Urgensi Kebijakan Pengurangan Sampah Plastik di Laut Berperspektif Gender: Bagaimana Perempuan Mampu Memainkan Peran Melawan Sampah Plastik di Laut?

Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Pemerintah Indonesia telah memasang target pengurangan sampah plastik di laut sebesar 70% yang akan dicapai pada tahun 2025.

Penetapan target ini tidak lepas dari komitmen Pemerintah dalam mewujudkan Indonesia bebas plastik pada tahun 2040.

Beberapa masalah timbul akibat pencemaran sampah plastik di laut, mulai dari rusaknya ekosistem lingkungan hidup dan hilangnya keanekaragaman hayati di laut, hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir, terutama nelayan perikanan tangkap, hingga ancaman serius keberadaan sampah plastik di laut terhadap kesehatan manusia yang tinggal di darat.

Berbagai upaya penanganan sampah plastik di laut sejatinya telah banyak dilakukan sejak aturan Perpres tersebut diberlakukan tahun 2018.

Berbagai kebijakan seperti program gerakan nasional peduli sampah di laut melalui pendidikan yang menyasar ASN, pelajar, mahasiswa dan pendidik, program pelatihan pengelolaan sampah plastik di beberapa kabupaten/kota dengan berbasis teknologi, dan diversifikasi skema pendanana di luar APBN/APBD yang ada pada dasarnya telah sejalan dengan apa yang tertuang dalam kebijakan Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN PSL) Tahun 2018 – 2025 sebagai Lampiran Perpres terkait.

Seorang perempuan memungut sampah plastik di pantai. / Foto: Unsplash

Namun, sudah separuh waktu berjalan sejak aturan kebijakan tersebut ditetapkan, progres pengurangan sampah plastik di laut belum mencapai hasil yang memuaskan.

Sejak dimulai tahun 2018 sampai tahun 2023, pengurangan sampah plastik di laut Indonesia baru mencapai 35,36%, separuh dari target 70% yang harus dicapai pada tahun 2025 (laporan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut, 2023).

Artinya hanya tersisa kurun waktu 2 tahun untuk mencapai separuh target pengurangan sampah plastik di laut hingga 70%. Hal ini membuat pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk mencapai target ambisius tersebut tepat waktu.

Guna mempercepat capaian target pengurangan sampah plastik di laut sebesar 70% pada tahun 2025, dibutuhkan strategi pendekatan kebijakan yang bersifat khusus, lebih dari sekadar pendekatan kebijakan berbasis teknologi dan instrumen fiskal, seperti yang sudah ada.

Pemerintah Indonesia perlu mulai mendorong strategi kebijakan baru yang lebih proaktif dan responsif dengan melibatkan unsur pemangku kepentingan yang memiliki peranan strategis dalam upaya mengurangi sampah plastik di laut, misalnya dengan melibatkan kelompok perempuan.

Peran Strategis Perempuan dalam Memerangi Sampah Plastik di Laut

Perempuan memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem lingkungan, tak terkecuali di sektor kelautan. Upaya memerangi sampah plastik di laut tidak dapat lepas dari keterlibatan perempuan.

Kendati belum mendapat perhatian lebih, potensi pemberdayaan perempuan memiliki pengaruh signifikan dalam upaya pengurangan sampah plastik di laut agar mencapai target yang diharapkan.

  1. Perempuan dapat menjadi aktor utama dalam perubahan paradigma pengelolaan sampah plastik yang efektif dan berkelanjutan

Sebagian besar sampah yang diproduksi berasal dari rumah tangga. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada tahun 2022 Indonesia menghasilkan 20,3 juta ton sampah.

Sebanyak 39,94% dari jumlah sampah tersebut bersumber dari sampah rumah tangga. Adapun sampah plastik menyumbang sekitar 18,23% dari total produksi sampah nasional tersebut (KLHK, 2023).

Di Indonesia, pekerjaan di sektor domestik lebih banyak dilakukan oleh perempuan, sehingga jumlah sampah plastik yang berasal dari rumah tangga sejatinya sangat bergantung pada kemampuan perempuan dalam mengelola sampah plastik rumah tangga mereka.

Menurut National Plastic Action Partnership (NPAP) terdapat setidaknya 5 (lima) upaya efektif untuk mengelola sampah plastik rumah tangga secara berkelanjutan, yaitu reducesubstitutecollectdispose, dan recycle.

Greenpeace sampah plastik
Seorang perempuan mencatat sampah plastik. / Foto: Greenpeace

Perempuan dapat mengambil peran dalam mengelola sampah plastik di tingkat rumah tangga dengan mengurangi (reduce) penggunaan produk sekali pakai yang terbuat dari bahan plastik, mengganti (substitute) bahan plastik dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan, mengumpulkan (collect) sampah plastik agar tidak berserakan, mengelompokkan sampah plastik sesuai dengan jenisnya (dispose) agar sampah plastik tidak tercampur dengan sampah lainnya, dan mendaur ulang (recycle) sampah plastik menjadi produk yang memiliki fungsi dan nilai tambah secara ekonomi.

Kendati upaya pengelolaan dalam rangka penanganan sampah plastik rumah tangga tersebut penting untuk dilakukan, akan tetapi paradigma pengelolaan sampah plastik sejatinya perlu diubah melalui inisiatif untuk mengurangi volume sampah dari sumbernya dengan mengendalikan penggunaan plastik rumah tangga, sejak awal.

Upaya melakukan perubahan paradigma tersebut tentu membutuhkan partisipasi perempuan sebagai pengambil keputusan di level rumah tangga.

  1. Kontribusi perempuan dalam pengelolaan sampah plastik membantu mengentaskan kemiskinan

Perempuan memiliki kedekatan yang erat dengan pelestarian lingkungan hidup dan proses pengelolaan sumber daya alam yang memiliki manfaat ekonomi. Peluang ini patut mendapat perhatian lebih, khususnya terkait pengelolaan sampah plastik dengan melibatkan kelompok perempuan sebagai aktor yang dapat memanfaatkan sampah plastik menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi.

NPAP mengungkapkan bahwa ekosistem pengelolaan sampah plastik yang dilaksanakan oleh perempuan sebenenarnya cukup berkembang di wilayah kota-kota besar dan menengah di Indonesia. Akan tetapi, pengelolaan sampah plastik di kota-kota kecil dan desa masih belum sepenuhnya optimal karena belum terbentuknya ekosistem yang mumpuni.

Dalam banyak kasus, kebutuhan akan ekosistem pengelolaan sampah plastik di kota-kota kecil dan pedesaan masih sering terhambat karena minimnya akses informasi dan dukungan pemerintah setempat untuk memberdayakan perempuan sebagai aktor pengelola sampah plastik, kendati aspirasi tersebut sudah ada.

Perempuan terlibat dalam gerakan memerangi masalah sampah plastik. / Foto: Greenpeace

Perempuan memiliki motivasi yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan secara kolektif. Sebagai contoh, sekumpulan perempuan pesisir di Galesong, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, berhasil membentuk sebuah kelompok yang melakukan kegiatan pengelolaan sampah plastik secara berkelanjutan melalui penerapan ekonomi sirkular.

Kehadiran kelompok ini telah menghadirkan lapangan kerja baru bagi kelompok perempuan pesisir di Galesong dan memberikan kontribusi pada ekonomi lokal mereka.

  1. Pelibatan perempuan akan meningkatkan literasi masyarakat tentang risiko sampah plastik di laut

Selain dapat berperan sebagai aktor utama dalam pengelolaan sampah plastik dan menjadi kontributor perekonomian bagi keluarga dan masyarakat, perempuan juga dapat berperan sebagai pendidik.

Peningkatan kualitas literasi perempuan secara tidak langsung juga akan memiliki dampak signifikan terhadap kualitas literasi masyarakat, terutama di kalangan masyarakat pesisir dengan tingkat literasi yang masih tergolong rendah.

       Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan dapat menjalankan peran sebagai pendidik lebih efektif. Ini mengingat perempuan memiliki posisi penting di dalam keluarga dan masyarakat sebagai pendidik dengan pengaruh yang cukup besar.

Ilustrasi perempuan mendidik anak-anak. / Foto: Greenpeace

Sebagai ibu, perempuan berperan dalam mendidik anak-anak mereka melalui pendidikan dan kebiasaan sejak usia dini.

Dimulai dari pengenalan terhadap alam dan kebiasaan hidup ramah lingkungan, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang peduli dan sadar akan pentingnya mengurangi dan mengelola sampah plastik.

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi tersebut, perempuan memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya memerangi sampah plastik yang sebagian besar nantinya akan terbuang ke laut.

Saat ini Pemerintah mulai perlu mengintegrasikan kelompok perempuan secara khusus sebagai subyek aktif yang terlibat dalam mendukung upaya pemerintah mencapai target pengurangan sampah plastik di laut sebesar 70% sampai tahun 2025, yaitu dengan cara mereformulasi kebijakan pengurangan sampah plastik di laut yang memiliki perspektif dan responsif terhadap gender.

Pendekatan kebijakan melalui perspektif gender menjadi penting mengingat kebijakan pengurangan sampah plastik di laut yang dituangkan dalam RAN PSL saat ini belum menyasar kelompok perempuan sebagai target dalam sasaran program dan kegiatannya secara khusus.

Padahal, melibatkan perempuan sebagai aktor utama dalam upaya mengurangi sampah plastik di laut dapat menjadi bukti komitmen Indonesia dalam melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals No. 5) sekaligus menjadi wujud konkret dari penerapan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) yang sedang diupayakan oleh pemerintah dalam implementasi kebijakan nasional di setiap lini.

Saat ini perempuan tidak bisa lagi hanya dijadikan sebagai objek pengguna barang konsumsi rumah tangga tanpa adanya upaya edukasi untuk memahami bahaya dari penggunaan bahan tersebut bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

Pada akhirnya, melibatkan peran gender dalam implementasi kebijakan pengurangan sampah plastik di laut tidak dapat diabaikan mengingat pemerintah Indonesia memiliki ambisi yang cukup serius untuk memerangi sampah plastik di laut, sesegera mungkin.

Tentu ambisi ini hanya dapat diraih secara efektif dan efisien apabila aktor yang menjadi sasaran dalam kebijakan pengurangan sampah plastik di laut memang memiliki peranan yang strategis, baik dalam urusan manajemen, pengambilan keputusan dalam penggunaan plastik di level rumah tangga, hingga kemampuan mempengaruhi masyarakat sekitar untuk mengurangi volume sampah plastik yang pada akhirnya sebagian besar akan dibuang ke laut.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa aktor strategis tersebut tak lain dan tak bukan ialah kelompok perempuan.***

Baca juga: Lautan dan Manusia, Hubungan yang Kian Renggang

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan