Penataan Kampung Lobster Kabupaten Lombok Timur dan Implikasi UU Cipta Kerja Terhadap Ruang Laut

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengidentifikasi Kabupaten Lombok Timur sebagai salah satu daerah target utama untuk pembentukan desa-desa budidaya lobster.

Terdapat berbagai jenis lobster di perairan NTB, antara lain lobster batu (Panulirus versicolor), lobster batik (Panulirus longipes), dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) (Panulirus penicillatus).

Dalam waktu dua tahun terakhir, permintaan lobster sangat signifikan karena kebutuhan konsumsi yang tinggi. Maraknya perkembangan penangkap lobster di Lombok Timur mampu mengalihkan minat beberapa orang yang dulunya bekerja sebagai tenaga kerja migran kembali ke tanah air sebagai pembudidaya lobster.

Lobster merupakan hewan yang termasuk dalam Crustacea atau krustasea yang memiliki kulit keras. Pada umumnya lobster dewasa dapat ditemukan di pasir dengan bintik-bintik karang dengan kedalaman sekitar 5-100 meter. Karena bersifat nokturnal (aktif di malam hari).

Dalam rangka mengembangkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempercepat upayanya pada tahun 2022 dengan melaksanakan tiga program terobosan, dua di antaranya berada di bawah kendali langsung Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), salah satunya adalah pembentukan desa-desa perikanan budidaya berbasis kearifan lokal.

Hal ini dapat mendorong pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan peraturan daerah. Dalam pengaturan ruang laut sebagai salah satu upaya pengelolaan sumber daya nasional yang tersedia di wilayah provinsi, dikemukakan dalam pasal 51 Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2017-2037 tentang Indikasi program sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana zonasi, dan dilaksanakan dengan menyelenggarakan penatagunaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Foto: pelakubisnis.com

Penentuan ruang laut yang akurat merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam proses perencanaan tata ruang laut agar tercipta kondisi yang stabil bagi tumbuhnya sistem pengelolaan ruang laut di Kabupaten Lombok Timur. Karena pengaruhnya yang sangat penting secara nasional terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga tata kelola ruang laut, wilayah Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu lokasi yang penataan ruangnya mendapat prioritas.

Berdasarkan alasan diatas, penting untuk mensosialisasikan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan sistem Marine Cadastre terhadap pengelolaan kawasan budidaya lobster, hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa yang disebabkan oleh tumpang tindihnya wilayah penguasaan lingkungan laut, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pengusaan sepihak sering kali terjadi di wilayah tersebut, yang menyebabkan tumpang tindih dan tidak tertata dengan maksimal, pemasangan KJA (Keramba Jaring Apung) yang masih berantakan serta banyak juga yang tidak memiliki izin dari pemerintah terkait. Oleh karena itu, Implikasi penerapan omnibus law dalam pengelolaan laut harus dipertimbangkan.

Rekonstruksi sistem perizinan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang diinisiasi pemerintah terhadap perizinan pemanfaatan ruang laut, pasca ditetapkannya UU Cipta Kerja, paradigma izin tidak lagi digunakan.

Maka dari itu penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut yaitu mencatat batas-batas dan penggunaan (hak dan kepentingan atas) ruang laut oleh masyarakat dan juga oleh pemerintah, perlindungan ruang laut, konservasi, taman nasional, taman suaka margasatwa, termasuk hak ulayat laut komunitas masyarakat hukum adat.

Konsepsi izin menuju pada konsepsi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang didasarkan pada rencana tata ruang, dalam hal ini rencana zonasi ruang laut, zona pemanfaatan (kawasan budidaya) merupakan zona pemanfaatan yang dapat dilakukan secara intensif namun pertimbangan daya dukung lingkungan tetap merupakan syarat utama.***

Baca juga: Sumpah ManuSEA Melawan Sampah, Dari Maluku Utara Untuk IndoneSEA

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan