Peningkatan Volume Sampah Plastik di Laut saat Pandemi Covid-19, Seberapa Bahaya?

Masyarakat secara global menghadapi sebuah anomali tak biasa yang memporak-porandakan tatanan kehidupan dalam dua tahun terakhir.

Virus Covid-19, yang pertama kali terdeteksi di China merebak dengan cepat ke berbagai negara hingga ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO selaku organisasi kesehatan dunia pada akhir Januari 2020.

Penyebaran virus yang berlangsung secara masif ke semua kalangan, tanpa pandang bulu, sukses menciptakan kasus positif infeksi yang mencapai ratusan juta jiwa hingga detik ini.

Alhasil, sederet kebijakan baru dibuat oleh pemerintah guna menekan mobilitas penduduk demi meminimalisir penyebaran virus Covid-19, salah satunya menghimbau masyarakat untuk tetap berada di rumah dan beraktivitas secara daring, baik bekerja maupun aktivitas pembelajaran di dunia pendidikan.

Namun, kebijakan tersebut malah membawa problematika baru, yakni masyarakat semakin konsumtif dalam berbelanja secara online serta limbah medis yang tak lagi terpakai berdampak pada peningkatan jumlah sampah, khususnya plastik sekali pakai.

Kenaikan Volume Sampah Plastik di Masa Pandemi

Ilustrasi sampah (unsplash.com/Jasmin Sessler)
Ilustrasi sampah plastik. / Foto: unsplash.com / Jasmin Sessler

Laporan Ocean Conservancy, di dalam salah satu artikelnya, menyebut bahwa terdapat 129 miliar masker sekali pakai dan 65 miliar sarung tangan medis yang digunakan di seluruh dunia setiap bulan semenjak pandemi berlangsung.

Angka tersebut sangat berkontribusi terhadap peningkatan volume sampah yang merebak dan menjadi masalah baru, terlebih sampah tersebut dibiarkan ke laut lepas. Hasil sebuah riset bahkan melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik tertinggi ke lautan kedua di dunia, yaitu 262,9 juta ton sampah, hanya kalah dari China.

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021, total sampah nasional mencapai angka 68,5 juta ton yang didominasi oleh sampah plastik akibat adanya peningkatan tren belanja online dan food delivery.

Hasil penelitian NielsenIQ mencatat per tahun 2021, terjadi kenaikan jumlah konsumen belanja online di Indonesia yang menggunakan e-commerce, seperti Shopee hingga TokoPedia mencapai 32 juta orang.

Selama pandemi juga, 90 persen makanan bertransaksi online dikemas menggunakan plastik sekali pakai yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling sering belanja online kelima per 2021, disadur dari laporan Digital 2022 Global Overview Report.

Bahaya Sampah Plastik di Laut

Sampah plastik berserakan di pantai. / Made Nagi / Greenpeace 

Sampah plastik dapat memberikan efek antiklimaks terhadap berbagai sektor kehidupan di laut, terutama populasi biota di dalamnya. Hal tersebut merupakan permasalahan pelik bagi wilayah laut Indonesia yang masuk dalam area Segitiga Karang Dunia. Area tersebut diklaim memiliki keanekaragaman biota laut paling tinggi di dunia. Terdapat 569 spesies dan 83 genus karang keras di Indonesia yang menyumbang sekitar 69 persen spesies dan 76 persen genus karang di seluruh belahan dunia.

Konferensi Kelautan yang diselenggarakan di New York pada tahun 2017 lalu menyebutkan bahwasanya limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan dalam jumlah besar dari tahun ke tahun.

Selain mengancam keberlangsungan biota laut, sampah plastik  juga berpotensi menyebabkan kenaikan tren pemanasan global yang menjadi alarm bagi kehidupan populasi fitoplankton di laut. Padahal, fitoplankton punya peran vital dalam menjaga kadar oksigen di  laut serta mendinginkan suhu bumi.

Berbicara mengenai efek jangka panjang, manusia yang dicap sebagai aktor utama dalam permasalahan ini juga turut merasakan imbasnya. Hal ini terjadi lantaran manusia mengonsumsi ikan serta produk lainnya dari laut yang sudah terkontaminasi oleh mikro plastik yang mengandung racun.

Racun yang terkandung di dalam mikro plastik akan berbahaya bagi metabolisme  dan fungsi reproduksi bagi makhluk hidup yang terpapar olehnya. Alhasil, racun tersebut turut menular ke manusia yang memakannya yang dapat membawa segelintir penyakit hingga ancaman kematian.

Well, pandemi Covid-19 telah mengubah pola hidup masyarakat secara global. Banyak perubahan yang bergulir selama pembatasan mobilitas berlangsung, salah satunya tren masyarakat yang kian konsumtif.

Akan tetapi, efek domino dari perilaku tersebut malah menimbulkan permasalahan sampah yang makin mendarah daging, khususnya plastik sekali pakai yang kian meningkat hingga mengancam ekosistem laut.

Manusia yang menjadi pelaku utama terkait masalah ini, sejatinya juga menjadi sosok terdepan dalam mengatasi kenaikan tersebut terus berlangsung demi keberlangsungan generasi penerus yang aman dari ancaman kerusakan lingkungan.***


gaya hidup

Mari bersama, kita dukung dan wujudkan perlindungan laut sebagai Marine Protected Area sebesar 30% di tahun 2030. Kamu bisa tanda tangani petisi di sini.

Baca juga: Pulau Tunda Dan Ancaman Limbah Industri Minyak

Editor: J. F. Sofyan

Sumber : sampahlaut.id, icctf.or.id, kompas.com Sains, nationalgeographic.grid.id, conservation.org

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan