkuat dengan menyelenggarakan pendidikan berbasis gender dalam menghadapi perubahan iklim (Situmeang dan Aflaha 2022).
Kemudian penggunaan teknologi baru juga dapat membantu. Misalnya, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk memantau dan meramalkan cuaca ekstrem, atau menggunakan teknologi energi terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, akses dan kemampuan untuk menggunakan teknologi ini seringkali dipengaruhi oleh disparitas gender, sehingga upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa baik perempuan maupun laki-laki memiliki akses yang sama terhadap teknologi ini.
Dengan cara tersebut, masyarakat pesisir dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan mereduksi dampaknya, sambil juga mengatasi disparitas gender.
Dengan pendekatan yang inklusif dan berperspektif gender, kita dapat memastikan bahwa semua anggota masyarakat pesisir memiliki kesempatan yang sama untuk beradaptasi dan tumbuh di tengah perubahan iklim.***
Baca juga: Malangnya Negara Maritim di Tengah Gempuran Krisis Iklim
Editor: J. F. Sofyan
Sumber:
Assaduzzaman M, Filatova T, Lovett JC, Coenen FransHJM. 2023. Gender-Ethnicity Intersectionality in Climate Change Adaptation in the Coastal Areas of Bangladesh. Sustainability. 15(4):3744.doi:10.3390/su15043744.
Pratiwi Misbahul A. 2023. Bagaimana perubahan iklim memperparah ketimpangan gender di kawasan pesisir? The Conversatuan..doi:https://theconversation.com/bagaimana-perubahan-iklim-memperparah-ketimpangan-gender-di-kawasan-pesisir-217923.
Situmeang WH, Aflaha FR. 2022. Ragam Modal Perempuan Perdesaan dalam Menghadapi Perubahan Iklim di Tengah Subordinasi. j. peremp. 27(3):241–253.doi:10.34309/jp.v27i3.734.
Tanggapan