Masalah Sampah Plastik di Pesisir

Miris, tak kunjung usai sampah plastik di Indonesia menjadi faktor utama tercemarnya laut. Data terbaru Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), sampah plastik mencemari laut Indonesia sudah mencapai 1,29 juta metrik ton. Ditambah kesadaran masyarakat sangat kurang mengelola dan sering membuang sampah sembarang.

Apalagi sering dijumpai penggunaan plastik sekali pakai semakin masif digunakan untuk wadah makanan dan minuman. Seperti penggunaan pada sedotan, gelas plastik, dan styrofoam sebagainya. Belum lagi kemasan plastik sekali pakai dari berbagai produk sehari-hari yang kita konsumsi, produk pribadi atau rumah tangga.

Anehnya, di restoran makanan siap saji, dikertasnya sudah berbunyi “Jagalah bumi, kurangi sampah plastik” . Ternyata, setelah saya pesan minuman, yang datang gelas plastik sekaligus sedotan. Tidak kah ini himbauan sekaligus melanggar?

Di Desa Tambakcemandi, Sidoarjo, tempat penulis berada yang notabene masyarakanya mata pencaharian nelayan, setiap berada di perjalanan pasti baling-baling mesin perahu tersangkut sampah plastik, ini membuat menghambat pencarian ikan di laut. Namun, tidak ada respon lebih dari nelayan, seolah sudah biasa terjadi dan bukan masalah besar.

Faktanya, masyarakat setiap hari membuang sampah ke sungai. Seakan tempat pembuangan terbaik sampah adalah kali atau sungai. Tidak ada lagi penampungan sampah, sehingga jalan satu-satunya membuang ke sungai yang nanti akhirnya mengikuti arus hingga ke laut. Imbasnya, kepada nelayan dan laut.

Kesadaran dan tindakan masyarakat tidak pernah satu jalan. Kesadaran untuk membuang sampah ditempat sampah sudah betul, tetapi pembuangan hasil tumpukan yang ada di tempat sampah dibuang di laut dan tidak terkelola dengan baik. Inilah peran pemerintah untuk membuat penyuluhan tentang pengelolaan sampah, baik plastik maupun organik.

Sangat disayangkan, pemerintah setempat acuh dan  tidak ada tindakan komperhensif mengenai masifnya pembuangan sampah di sungai, tidak ada teguran, dan tidak ada program penyuluhan. Karena edukasi masyarakat pesisir sangat kurang, sehingga munculnya perilaku yang tidak menguntungkan bagi laut kita sendiri.

Pengalaman penulis mengikuti Ayah nelayan mencari kerang, betapa banyak sampah ketika menjaring sampai dasar. Separuh sampah, setengahnya kerang dan lumpur. Melihat saja membuat saya ingin berteriak, kenapa semua memilih membuang sampah ke sungai?

Akibat ulah masyarakat, ketika air pasang sudah pasti banjir, pencarian ikan oleh Nelayan akan terhambat, ekosistem dilaut rusak, dan tentu saja merusak air laut semakin tercemar. Oleh sebab itu, peran ini tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pemerintah setempat, melainkan seluruh masyarakat yang ada.

Kesadaran tidak akan tercipta ketika tidak ada yang memulai kebiasaan baru, inisiasi baru ini menjadi tantang sekaligus hambatan. Tantangnya adalah bagaimana terus tetap menjalankan prinsip, dan hambatan dari rasa percaya diri untuk terus melaksanakan.

Membuat masyarakat sadar atas perilaku mencermarkan laut, menampakkan akibat dari pebuatan tersebut, sekaligus memberikan edukasi dan praktik. Tidak lupa sebuah pendampingan dari pementeritah untuk menggait pemuda karang taruna untuk ikut serta membantu.

Saatnya semua mengambil peran untuk membangun, baik remaja hingga dewasa. Membuat kebiasaan baru mengurangi penggunaaan plastik sekali pakai atau memilah sampah yang bisa didaur ulang. Sehingga perilaku pembaharuan masyarakat terwujud, tidak hanya laut saja yang menerima dampak baik, melainkan lingkungan juga ikut.

Mengutip ucapan Profesor Anthony Ryanm seorang profesor kimia fisika di Universitas Sheffield, mengatakan bahwa bukan plastik yang menjadi masalah, tetapi bagaimana orang memilih untuk berurusan dengan plastik daalam kutipanya di IDN Times. 

Sampah plastik bukan hanya masalah negeri ini  dan pemerintah saja, ini masalah bersama. Menjadi manusia bijak dan berpikir dampak menjadi penting. Berpikir sebelum bertindak, memberikan contoh yang baik dan memulai kebiasaan baru, membuang sampah pada tempatnya sekaligus menggelola.

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan