Inisiatif Ocean Panel dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan dari Laut dan Perikanan Melalui Ekonomi Sirkular

Isu mengenai ketahanan pangan identik dengan produksi hasil pertanian yang berlimpah, terutama di negara agraris seperti Indonesia. Hal ini cukup wajar mengingat produksi pertanian di Indonesia sangat krusial bagi pemenuhan kebutuhan sumber pangan primer mayoritas masyarakat.

Meskipun demikian, Indonesia juga memiliki potensi produksi sumber pangan dari laut dan perikanan yang sangat besar. Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi perikanan laut setidaknya 10 juta ton per tahun dengan nilai produksi sebesar 132 triliun. Bahkan, pandemi yang sudah dua tahun menyerang ini cenderung tidak memengaruhi produktivitas produksi, terutama jika dibandingkan dengan sektor produksi lainnya.

Catatan positif BPS terhadap produktivitas sektor perikanan disambut dengan baik oleh Menteri Trenggono. Menurutnya ini menunjukkan bahwa sektor kelautan dan perikanan ke depannya mampu menjadi penopang pertumbuhan ekonomi negara (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2021).

Bersamaan dengan peluang yang besar tersebut, kita masih dapat menjumpai beragam permasalahan yang terkait dengan produksi sumber pangan di daerah laut dan pesisir. Permasalahan yang ada berkaitan erat dengan isu-isu keberlanjutan, seperti ancaman krisis iklim, kerusakan ekosistem, dan eksploitasi.

Komitmen Indonesia untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut tertuang dalam berbagai regulasi nasional yang beberapa di antara diadopsi dari hukum, perjanjian, dan kerja sama internasional. Salah satu kerja sama internasional yang memiliki andil besar dalam menginisiasi ekonomi laut yang berkelanjutan adalah Ocean Panel.

Ocean Panel atau Panel Laut merupakan inisiasi antarpemerintah yang mewakili setidaknya 40% garis pantai dan 30% zona ekonomi eksklusif dunia. Panel Laut ini terdiri dari 14 negara, yakni Indonesia, Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau, dan Portugal.

Negara anggota Panel Laut, melalui pertemuan High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (HLP SOE) pada bulan Juli 2021 yang lalu, berkomitmen untuk melakukan transformasi ekonomi laut yang berkelanjutan.

Transformasi ini dianggap sangat diperlukan, salah satunya karena adanya pandemi Covid-19 yang mampu memperjelas hubungan timbal balik antara kesehatan manusia dan planet. Salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh negara anggota Panel Laut dalam melakukan transformasi ini adalah prinsip perlindungan.

Prinsip ini bersama dengan delapan prinsip lainnya, menitikberatkan pada kepercayaan bahwa ekonomi laut berkelanjutan akan berhasil apabila ditopang oleh laut yang sehat (Ocean Panel, 2020).

Pertanyaannya adalah model ekonomi berkelanjutan seperti apa yang relevan untuk melakukan transformasi ini?

Peta 14 negara yang tergaung ke dalam Panel Laut / foto: oceanpanel.org

Pandemi Covid-19 nyatanya mampu menunjukkan kepada kita bahwa model ekonomi yang dominan dipraktikkan saat ini tidaklah ramah lingkungan, termasuk tidak mendukung kesehatan laut. Model yang dimaksud adalah model ekonomi linear.

Model ekonomi linear tidak memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam dalam praktik-praktiknya. Sumber daya alam dianggap melimpah dan mampu digantikan dengan mudah. Ekonomi linear masih terus dijalankan di banyak sektor ini juga menyumbang beragam pemborosan sumber daya.

Inilah mengapa kemudian Panel Laut dan pemerintah-pemerintah yang terlibat di dalamnya lebih mengandalkan jenis model ekonomi sirkular. Sesuai namanya, ekonomi sirkular sangat mengedepankan pada sirkulasi atau peredaran value (nilai) dari suatu sumber daya.

World Economic Forum mendefinisikan ekonomi sirkular sebagai model yang restoratif dan regeneratif. Artinya, melalui model ini kita diajak untuk menggunakan sumber daya alam sampai pada value maksimalnya dan kemudian memulihkan kembali sumber daya tersebut menjadi output yang mirip maupun baru.

Mengetahui pentingnya implementasi model ekonomi sirkular, Panel Laut pun juga melihat peluang untuk mengimplementasikannya ke dalam ekonomi laut yang berkelanjutan. Keempat belas negara yang tergabung dalam Panel Laut setuju bahwa model ekonomi linear mampu berkontribusi bagi transisi menuju masyarakat rendah emisi.

Lalu, apa kaitannya dengan ketahanan pangan nasional yang bersumber dari hasil laut dan perikanan?

Dalam mencapai ketahanan pangan nasional, maka produktivitas dan efisiensi yang tinggi diperlukan. Tidak jarang praktik-praktik yang bertujuan untuk meningkatkan produksi sumber pangan dari hasil laut dan perikanan menimbulkan pada ancaman kesehatan laut.

Ancaman yang dapat ditimbulkan misalnya adalah kerusakan terumbu karang, punahnya jenis ikan tertentu, pencemaran laut, hingga luaran emisi. Inilah mengapa kemudian model ekonomi sirkular mampu menjadi alternatif bagi setidaknya dua hal: ketahanan pangan dan ekonomi berkelanjutan.

Model ekonomi sirkular akan relevan digunakan sebagai dasar pembangunan kelautan untuk ketahanan pangan karena memuat tiga dimensi penting. Dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang menurut Notohamijoyo (2019) mampu menjadi tumpuan pembangunan kelautan guna mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Dua dimensi pertama sangat berkaitan erat dengan bagaimana kebutuhan pangan nasional mampu terpenuhi dengan memastikan produktivitas, efisiensi, dan harga. Sementara itu, dimensi lingkungan sangat sejalan dengan komitmen negara anggota Panel Laut dalam melakukan ekonomi laut yang berkelanjutan.

Tentu saja kita perlu mengetahui bahwa produksi pangan yang tinggi harus disertai dengan upaya konservasi terhadap sumber produksi. Dalam hal ini, melalui ekonomi sirkular kesehatan laut dapat terjaga karena model ini sangat menitikberatkan pada praktik zero waste.

Dengan menerapkan model ini, pembangunan kelautan yang ramah lingkungan diharapkan mampu tercapai dan pada saat yang bersamaan pun produktivitas hasil laut dan perikanan juga mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional. 

Editor: Jibriel Firman

Sumber :

Biro Komunikasi. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI. 

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. KKP RI.  

Notohamijoyo, A. Tempo. 

Ocean Panel. (2020).

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan