Maraknya Penggunaan Bom Ikan di Indonesia

Meski Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah melarang siapa pun untuk menangkap atau membudidayakan ikan dengan bahan kimia, bahan biologis, maupun bahan peledak, penggunaan alat dan bahan tangkap seperti itu masih saja terjadi. Padahal, hal tersebut sangat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan.

Dalam beberapa tahun ke belakang, kasus penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak ditemukan di beberapa wilayah Nusantara, di antaranya:

1. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur

Pada 2017, terdapat dua kasus pengeboman ikan di wilayah Flores Timur yang para pelakunya sudah divonis satu tahun enam bulan penjara. Pada 2018, kasus destructive fishing tersebut menurun karena hanya ada satu kasus penangkapan ikan dengan menggunakan potasium di Kecamatan Solor Timur. 

Namun, aktivitas tersebut kembali naik pada 2019 dengan adanya tiga kasus bom ikan yang dilaporkan ke Pengadilan negeri Larantuka. Dari ketiga kasus tersebut, dua kasus sudah diadili dan para pelaku sudah dijatuhi hukuman masing-masing satu tahun tiga bulan penjara. 

2. Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan

Terumbu karang di Kepulauan Spermonde mengalami kerusakan serius, salah satunya akibat maraknya penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan, racun sianida, atau bius. Pada 2018, Marine Science Diving Club (MSDC) Universitas Hasanuddin melakukan pemantauan terumbu karang secara berkala dan menemukan tutupan karang hidup Pulau Barrang Lompo sebesar 40 persen (kategori sedang), Pulau Barrang Caddi sebesar 38 persen (kategori sedang), dan Pulau Samalona sebesar 30 persen (kategori buruk). 

Sementara itu, pada September 2019, Tim Pembela Lautan Greenpeace Indonesia telah melakukan kegiatan dokumentasi bawah laut di tiga titik Kepulauan Spermonde, tepatnya di Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, dan Kodingareng Keke. Hasilnya, kerusakan bawah laut akibat bom dan bius cukup kentara. Untuk itu, diperlukan adanya pengawasan dan penegakan hukum yang kuat agar ekosistem laut di Kepulauan Spermonde tidak mengalami kehancuran.

3. Pangkep, Sulawesi Selatan

Pada Juni 2020, tujuh nelayan ditangkap Petugas Patroli Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Polres Pangkep, Sulawesi Selatan, karena melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan rakitan di sekitar Pulau Sapuka.

Ketujuh pelaku tersebut diketahui telah menjalankan aktivitas pengeboman ikan berulang kali secara berkelompok. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, para pelaku dijerat ancaman hukuman enam tahun penjara.

4. Pulau Taliabu, Maluku Utara

Pada Agustus 2020, dua nelayan ditangkap Petugas Patroli Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Polda Maluku Utara di Pulau Taliabu karena memiliki 17 buah bom ikan rakitan. Salah satu pelaku mengaku, bahan peledak yang digunakan tersebut diperoleh dari kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kedua pelaku tersebut dikenakan pasal berlapis UU Darurat Kepemilikan Bahan Peledak dan UU Perikanan dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.

5. Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur

Pada Oktober 2020, tiga nelayan asal Pulau Mesa, Nusa Tenggara Timur, ditangkap karena ketahuan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak di perairan Taman Nasional Komodo. Salah seorang pelaku mengaku telah membeli bom ikan dari seseorang di Sape, Nusa Tenggara Barat.

6. Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur

Pada November 2020, tiga nelayan di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, ditangkap polisi karena ketahuan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Para pelaku dijerat ancaman hukuman enam tahun penjara. 

7. Madura, Jawa Timur

Pada pertengahan Januari 2021 lalu, 25 ton bahan pembuat bom ikan dengan daya ledak hingga radius 50 m² ditemukan di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Menurut Dirpolair Korpolairud Baharkam Polri Brigjen M Yassin Kosasih, pengungkapan kasus ini merupakan pengembangan kasus sebelumnya yang diungkap oleh tim gabungan Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri 23 Desember 2020. Para pelaku dijerat dengan ancaman hukuman paling lama 20 tahun penjara.

Selain tujuh wilayah tersebut, hasil pemantauan yang dilakukan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menunjukkan ada beberapa lokasi yang diketahui masih melakukan aktivitas pengeboman ikan, di antaranya adalah perairan Laut Sawu (Nusa Tenggara Timur), Taman Nasional Takabonerate dan perairan Sulawesi Tenggara (Sulawesi Tenggara), perairan Kepulauan Spermonde (Sulawesi Selatan), dan perairan Maluku. 

Sementara itu, Kepala Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Makassar Sitti Chadidjah mengatakan kalau Sulawesi Selatan masuk sebagai zona merah pengeboman ikan.

Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, praktik destructive fishing sampai saat ini memang belum bisa dihentikan oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh belum ada sistem terpadu berjenjang, mulai dari tingkat desa sampai ke pusat, untuk melaporkan atau menindak pelaku aktivitas tersebut.

Padahal, jika sistem terpadu sudah dibangun, maka Pemerintah terendah di desa atau setingkatnya akan bisa mengambil peran dalam pengawasan, pelaporan, dan penindakan setiap ada aktivitas destructive fishing. Oleh karena itu, dibutuhkan keterlibatan masyarakat untuk saling memberi edukasi terkait bahaya penangkapan ikan dengan cara yang merusak.

Akibat ledakan bom ikan, sebagian ikan mati dan sebagian lagi mengalami kerusakan insang. Para nelayan biasanya akan membiarkan sisa ikan yang mati begitu saja sehingga bangkainya membusuk di sekitar pantai.

Selain kematian ikan yang sia-sia, satu ledakan bom ikan seberat 250 gram juga berpotensi menghancurkan 50 m² terumbu karang. Kerusakan inilah yang menyebabkan berkurangnya biota laut sekaligus menghambat mata pencaharian para nelayan dan masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada sumber daya laut.

Selain pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dari pemerintah daerah, masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga laut dari berbagai aktivitas destruktif. Untuk itu, yuk saling edukasi supaya laut Nusantara tetap terlindungi!

Kamu bisa berkontribusi menjaga laut dengan menandatangani petisi ini

Baca juga: Bom Ikan, Keserakahan Manusia Mengancam Ekosistem Laut 

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan