Merawat Indonesia Lewat Kearifan Lokal

masyarakat adat

Indonesia mempunyai jumlah pulau mencapai 17.500 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Hal ini memberikan Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan keberagaman suku yang heterogen.

Ini menjadikan Indonesia kaya akan budaya, salah satunya budaya sasi yang ada di Maluku. Sasi merupakan sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan memanfaatkan potensi sumber daya dalam jangka waktu tertentu.

Kearifan lokal sasi menjadi warisan dari kebudayaan masa lampau dan terus dipegang teguh sampai pada zaman modern ini. Berarti secara tidak langsung sasi memberikan arti penting pada keseimbangan alam sehingga mampu dipelihara sampai sekarang.

Keseimbangan alam tidak terlepas dari peran manusia didalamnya yang menjadi aktor penting dalam mengerakan aturan sasi tersebut.

Tradisisi Buka Sasi Ikan Lompa di Negeri Haruku. / Foto: Edi Liku jurnal

Indonesia dan negara-negara yang ada di dunia sedang memerangi perubahan iklim. Perubahan iklim disebabkan karena meningkatnya gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh banyaknya aktivitas industri.

Gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek percepatan proses pemanasan global dan meningkatkan frekuensi peristiwa cuaca ekstrim. Perubahan ilkim memberikan pengaruh sampai ke pulau-pulau yang ada di pesisir Indonesia, mulai dari terjadinya peningkatan permukaan air laut, fenomena erosi, dan bisa hilangnya pulau-pulau kecil.

Memerangi perubahan iklim dan lingkungan hidup dapat diatasi dengan sinergitas yang dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder di lapisan masyarakat dengat memperkuat sistem lokal yang ada berupa aturan sasi. Kenapa demikian?

Ada sekitar 370 juta masyarakat adat saat ini yang mewakili ribuan bahasa dan budaya, di mana tanah adat atau ulayat membentuk sekitar 20% dari wilayah bumi, mengandung 80% dari keanekaragaman hayati yang tersisisa di dunia, merupakan suatu pertanda bahwa masyarakat adat adalah penjaga lingkungan yang paling efektif (Hudson Hutapea dan Ratih Lestarini, 2023).

Ini membuktikan masyarakat adat memiliki andil penting dalam upaya memerangi perubahan iklim dan lingkungan hidup.

Fakta empirisnya tidak menunjukan adanya penguatan aturan untuk memperkuat sistem lokal dalam hal ini sasi sebagai aturan yang sudah menjadi satu kesatuan yang utuh antara manusia dan alam. Padahal upaya yang dilakukan oleh aturan sasi juga memberikan efek jerah pada pelaku yang tidak mematuhinya.

Dijelaskan oleh La Nalefo (2020), masalah mengapa sistem lokal justru dimatikan atau tidak disinergikan dengan kreasi sistem pengelolaan yang modern, jawabanya karena pengaruh paradigma pembangunan modernisasi yang melihat bahwa segala bentuk struktur sosial dan kultur budaya masyarakat dianggap menghalang lajunya pembangunan menuju masyarakat modern, sebab sistem lokal tidak mampu menjadi wahana transfer kapital dan teknologi.

Pembangunan dilakukan justru mengharuskan membuat lembaga baru yang modern untuk mewadahi perubahan, sementara lembaga tradisional milik masyarakat lokal tidak dilibatkan atau diabaikan.

Ketakutan akan terjadinya distrupsi dimasa depan yang membahayakan Indonesia. Jangan sampai postula kuno ini terjadi dikemudian hari “hanya ketika pohon terakhir telah mati dan sungai terakhir telah tercemar sulit dipulihkan dan ikan terakhir telah ditangkap barulah kita menyadari bahwa kita tidak dapat memakan uang”.

Kanada telah mereformasi hukum lokal dengan membuat badan hukum masyarakat adat yang dibentuk untuk memfasilitasi kepemilikan bersama atas proyek di tanah adat atau ulayat.

Fenomena perkembangan ini menjadi tren yang lebih luas atas meningkatnya pengakuan internasional terhadap hak-hak masyarakat adat untuk menentukan sendiri penggunaan sumber daya di tanah ulayat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup terutama dalam hal pengendalian dampak lingkungan (Hudson Hutapea dan Ratih Lestarini, 2023).

Belajar bagaimana Kanada mampu mentransformasikan hukum lokal menjadi badan hukum yang modern dan kuat dalam upaya memberikan ruang yang kondusif bagi kepemilikan bersama masyarakat adat atas sumber daya.

Pengetahuan holistik yang dikembangkan masyarakat adat didasari atas mempertahankan sistem sosial-ekologis yang seimbang. Keterlibatan yang dilakukan oleh masyarakat adat itulah sampai proses pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan dapat dirasakan terutama di daerah pedesaan.

Pendekatan yang bisa dikembangkan untuk memperkuat pengelolaan sumber daya yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan aturan sasi yakni pendekatan Community Based Reseorce Management atau pengelolaan berbasis masyarakat merupakan pendekatan yang strategis dimana masyarakat diberikan kesempatan atau bertanggung jawab mengelola sumber dayanya, menetapkan kebutuhan, maksud dan aspirasinya, serta mengambil keputusan untuk mempengaruhi keberadaanya. Pendekatan ini dianggap sebagai alternatif memecahkan masalah dan kesulitan yang muncul dari eksplorasi dan konservasi sumber daya alam (Fellizar, 1993).

Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat diyakini mampu menghadirkan penguatan untuk mendukung dan memperkuat sitem hukum lokal dengan melakukan pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai fasilitator buat meningkatkan presepsi, kesadaran, dan partisipasi dari masyarakat sehingga pola pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan daya dukungnya dan mekanisme pemerataan atau sumber daya miliki bersama yang adil, adalah salah satu ciri mengentaskan permasalahan lingkungan dan kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat.

Lingkungan yang sehat dan terpelihara memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan serta tidak adanya kecemburuan atau konflik sosial yang akan mencegah kerusakan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya diluar aturan sistem lokal yang berlaku (La Nalefo, 2020).

Penguatan yang dilakukan untuk memperkuat sistem lokal adalah dengan melakukan pendekatan kelembagaan. Kerjasama antara kelembagaan dapat menjadi penguatan hukum sasi yang kuat, akan tercipta kerangka aturan yang kokoh dan berkelanjutan untuk menjaga sumber daya alam Indonesia.

Hal tersebut memberikan perlindungan jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekosistem Indonesia.

Tahapannya bisa melalui beberapa cara:

1) Kerjasama antara pemerintah, lembaga suadaya masyarakat, dan organisasi sosial.

Kerjasama penting sekali dikerjakan sebab dapat memberikan dukungan dan membantu dalam pendampingan, pengawasan, serta pelaporan perkembangan setiap harinya;

2) Meningkatan kapasitas lembaga lokal dengan cara pelatihan dan pendidikan pada pemahaman sistem lokal lebih dalam, termasuk perlindungan sumber daya alam dan konsekuensi pelanggaran sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat dalam penegakan hukum terkait sasi;

3) Partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam proses pembuatan keputusan terkait aturan sasi. Ini dapat dilakukan melalui konsultasi, dialog publik, dan partisipasi aktif dari masyarakat agar dukungan lebih efektif dalam menjaga sumber daya;

4) Sanksi yang tegas harus didukung dengan konsistensi untuk memperkuat kepatuhan terhadp aturan sasi;

5) Pengawasan dan penegakan aturan harus sejalan dengan kesepakatan bersama untuk menjaga, merawat, dan memanfaatkan secara seimbang buat keberlanjutan sumber daya serta kesenjangan sosial.

Hal tersebut dapat berjalan lancar apabila semua sistem dalam kelembagaan dapat berjalan berdampingan, sehigga apa yang di cita-citakan bersama dapat terwujud sebagaimana mestinya.***

Baca juga: Masyarakat Pesisir: Derita yang Direstui Zaman?

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan