Saat Rumput Laut Datang, Laut Dikapling-kapling

rumput laut

Laut sejak dulu menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Membicarakan laut, saya jadi ingat salah satu kutipan dari buku “Filosofi Kopi” karangan Dee Lestari yang berbunyi:

Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya. Karena di hadapan kopi, kita semua sama

Dalam kutipan tersebut, kita hanya perlu mengganti kata “kopi” dengan “laut”, itu cukup menggambarkan bagaimana posisi laut sebagai sumber penghidupan masyarakat pesisir sebagai milik bersama (komunal). Itu dulu, bagaimana dengan laut hari ini?

Selain untuk kegiatan penangkapan, di banyak wilayah ruang laut dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya rumput laut.

Rumput laut merupakan salah satu komoditas hasil laut yang bernilai ekonomis tinggi. Hal tersebut turut mempengaruhi masyarakat pesisir berminat untuk membudidayakan jenis alga ini.

Dalam tulisan Langford, dkk yang dilansir dari laman theconversation.com, menjelaskan bahwa lebih dari satu juta orang pesisir di Indonesia mengandalkan pendapatan dari rumput laut, hal ini membuat industri rumput laut berkembang di Indonesia.

Rumput laut begitu digemari di pasar ekspor karena beragam manfaatnya. Seperti yang dilansir di laman Kompas.com, bahwa rumput laut kaya akan manfaat, khususnya bagi kesehatan.

Laut yang dikapling untuk lokasi budidaya. / Foto: Agung Raka Pratama

Rumput laut dapat mencegah kanker, mencegah stroke, mencegah penuaan dini, mencegah penurunan kecerdasan, menurunkan berat badan, sebagai antioksidan, mencegah osteoporosis, gangguan pencernaan hingga mempercepat penyembuhan luka.

Karena potensi tersebut, rumput laut sangat digemari dikalangan pelaku usaha, terutama eksportir.

Pulau labbotallua menjadi salah satu daerah yang, sebagian besar penduduknya bertani rumput laut. Pulau labbotallua, secara administratif berada di Desa Mattiro Baji, Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar. Jarak tempuh dari pusat kota Makassar memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan (darat-laut).

Pulau Labbotallua merupakan pulau buatan dengan menggunakan tenaga manusia. Daratan pulau ini dibuat dengan memanfaatkan pohon-pohon yang hanyut, kemudian di patok hingga membentuk persegi dan diisi batu karang mati, hingga ditimbun pasir diatasnya.

Bagi warga pulau, sampah plastik juga dimanfaatkan untuk menimbun daratan untuk membuat lokasi perumahan di pulau ini.

rumput laut
Pemukiman warga di Pulau Labbotallua dari kejauhan. / Foto: Agung Raka Pratama

Dari segi perawakan, Pulau Labbotallua sangat berbeda dengan pulau-pulau pada umumnya yang di kelilingi pohon kelapa dan rindangnya pepohonan.

Hal itu dikarenakan tanah yang ada di pulau ini tak bisa ditanami (non produktif). Sehingga, dari kejauhan perkampungan yang ada di pulau ini nampak seperti rumah terapung.

Pada awalnya, masyarakat Labbotallua menangkap ikan dan membuat arang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan tersebut dilakoni karena bentang alam pulau di dominasi oleh mangrove dan laut.

Pada tahun 1980-an, komoditas rumput laut masuk di pulau ini. Dari tuturan warga, saat saya berkunjung ke pulau ini, bahwa rumput laut di perkenalkan oleh seseorang yang berasal dari daerah Pangkajene dan Kepulauan.

Pada waktu itu, ia mengajarkan teknik budidaya rumput laut kepada masyarakat Labbotallua. Kedatangan rumput laut disambut baik bagi masyarakat. Hal tersebut tercermin dari DB, Salah seorang petani rumput laut :

Alhamdulillah, sejak rumput laut masuk warga sudah bisa naik umroh”

Ada dua jenis rumput laut yang di budidayakan oleh masyarakat Labbotallua, yakni gulung-gulung (eucheuma cottonii) dan Eucheuma Spinosum.

Rumput laut jenis Kotoni biasanya dibudidayakan pada saat masuk musim barat, terjadi dalam rentang waktu Januari-April.

Sedangkan jenis Euchema Spinosum dapat di budidayakan sepanjang tahun. Dikarenakan jenis ini lebih mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

rumput laut
Seorang petani rumput laut bersama istrinya sedang menjemur rumput laut. / Foto: Agung Raka Pratama

Sedikit banyaknya, masuknya rumput laut tentu membawa perubahan alur sejarah pulau (ruang) beserta dengan orang-orang yang mendiaminya.

Sejak masuknya rumput laut, laut berubah menjadi milik privat. Laut mulai dikapling-kapling untuk dijadikan lokasi budidaya oleh masyarakat asli pulau.

Dikarenakan dampak ekonomi yang ditimbulkan dari alga ini, pendatang yang juga bermukim di pulau ini harus membeli lokasi pada penduduk asli untuk melakukan kegiatan budidaya rumput laut.

Dari hak milik pribadi yang dijalankan melalui mekanisme pengkaplingan turut menjadikan laut sebagai komoditas yang bisa di perjual-belikan.

Selain itu, kegiatan pengkaplingan laut turut mempengaruhi kondisi ruang penangkapan bagi nelayan tangkap. Misalnya, cerita yang saya dapatkan waktu berkunjung, bahwa nelayan tidak lagi bisa mencari ikan di area lokasi rumput laut.

Laut sebagai ruang penghidupan milik bersama sudah berubah jadi serpihan kisah lama. Kini di hadapan laut, kita semua tak lagi sama.***

Baca juga: Potret Muram ABK Perikanan di Indonesia

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan