Benarkah Kualitas Laut Berpengaruh Terhadap Rendahnya Konsumsi Ikan Laut di Pulau Jawa?

Mencari hidangan ikan laut di Pulau Jawa tidak semudah mencari olahan ayam, telur, daging sapi atau kambing. Padahal, mengkonsumsi ikan juga penting sebagai pemenuhan gizi, nutrisi dan menunjang kesehatan bagi masyarakat. Bahkan, kandungan protein ikan lebih tinggi (52,7%) dibanding daging sapi (19.6%) atau olahan susu dan telur (23,2%).

Jika dibandingkan dengan pulau lainnya, masyarakat Pulau Jawa merupakan masyarakat yang minim mengkonsumsi ikan laut. Kita bisa melihat publikasi Food and Agriculture Organization of United Nations yang diterbitkan tahun 2015, persentase konsumsi ikan laut di beberapa daerah di Pulau Jawa tidak lebih dari 15 persen. Bahkan daerah paling sedikit konsumsi ikan di Indonesia berada di Pulau Jawa, yakni di Provinsi Yogyakarta dengan persentase 4.0%.

Walaupun kini persentase konsumsi ikan mengalami peningkatan di Indonesia, tapi ikan laut masih jadi olahan yang sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Hal ini lantas menjadi ironi karena Indonesia sendiri merupakan negara maritim dengan produksi ikan terbesar kedua di dunia. Pemerintah juga telah membuat program GEMARIKAN (Gemar Makan Ikan) untuk mendorong pentingnya manfaat konsumsi ikan sejak 2004 lalu. 

Dari segi produsen, laut Pulau Jawa juga tak kalah terkenal dengan Pulau lain.  Banyak daerah di Pulau Jawa yang terkenal dengan hasil ikan lautnya yang melimpah seperti Banyuwangi, Jawa Timur,  Cilacap, Jawa Tengah dan Pangandaran, Jawa Barat. Bahkan banyak juga ikan-ikan dari luar Pulau Jawa yang diperdagangkan di Pulau Jawa. 

Perekonomian Masyarakat Agraris dan Buruknya Infrastruktur Pendistribusian

Selain dikenal sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris. Perekonomian Indonesia sendiri masih berfokus dengan kegiatan ekonomi masyarakat agraris. Dilansir dari Tirto.id, masyarakat agraris adalah masyarakat yang hidup dengan mengelola sumber hayati dan nabati, yakni sektor pertanian dan peternakan. 

Hasil tani dan ternak lebih familiar ditemukan karena ketersediaannya yang terpenuhi. Ayam broiler misalnya, para peternak lebih cepat panen dengan jumlah yang banyak. Berbeda dengan hasil laut yang hasilnya tidak menentu dan membutuhkan pendistribusian yang panjang untuk bisa sampai ke tangan konsumen. 

Akibatnya kualitas ikan yang didapat oleh konsumen bukan ikan berkualitas tinggi. Dilansir laman WRI, infrastruktur yang buruk menyebabkan distribusi ikan berkualitas tinggi tidak didapatkan oleh konsumen di Pulau Jawa. Misalnya infrastruktur pasar, standar pendingin untuk pengawetan kualitas, dan lainnya. Dampaknya bagi masyarakat di Pulau Jawa, harga ikan laut dan olahanya identik mahal dan susah dijangkau.

Kualitas Lingkungan Memperparah Kondisi

Masalah lain yang memperparah rendahnya konsumsi ikan laut di Pulau Jawa adalah degradasi lingkungan akibat pencemaran dan banyaknya pembangunan seperti pembangunan tanggul, pembangunan untuk mendukung aktivitas pertambangan di Perairan Jawa.  Penurunan kualitas air laut dan rusaknya ekosistem di perairan laut Jawa menyebabkan nelayan semakin sulit mendapat ikan. Selain itu kualitas ikan yang didapat rendah karena tercemar sehingga masuk dalam kategori tak layak dikonsumsi. 

Penelitian Ecoton di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta menemukan 11 jenis ikan laut hasil tangkapan nelayan mengandung mikroplastik. Selain itu, menurut jurnal penelitian BIOTROPIC The Journal of Tropical Biology, ikan tongkol di Pantai Utara Jawa telah terkontaminasi logam berat yang kemungkinan besar berasal dari sumber pakan yang terkontaminasi dari kondisi perairan yang tercemar. 

Kondisi yang belum ada perubahan ini pun pada akhirnya mempengaruhi popularitas ikan bagi masyarakat di Pulau Jawa. Saking jarangnya melihat ikan di pasaran atau di rumah makan, masyarakat di Pulau Jawa sampai harus menyebut daging ayam atau sapi dengan sebutan iwak-dalam bahasa Jawa berarti ikan-. Adanya anggapan yang telah menjadi budaya ini pun seolah membuat masyarakat di Pulau Jawa sudah merasa cukup dengan makan daging tanpa perlu makan ikan laut.

Hal ini pun berdampak bagi masyarakat luar Pulau Jawa yang menetap di banyak daerah di Pulau Jawa. Mereka, kesusahan menemukan makanan yang berasal dari laut.  Padahal di daerahnya, ikan laut mudah ditemukan dan makan ikan adalah kebiasaan. Popularitas ikan di Pulau Jawa pun juga buruk di mata masyarakat luar Pulau Jawa. Ikan laut yang tersedia di warung, tempat makan hingga restoran di Pulau Jawa bagi masyarakat luar Pulau Jawa terkenal dengan ikannya yang tidak segar, rasa dan teksturnya yang tidak seenak ikan laut di wilayah lain.

Jika fokus perekonomian Indonesia saat ini adalah keberlanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi generasi ke depan, maka kelautan juga perlu diprioritaskan. Konsep ekonomi biru perlu digarap dengan semangat kolaborasi agar tidak sekedar slogan semata. Apalagi berdasar artikel yang dimuat di laman Frontline, penangkapan ikan di Indonesia yang berkelanjutan justru menghadapkan kita pada berbagai tantangan. 

Populasi masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa yang banyak, perubahan iklim, degradasi lingkungan laut Indonesia dan rusaknya ekosistem justru membuat konsumsi ikan di masa depan dapat menjadi hal mustahil. Hal ini pun juga mempengaruhi mata pencaharian banyak orang terutama para nelayan. Oleh sebab itu, rantai konsumsi makanan hasil laut harus kita tingkatkan. Sejalan dengan keseriusan banyak pihak untuk melakukan konservasi dan menjaga laut Indonesia dari pencemaran.***

Artikel Terkait

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan