Jelajah Tomoli dan Memburu Mampo di Popa

Setitik hujan meniadakan apa yang terjadi barusan. Dentuman musik elegi dan lagu pengantar tidur pupus usai.

Pagi ini mataku masih pekat. Bukan karena belum cuci muka, atau terkena virus lokal pekat mata, namun asap dan bau itu menyengat hingga menusuk dan memedihkan mata kuncupku.

Rencananya pergi bersama kawan, sembunyi dan mengendap dari rerimbun bakau, menyusuri di antara belantara akar nafas yang muncul dari deretan mangrove sebutan lainya popa, bakau, atau si api-api, lalu menarik perlahan bentangan yang menggantung di antara dua julur bambu, yang kami namakan “Basalo Mampo” atau perangkap paneki. Sebelum kamu menceritakan kampungmu, ini cerita tentang kampungku.

Perkenalkan namaku Mail, rumahku dekat bibir pantai kurang dari 20 meter menghadap laut Teluk Tomini, teluk terluas di Indonesia, membentang dari wilayah tengah Togean Sulawesi Tengah di timur laut Maluku dan utara Semenanjung Minahasa.

Teluk Tomini letaknya mengintari empat provinsi yakni Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara dan laut Aibku di Provinsi Maluku Utara.

Begitu di sekolah guruku mengajarkan perihal teluk, dijelaskan Teluk itu berarti letak laut yang menjorok kedaratan dan dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya. Sehingga memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Wah, seketika itu aku merasa bangga dengan halaman rumahku, setelah pulang sekolah, ketika air pasang, mengail dan menjala ikan adalah pilihan yang selalu aku lakukan.

Makanan kesukaanku tentu saja tabaro donco mirip pizza terbuat dari sagu, selain itu sholat dan mengaji, tapi kata ustad katanya kalau ibadah tidak boleh pamer apalagi riya, kembali ke popa!

Menurut Map (Google Map) Teluk Tomini jika ditarik garis lurus memiliki beberapa keunikan di antara batas-batasnya, wilayaha ini seluruhnya dilewati garis khatulistiwa, dihimpit Laut Sulawesi dan Teluk Tomini yang luas dengan suku dan bentang alam beragam.

Dahulu teluk ini memiliki gunung yang pernah aktif bernama Gunung Colo, kata kakekku waktu itu beberapa hari matahari tidak terlihat karena terhalang debu vulkanik, semua tanaman layu dan mati bahkan hewan sampai tak bisa makan rerumputan sebab debu diman-mana. Dengan perencanaan yang berkesinambungan kedepaan, semoga kekayaan tersebut dapat menjadi pengerak ekonomi desa terkhusus bagi masyarakatnya.

Desik kicau beradu, pagi yang berbeda pada tempat lain, di sini hembusan angin menari saling melengkapi di antara hamparan pasir. Mangrove mungil dan deretan perahu tradisional bajo yang meneduh, di antara musim angin barat saat ini.

Panorama unik terhampar langkah mewujud rupa Labua Oge Tomoli, satu kata yang menggambarkan kesyukuran atas ciptaan nya “luar biasa”.

Di kejauhan pada pucuk ranting-ranting bakau terlihat gelap warna menonjol, jika tak sadar setidaknya tangkai itu mati dan gugur oleh musimnya. Namun sangkaku salah, kenyataanya itu adalah kediaman mewah bagi hewan mamalia dengan banyak sebutan itu.

Jika di Minahasa kelelawar disebut Paneki/Paniki, di Jawa menjadi kalong, di Tiongkok meresahkan dan membuat perekonomian negara anjlok sebab di sebut penyebar virus mematikan Corona (Novel Corona Virus) sedang di sini disebut “Mampo” hingga Hollywood pun menjadikannya kumpulan ikon superhero pada film-film Marvel/DC “Batman of the gotham city”.

Sebenaranya Pulau Kelelawar di sini merupakan gugusan Mangrove marga Rizophora serta bakau jenis lainya, dengan luas mencapai lebih dari 3 hektar lebih menjadi gambaran baik bagi habitat ekosistem laut juga peran pelestariannya.

Rizhopora di sini ada yang hidup alami dengan siklus menjatuhkan diri dari tangkainya (Tongke) lalu tumbuh bebas. Namun, ada pula yang di budidayakan oleh kelompok mangrove setempat guna menjaga abrasi laut yang kian nyata, dengan segala kemungkinan yang terjadi di masa mendatang.

Perjalanan menyusuri mangrove dengan perahu di waktu senja adalah kombinasi menarik antara menikmati lanskap pulau dan terbenamnya matahari yang menawan hingga melihat momen terbangnya kelelawar dalam mencari makanan.

Tak jauh dari Pulau Kelelawar, menuju arah timur ada sebuah destinasi  bernama Pulau Pasi yang bisa di jadikan tempat snorkling yang kata orang di sini “buat mandi-mandi” dengan jarak tempuh kurang lebih 10 menit dengan perahu nelayan setempat, harga sewanya pun bersahabat, per orang hanya Rp.10.000. sekaligus di antar mengelilingi pulau serta berbasahan ria.

Bayu, Tono, Anto, dan Udin adalah pemuda asli kampungku, masing-masing mereka bersuku bajo. Keseharianya berbeda dari kebanyakan pemuda seusianya. Selain itu mereka ingin menjadi penerus pemimpin bagi daerahnya.

Berbekal ketinting dan perahu khas bajo menjadi sahabat karib mereka. “Bruk ting  bruk ting  bruk ting” begitu bunyi ketinting yang membawa wisatawan menjelajah Pulau Kelelawar ditemani pemandangan indah, teduhnya laut, dan angin sejuk yang mengisyaratkan kita untuk selalu bersyukur kepada sang pencipta. Mari berkunjung ke Tomoli.***

Baca juga: Pariwisata Berkelanjutan Desa Sawai: Potensi, Tantangan, dan Peluang

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan