Penjajahan Modern Berkedok Pariwisata di Kawasan Pesisir

Penjajahan Modern Berkedok Pariwisata

Penjajahan modern berkedok pariwisata banyak terjadi. Indonesia seringkali disebut sebagai negara yang kaya akan keindahan alam dan budaya, keanekaragaman hayati, kearifan lokal serta keunikan makanan, bahasa serta tradisi dari satu daerah bahkan dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya.

Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dimana lokasinya strategis dan diapit oleh dua samudra besar membuat Indonesia kaya akan sumberdaya bahari yang dapat dinikmati baik untuk kehidupan sehari-hari bagi masyarakat lokal maupun untuk wisatawan.

Bahkan hal ini terbukti dengan banyaknya lokasi yang dilirik oleh organisasi dunia, seperti UNESCO dimana terdapat 14 lokasi yang ditetapkan menjadi cagar biosfer dunia di Indonesia. Dengan adanya lokasi-lokasi yang diperkenalkan sebagai cagar biosfer dunia, secara tidak langsung hal tersebut berdampak pada sektor pariwisata di Indonesia dimana para wisatawan asing akan datang karena ketertarikan mereka akan orisinalitas dari keindahan alam Indonesia.

Namun hal ini belum bisa dijadikan sebagai senjata untuk menaikan pamor Indonesia dalam dunia kepariwisataan, mengingat jika dilihat dari kacamata yang komprehensif Indonesia sendiri belum siap menerima wisatawan asing dalam kuantitas yang banyak.

Pengelolaan kawasan wisata yang masih sangat buruk, dimana para pihak pengelola masih berorientasi pada nilai profit dibanding benefit akan pembangunan pariwisata itu sendiri, maka dari kebanyakan kasus di kawasan pesisir yang melibatkan sektor pariwisata malah menjadi bumerang untuk sektor pariwisata.

Kurangnya perencanaan yang matang dalam pembangunan, tidak melibatkan masyarakat lokal serta pengelolaan lingkungan yang sangat buruk menjadi alasan utama mengapa pariwisata sering kali gagal diterapkan di kawasan pesisir, belum lagi self claimed dari para sektor swasta yang membangun akomodasi di kawasan pesisir dan melakukan self claimed bahwa kawasan pesisir tersebut adalah milik mereka dan masyarakat lokal tidak boleh berada di sekitar kawasan. Pembangunan seperti inilah yang sering terjadi dan sangat umum ditemukan pada kawasan-kawasan pesisir yang terkenal akan kegiatan berwisata.

Penjajahan Modern Berkedok Pariwisata
Volunteer Greenpeace di Padansari beach, Bantul, Yogyakarta.

Dari penjelasan diatas, sangat mudah disimpulkan bahwa pembangunan, pengelolaan dan pengembangan pariwisata di kawasan pesisir masih mentah dan sangat perlu dilakukan perencanaan yang matang oleh para ekspert di bidang pariwisata serta harus dan wajib berlandaskan pembangunan berkelanjutan, agar kawasan pesisir Indonesia setidaknya mendapatkan satu sertifikasi Blue Flag.

Apa sebenarnya Blue Flag itu? Blue Flag merupakan sertifikat bergengsi yang diberikan oleh badan terkait untuk kawasan-kawasan pesisir yang sudah menerapkan pembangunan serta pengelolaan berkelanjutan, dimana masyarakat sekitar sejahtera, lingkungan terhindar dari kerusakan yang masif akibat adanya kuantitas wisatawan yang berlebih, serta pengelolaan jumlah wisatawan yang baik.

Untuk mendapatkan sertifikat Blue Flag, perlu adanya kolaborasi dan sosialisasi yang signifikan untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir.

Harus adanya regulasi dari pemerintah terkait kerangka kerja yang baik dalam melakukan pembangunan, serta sektor swasta yang berhenti melakukan self claimed area kawasan pesisir, pelibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan dalam menilai kapasitas daya dukung lingkungan sehingga kerusakan yang masif akibat pariwisata akan ditekan sebaliknya, eksternalitas positif akan dirasakan oleh segala sektor serta lingkungan terkait.

Indonesia sendiri belum memiliki blue flag sama sekali, dikarenakan pengelolaan kawasan pesisir yang dapat dikatakan cukup buruk.

Jangankan bicara soal pihak pengelola, wisatawan yang datang pun sepertinya belum siap dengan adanya kegiatan berwisata dilihat dari volume sampah yang ditinggalkan setelah para wisatawan berwisata.

Pentingnya pola pikir dan memahami struktur berpikir yang berkeadilan nampaknya belum tertanam di kebanyakan masyarakat kita, masih menjadi pekerjaan rumah, padahal cara berpikir mendasar ini akan menentukan kepada rencana-rencana turunan nya dalam menjalankan sebuah pembangunan.

Fakta seperti ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi para stakeholder untuk berhenti melihat pariwisata dari sisi profit semata dan sebaliknya pariwisata harus diajdikan suatu senjata peningkatan kualitas hidup dan lingkungan terutama pada kawasan pesisir dan laut.

Profit yang berkeadilan yang tidak merugikan lingkungan atau masyarakat kecil adalah sebuah dampak dari sebuah ekosistem tata kelola yang adil dan berkualitas untuk semua pihak dan semua sektor.

Baca juga: Strategi Pemanfaatan Pulau – Pulau Kecil Untuk Pengembangan Ekowisata Secara Berkelanjutan

Editor: Jibriel Firman

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan