Mencari Teripang Sampai Jauh, Indikasi Berkurangnya Populasi?

teripang

“Kalau saya punya daerah penangkapan di Selat Makassar, di daerah perbatasan antara Kalimantan dengan Sulawesi barat. Nanti teman-teman di luar panggil lagi, kalau memang ada hasil, misalnya di (pulau) Karamean, di (pulau) Kallang Bau sana, dia kontek kita, baru kita ke sana. Kallang Bau daerah Kalimantan Selatan, dekat (pulau) Mata Siri, (pulau) Masalembo,”

Pernyataan itu disampaikan seorang Pinggawa Kapal (istilah lokal yang berarti Nahkoda) pencari teripang yang bermukim di Pulau Barrang Lompo saat saya melakukan penelitian skripsi tahun 2019 yang lalu.

Sang Pinggawa Kapal menambahkan, waktu tempuh untuk sampai ke lokasi pencarian itu memakan waktu dua hari dua malam, menggunakan kapal motor dengan kecepatan penuh dari Pulau Barrang Lompo, yang termasuk dalam gugus Kepulauan Spermonde, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Ketika mendengar pernyaatan tersebut, saya menganggap hal itu wajar belaka.

Pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa harus mencari sampai jauh? kenapa tidak mencari teripang di perairan Kepulauan Spermonde? sama sekali tak terpikirkan.

Apalagi nelayan teripang Makassar sudah lama dikenal sebagai penjelajah ulung yang mencari teripang sampai ke benua Australia.

Namun, setelah membaca sejumlah literatur tentang pencarian dan perdagangan teripang, saya mulai paham mengapa nelayan Makassar tidak mencari teripang di sekitar perairan tempat mukimnya dan harus mencari teripang sampai jauh.

Kisah Pemanfaatan Teripang

Seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pradina Purwati, dalam publikasinya berjudul Teripang Indonesia: Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan, mengatakan bahwa perdagangan teripang telah berlangsung sejak 300 tahun lalu.

Perdagangan teripang dimulai ketika kota-kota di Nusantara terkonsentrasi di daerah pesisir, yang memudahkan nelayan melakukan kontak dengan pedagang yang datang dari penjuru dunia.

Bangsa Tionghoa pada abad 16-17 masehi yang telah sampai ke berbagai wilayah di Nusantara menjadi pendorong perdagangan teripang. Sebab bagi bangsa Tionghoa, teripang adalah makanan lezat yang berkhasiat, dan kerap disajikan pada saat perayaan pernikahan dan tahun baru imlek.

Hal itulah yang membuat bangsa Tionghoa menjadi konsumen terbesar dari penjualan teripang.

Dalam buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad ke 17 hingga 20, Yerry Wirawan mengatakan bahwa:

“Konsumsi teripang di Tiongkok telah disebutkan sejak dinasti Yuan, bahkan awal dinasti Ming. Pada awalnya, orang Tionghoa mendapatkan teripang sepanjang pantai Tiongkok. Baru pada awal abad ke 18, mereka mulai mengimpornya dari laut selatan. Teripang juga dikumpulkan oleh penduduk yang hidup di laut terutama orang-orang Bajau, Bugis dan Makassar.”

Pernyataan Wirawan sejalan dengan pemaparan Ana Setyastuti dalam Sinopsis Teripang Indonesia; Dulu, Sekarang dan Yang Akan Datang.

Ana Setyastuti menjelaskan bahwa dahulu di sepanjang pesisir pantai Tiongkok, teripang sangat mudah ditemukan.

Sampai akhir abad 17, ketika populasi teripang di wilayahnya semakin sedikit, barulah bangsa Tionghoa mengimpor teripang yang berasal dari Jepang dan Asia Tenggara.

Teripang memang dapat ditemukan di perairan sub-tropis dan tropis di seluruh dunia. Tetapi, pusat kelimpahan dan keragaman spesies dipercayai terletak di perairan Nusantara.

Daerah perairan Nusantara yang menjadi penghasil teripang dari abad ke 16 sampai 19, menurut Kathleen Schwerdtner Manez  & Sebastian C A Ferse, yaitu Sulawesi Tenggara, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Maluku Selatan, Kepulauan Luang Moa, Tanimbar, Papua Barat, Sumbawa, Timor, Selayar, Marege, Kayu Jawa dan Kepulauan Spermonde.

Indikasi Berkurangnya Populasi

Ana Setyastuti juga menjelaskan bahwa sebelum abad 20, alat bantu tangkap teripang hanya menggunakan kayu, yang di ujungnya diberi paku untuk menusuk teripang.

Kayu itu digunakan bersama keranjang yang dipikul di punggung sebagai penampung. Saat itu, fishing ground atau wilayah penangkapan teripang hanya di sepanjang pesisir pantai.

Penangkapan teripang pada umumnya dilakukan pada saat air laut surut. Sedangkan ketika air laut sedang pasang, keranjang digantikan oleh sampan kecil. Hal ini dijelaskan Setyastuti dengan mengutip keterangan dari Manez dan Ferse.

Teripang
Infografis: Musthain Asbar

Meski hanya pakai alat sederhana, hasil ekspor teripang ketika itu jumlahnya beratus-ratus ton. Setyastuti mengutip berbagai hasil penelitian dalam menampilkan jumlah ini.

Seperti pada pertengahan abad 18, ekspor teripang dari Makassar sebanyak 490-500 ton dalam satu tahun. Bahkan jumlah tersebut meningkat sebelum masa kemerdekaan dengan jumlah 640 ton.

Di akhir abad 19, menurut Purwati, ekspor teripang mencapai puncaknya dengan jumlah 2.928 ton per tahun.

Tapi puncak ekspor teripang di akhir abad 19, kata Setyastuti, hanya sesaat, sebab tahun-tahun setelahnya, statistik ekspor teripang perlahan mengalami penurunan.

Selain data ekspor teripang, Setyastuti juga menjabarkan indikasi lain dari berkurangnya populasi teripang, yang dapat dilihat dari eksplorasi wilayah dan perubahan cara tangkap nelayan teripang.

Dalam buku The Voyage To Marege, Campbell Macknight menyampaikan bahwa di akhir abad 18, nelayan pencari teripang dari suku Makassar berlayar ke arah selatan, sekitar pulau Nusa Tenggara, hingga ke pesisir utara Australia. Ketika itu, nelayan Makassar mulai mengeksplorasi wilayah baru untuk mencari teripang.

Eksplorasi nelayan Makassar ke pesisir Australia, menurut Setyastuti, menjadi indikasi terjadinya early overfishing teripang di perairan Indonesia.

Pendapat ini Setyastuti sampaikan, setelah mengutip pernyataan Knaap & Shuterland, yang menyatakan bahwa sejak teripang menjadi komoditas utama di Makassar di akhir abad 18, lokasi pengambilan teripang semakin jauh.

Ketersediaan teripang di perairan Kepulauan Spermonde yang lebih dekat dengan pemukiman nelayan Makassar, diperkirakan telah mengalami penurunan. Sehingga nelayan Makassar secara masif dan berkala melakukan pelayaran ke pesisir utara Australia pada akhir abad 18 sampai abad 19.

Perkiraan ini semakin kuat, setelah saya membaca tulisan Setyasuti et all yang spesifik mengulas teripang di empat wilayah.

Dalam tulisannya, Setyastuti mengutip hasil temuan Conad & Tuwo (1996), yang menyatakan bahwa teripang di Kepulauan Spermonde diperkirakan telah mengalami tangkap lebih (overfishing) sebelum tahun 1996.

Hal ini, saya kira bisa membuat kita paham, mengapa nelayan Makassar tidak mencari teripang di perairan Kepulauan Spermonde yang lebih dekat dengan pemukiman mereka.

Selain eksplorasi wilayah, perubahan cara tangkap yang dilakukan nelayan Makassar, bisa juga jadi indikasi berkurangnya populasi teripang, terutama teripang yang ada di perairan pantai yang relatif dangkal.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa alat bantu penangkapan teripang awalnya hanya kayu yang ujungnya diberi paku. Namun, seiring bertambahnya waktu, nelayan teripang Makassar sama sekali tak menggunakannya lagi.

Sekarang, nelayan Makassar harus menyelam untuk mengumpulkan teripang, karena lokasi pencarian teripang mereka bukan lagi di pesisir pantai yang dangkal, tetapi berada di dasar laut dengan kedalaman 20-30 depa.

Untuk menjangkau dasar laut, sejak tahun 1980-an, mereka memakai kompressor sebagai alat bantu menyelam.

Walau penggunaan kompressor dapat mengakibatkan kelumpuhan dan kematian, namun nelayan Makassar masih tetap menggunakannya sampai sekarang.

Dari hasil membaca literatur ini, kita bisa berhipotesis bahwa eksplorasi dan perubahan cara tangkap yang dilakukan nelayan Makassar, berhubungan dengan berkurangnya populasi teripang.

Hanya saja, penelitian yang lebih komprehensif dan menyeluruh tetap dibutuhkan untuk mengetahui kondisi riil populasi teripang, baik di perairan Kepulauan Spermonde, atau di perairan Indonesia secara umum.

Apalagi saat ini sudah ada tiga spesies teripang, yaitu teripang susu putih (Holothuria fuscogilva), teripang koro (Holothuria nobilis) dan teripang susu hitam (Holothuria whitmaei), yang termasuk dalam golongan Appendix II CITES (Comission of International Trade on Endangered Species), yang berarti hewan yang mungkin akan punah bila perdagangannya tidak memiliki aturan pemanfaatan.***

Baca juga: Masyarakat Nusa Tenggara Timur Menjaga Laut Bersama Akademisi

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan