Offshore Wind dan Tidal Energy: Teknologi Keren dari Laut

Di tengah derasnya perbincangan soal transisi energi dan ancaman krisis iklim, dua teknologi ini masih jarang dibahas di Indonesia: offshore wind dan tidal energy. Padahal, keduanya adalah contoh nyata bagaimana laut bisa menjadi sahabat terbaik kita dalam menghasilkan listrik yang bersih dan berkelanjutan. Dan yang lebih menarik: teknologi ini bukan hanya canggih, tapi juga keren secara visual dan futuristik.

Bayangkan turbin angin raksasa berdiri di tengah laut, berputar anggun digerakkan angin laut yang konstan. Atau instalasi bawah air yang menangkap kekuatan pasang-surut laut seperti jam alam semesta. Ini bukan imajinasi fiksi ilmiah. Di negara-negara seperti Inggris, Belanda, dan Korea Selatan, teknologi ini sudah menghasilkan listrik untuk jutaan rumah. Offshore wind—atau turbin angin lepas pantai—memanfaatkan angin laut yang lebih stabil daripada angin darat, sementara tidal energy memanen energi dari gerakan air laut yang terus terjadi setiap hari, tanpa jeda.

Sayangnya, di Indonesia, pembicaraan tentang energi laut seringkali mentok di potensi. Padahal potensinya luar biasa. Indonesia punya garis pantai lebih dari 100.000 km dan laut yang luasnya 2/3 dari total wilayah. Wilayah timur Indonesia punya kecepatan angin laut yang sangat ideal untuk offshore wind. Sementara beberapa selat, seperti Selat Larantuka atau Selat Alas, memiliki arus laut yang kuat dan teratur—cocok untuk pembangkit tidal. Tapi sejauh ini, realisasi proyeknya hampir nihil. Teknologi yang keren ini belum punya panggung di tanah airnya sendiri.

Alasannya klise: dianggap mahal, terlalu baru, belum terbukti. Tapi jika itu jadi patokan, maka energi surya dan tenaga air pun dulunya juga tidak akan pernah berkembang. Setiap teknologi memang punya masa belajar. Yang penting adalah kemauan untuk memulai. Teknologi offshore wind dan tidal energy bisa jadi solusi untuk wilayah-wilayah kepulauan yang selama ini sulit dijangkau listrik. Kita tidak perlu langsung membangun yang berskala besar. Cukup dimulai dari proyek percontohan di daerah terpencil atau kerja sama dengan universitas dan swasta untuk riset pengembangan.

Bonusnya? Teknologi ini tidak mengganggu lahan pertanian atau permukiman seperti PLTU atau PLTA. Mereka berdiri di laut—di ruang yang selama ini belum banyak dimanfaatkan. Dalam jangka panjang, mereka juga lebih tahan terhadap krisis pasokan karena tidak tergantung bahan bakar. Dan yang terpenting: mereka tidak menghasilkan emisi karbon. Bayangkan betapa besar dampaknya jika sebagian wilayah pesisir kita bisa menggunakan listrik dari lautnya sendiri.

Teknologi keren ini layak diberi perhatian lebih dalam narasi besar transisi energi Indonesia. Bukan hanya karena efisiensinya, tapi karena simbolismenya. Laut selama ini kita pandang sebagai batas, sebagai tempat nelayan dan pariwisata. Tapi sebenarnya, laut adalah jantung energi masa depan—dan kita belum sungguh-sungguh mendekatinya.

Pemerintah perlu memberi sinyal yang jelas bahwa Indonesia siap berinovasi di sektor ini, baik lewat dukungan riset, regulasi yang adaptif, maupun insentif untuk investor dan startup energi laut. Jika kita bisa menciptakan ekosistem untuk kendaraan listrik dan panel surya, mengapa tidak untuk turbin angin laut dan pembangkit pasang-surut?

Pada akhirnya, tantangannya bukan hanya soal teknologi, tetapi soal visi. Apakah kita siap melihat laut bukan sekadar sebagai batas wilayah, tapi sebagai ruang pertumbuhan? Jika jawabannya ya, maka sudah saatnya Indonesia menjemput masa depan energi dari arah yang belum pernah sungguh dilirik: dari laut yang selama ini diam-diam menyimpan daya.

Membangun masa depan energi laut bukan hanya soal teknologi dan investasi, tapi juga soal menjaga keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir. Dengan pendekatan yang inklusif dan ramah lingkungan, pengembangan offshore wind dan tidal energy bisa menjadi contoh bagaimana manusia hidup selaras dengan alam, bukan merusaknya. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan bahwa kita tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tapi juga mampu menjadi pelopor inovasi hijau yang membawa manfaat luas bagi seluruh bangsa.

Artikel Terkait

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan