Di Kei, Belajar dan Memahami dari Alam (Bag. 2)

James E. Anderson dalam “Public Policy Making” (1984) mengatakan bahwa kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna menyelesaikan suatu masalah tertentu.

Menghadapi masalah kerusakan alam akibat dari pengambilan pasir dan tanah putih yang terjadi di Kepulauan Kei maka sangat dibutuhkan kebijakan publik yang dapat mengarahkan tindakan bersama untuk menyelesaikan masalah itu.

Truk pengambil pasir melintas di jalan yang terkena abrasi, pengambilan pasir selalu dilakukan untuk memenuhi tuntutan pembangunan (Desa Difur – foto di ambil 15 Januari 2017)

Festival Meti Kei 2016 yang menampilkan wer warat, musik dan tarian tradisional bukanlah suatu tontonan hiburan semata tetapi juga merupakan serangkaian tindakan menjaga lingkungan alam dan laut berserta isinya karena dilandasi pengetahuan tentang keteraturan di alam.

Pandangan leluhur Kei tentang adanya keteraturan di alam sejalan dengan teori para ahli geologis abad ke-19, dijelaskan oleh William Ryan dan Walter Pitman dalam “ Noah’s Flood: The New Scientific Discoveries About The Event That Changed History “ bahwa perkembangan alam semesta seragam, bertahap, dan selalu terkena dampak logis yang sama.

Berpijak dari kedua pendapat itu maka sudah seharusnya pengetahuan tentang keteraturan di alam dijadikan kebijakan publik untuk mengurangi kerusakan lingkungan alam, menghadapi perubahan iklim, naiknya permukaan air laut serta dampaknya terhadap wilayah-wilayah kepulauan dan pulau-pulau kecil. Jika tidak ditanggani secara serius maka bisa saja terjadi – sebagian daratan di Kepulauan Kei akan tenggelam beberapa tahun mendatang.

Dikatakan bisa saja terjadi, karena melihat kondisi saat ini beberapa wilayah dekat pantai di Kepulauan sering kali kemasukan air laut. Artinya, gejalanya sudah mulai kelihatan dan harus segera mencari solusinya.

Menurut seorang tokoh masyarakat Pak Guru Abdullah dan Raja Danar Bapak Haji Hanubun jarak antara air laut dengan tembok monumen Larvul dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat drastis. Dulu jaraknya sangat jauh sekarang justru semakin mendekat.

Pengambilan pasir di belakang lokasi monumen yang tidak jauh jaraknya dari aktivitas wer warat dalam jumlah yang sangat banyak beberapa tahun lalu membuat jarak antara air laut dan tembok belakang monumen semakin dekat. Ketika gelombang besar datang tembok belakang monumen sering terkena hantaman air laut.

Akibatnya, tembok belakang monumen roboh meski sudah diperbaiki tetapi kemudian roboh lagi karena terkena hantaman air laut. Sampai saat ini tembok itu masih dalam kondisi roboh.

Monumen Larvul di Desa Elaar Elaar Kecamatan Kei Kecil Timur Selatan Kabupaten Maluku Tenggara tempat dicetuskannya hukum adat di wilayah Ursiuw Kei Kecil. (Di foto Januari 2017)
Monumen Larvul di Desa Elaar Elaar Kecamatan Kei Kecil Timur Selatan Kabupaten Maluku Tenggara tempat dicetuskannya hukum adat di wilayah Ursiuw Kei Kecil. (Di foto Januari 2017)

Hal yang sama terjadi di desa Difur karena minimnya kepedulian masyarakat, kebutuhan ekonomi, tuntutan pembangunan, dan hak ulayat (petuanan) maka sulit sekali menekan pengambilan pasir dan tanah putih.

Mencermati kerusakan lingkungan alam yang terjadi secara global sebagaimana juga yang kini mulai melanda Kepulauan Kei Maluku Tenggara akibat dari pembangunan yang kurang memerhatikan aspek lingkungan maka tanggal 23 Ferbuari 2017 kami generasi muda Kei di Jakarta yang tergabung dalam Beta Maluku Institute melakukan pertemuan dengan Bapak Walikota Tual Adam Rahayaan di wilayah Jakarta Pusat.

Melalui pertemuan itu kami menyampaikan beberapa hal terkait dengan isu lingkungan sekaligus ingin membantu pemerintah daerah untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi di sana dengan berpijak pada pengetahuan lokal.

Semoga ada kerjasama yang baik di daerah antara eksekutif dan legislatif untuk bersama-sama memulihkan kembali kerusakan lingkungan alam karena tuntutan pembangunan dengan cara memikirkan konsep pembangunan seperti apa yang harus dilakukan dengan mempertimbangkan Kotamadya Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara sebagai wilayah kepulauan bukan kontinental.

Pertemuan dengan Bapak Walikota Tual Adam Rahayaan bersama Beta Maluku Institute terkait dengan isu lingkungan

Selain itu, diperlukan juga partisipasi masyarakat (public participation) agar bersama-sama membantu program pemerintah terkait dengan pelestarian lingkungan alam serta bersama-sama memulihkan kembali kerusakan lingkungan alam akibat pengambilan pasir dan tanah putih secara terus menerus sampai hari ini sama artinya dengan berupaya mengutamakan kepentingan dan keselamatan bersama dalam ruang publik, tidak saja untuk hari ini tetapi juga untuk masa mendatang.

Sekali lagi, kebijakan publik harus segara dibuat untuk menyelesaikan masalah ini, kalau pun sudah dibuat harus segera wujudkan secara nyata. Sebuah pepatah mengatakan, di mana kita berada di hari ini – itu karena pilihan kita di hari kemarin.

Di mana kita berada di hari esok – itu karena pilihan kita di hari ini.

Ayo, marilah bersama-sama bergandengan tangan memulihkan kembali lingkungan alam yang sudah rusak – yang lalu biarlah berlalu – dan yang harus dilakukan sekarang adalah terus berupaya menjaga lingkungan alam di Kepulauan Kei untuk generasi berikutnya, makhluk hidup lainnya serta masa depan bumi kita melalui kebijakan publik. Tabe Hormat!!! (*)

Lanjutan dari Bagian 1

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan