Sempat Terancam oleh Gugatan Perusahaan Tambang, MK Tetap Pertahankan Nasib Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Nasib Undang-Undang Pengelolaan Wilaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam beberapa bulan ke belakang membuat khawatir para pemerhati lingkungan hidup dan kelautan.

Pasalnya beberapa pasal yang melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam UU tersebut digugat oleh sebuah perusahaan tambang (PT. GKP) yang sudah banyak beroperasi di Pulau Wawonii.

Rangkaian persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pun dilakukan. Berbagai kalangan dari masyarakat sipil dan lembaga masyarakat sipil turut memperjuangkan selama proses persidangan.

Hingga akhirnya dalam sidang Pembacaan Putusan yang dibacakan oleh hakim Enny Nurbaningsih pada 21 Maret 2024, MK menilai Pasal 35 huruf k dalam UU yang diuji oleh PT. GKP sebagai Pemohon, masih harus dipertahankan agar pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan selama berbasis berkelanjutan, menghargai hak masyarakat adat lokal, serta mengeliminasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan alam.

“Sama sekali tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang mengasumsikan ketentuan Pasal a quo mengurangi hak konstitusional warga negara, termasuk Pemohon. Terlebih, Pemohon kemudian mengaitkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dengan tindakan diskriminasi,” kata Enny.

“Setelah Mahkamah mencermati secara saksama Pasal 35 huruf k UU 27/2007, pasal  a quo tidak mengandung unsur adanya tindakan diskriminasi. Mahkamah menegaskan UU PWP3K dibentuk untuk melindungi keberlanjutan dan kelestarian kawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam NKRI,” tambahnya.

Dalam pasal lainnya yang diuji, Pasal 23, Enny juga menyebut bahwa pasal tersebut memiliki diksi “diprioritaskan” yang artinya pasal tersebut harus diutamakan atau didahulukan untuk kepentingan prioritas daripada kepentingan lainnya. Pasal tersebut, menurut Enny, ada untuk melindungi sistem ekologis di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 23 ayat (2) tidak memberikan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil adalah tidak beralasan menurut hukum,” tambah Enny.

Potret daya rusak pertambangan di Pulau Wawonii yang sudah berlangsung./Foto: Tangkapan Layar Dokumenter Ekspedisi Indonesia Baru

Koalisi untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) mengapresiasi langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak Uji Materi (Judicial Review) Undang-Undang tersebut.

Koordinator Sekretariat KORAL, Mida Saragih, mengatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan langkah konstitusional yang progresif demi melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman industri ekstraktif yang masif, yang berlangsung selama ini di Indonesia.

Menurut Mida, putusan MK tersebut adalah kemenangan bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang selama ini mempertahankan ruang hidupnya dari upaya perampasan oleh pertambangan mineral.

“Selamat kepada masyarakat pulau-pulau kecil, khususnya Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, dan pulau-pulau kecil lainnya yang terancam oleh pertambangan saat ini. Semoga kemenangan ini tidak hanya sekadar kemenangan di atas kertas, tapi juga terwujud dalam berbagai rencana perlindungan dan pembangunan pulau kecil di masa mendatang,” kata Mida.

“Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang ikut terlibat memperjuangkan kelestarian lingkungan pesisir lewat proses judicial review ini, khususnya kepada seluruh anggota KORAL, termasuk WALHI dan KIARA sebagai Pihak Terkait; Tim Kuasa Hukum Masyarakat Wawonii; Para Ahli, antara lain Ahli Hukum Lingkungan Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M, yang juga CEO IOJI; Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) sebagai Pihak Terkait; Para Pakar dan Tokoh sebagai Pendukung AMICI; DFW Indonesia, Greenpeace, Indonesian Center for Environmental Law dan EcoNusa sebagai Pemberi AMICI; serta seluruh lembaga dalam Koalisi TAPAK,” tambahnya.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, juga menilai putusan MK tersebut memiliki kualitas yang baik dan bisa dijadikan pijakan untuk gerakan masyarakat sipil mengadvokasi kasus di sektor lingkungan pesisir dan pulau-pulau di masa mendatang. 

“Putusan ini juga bisa dijadikan contoh baik bagaimana Mahkamah Konstitusi ketika berhadapan dengan gugatan yang diajukan oleh korporasi atau perusahaan untuk UU yang berdampak bagi kelestarian lingkungan dan hajat hidup orang banyak. Karena hampir semua kasus pelaku yang merusak lingkungan justru dari korporasi itu sendiri,” kata Afdillah.***

Baca juga: Nasib Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terancam JR UU PWP3K, 9 Organisasi Masyarakat Sipil Ajukan Sahabat Pengadilan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan