Mindblowing! Pemerintah Indonesia berencana menggunakan FABA (Fly Ash and Bottom Ash) untuk Transplantasi Karang
Belum lama ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia mengumumkan kesepakatan untuk memproduksi batu bata dari abu batubara (Fly Ash and Bottom Ash) sebagai bahan transplantasi karang dengan operator pembangkit listrik tenaga batubara PT Pembangkitan Jawa Bali Paiton
Saat ini terdapat puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara tersebar dan beroperasi di Indonesia. PLTU berbasis batu bara hingga saat ini masih menjadi andalan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi. Pasalnya dikarenakan PLTU batu bara bisa menyediakan listrik dengan harga yang murah.
Berdasarkan data dari Greenpeace, saat ini Indonesia merupakan negara nomor 1 pengekspor batu bara di dunia, melampaui Australia. Meskipun Indonesia sebagai negara pengekspor batu bara terbesar di dunia, nyatanya masih terdapat sekitar 20% penduduk Indonesia belum mendapatkan akses listrik dari negara.
Badan Energi Internasional (IEA) mengungapkan bahan bakar fosil batu bara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global. Pembakaran batu bara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (green house gas) yang memicu perubahan iklim.
Dari waktu ke waktu, PLTU tersebut mengotori udara kita dengan polutan beracun, termasuk merkuri, timbal, arsenik, kadmiun, dan partikel halus namu beracun, yang telah menyusup ke dalam paru-paru masyarakat sekitar PLTU.
Diketahui bahwa PLTU batu bara banyak menyumbang masalah lingkungan dan masalah sosial yang dihasilkan. Namun, ada kabar baik saat ini. Di berbagai negara seperti Tiongkok dan Amerika sudah mulai meninggalkan energi kotor ini dan beralih menggunakan energi terbarukan.
Pada Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan limbah batu bara yaitu fly ash dan bottom ash (FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Hasil dari uji karakteristik terhadap FABA PLTU, yang dilakukan oleh Kementerian LHK tahun 2020 menunjukkan bahwa FABA PLTU masih dibawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun.
Hasil pembakaran batu bara menghasilkan produk sisa berupa material-material yang terbang (fly ash) dan terendapkan (bottom ash). Pengeluaran limbah batu bara jenis fly ash dan bottom ash dari daftar limbah B3 menuai pro-kontra dari masyarakat.
Sebagian pihak kontra menyuarakan bahwa penghapusan kedua jenis limbah ini dari daftar limbah B3 akan berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar yang tinggal dekat area PLTU. Sedangkan, sebagian pihak lain mengatakan bahwa fly ash and bottom ash bisa diolah menjadi sesuatu yang bernilai.
Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan tropik dan merupakan habitat berbagai biota laut dengan produktivitas dan keanekaragamannya yang tinggi.
Indonesia merupakan perairan yang mempunyai kekayaan jenis dan potensi terumbu karang terbesar di dunia. Namun saat ini, terumbu karang secara terus menerus mendapat tekanan berat akibat berbagai aktivitas manusia baik di darat maupun di laut.
Kerusakan terumbu karang, terutama di Indonesia meningkat secara pesat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah degradasi dan memulihkan kondisi terumbu karang. Salah satu teknik pelestarian terumbu karang yang terdegradasi adalah dengan transplantasi karang.
Transplantasi karang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak atau untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada. Dalam rangka menindaklanjuti Kesepakatan Bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) menjajaki adanya peluang kerjasama yang membangun dalam kegiatan transplantasi karang dan kegiatan konservasi sumber daya ikan.
Transplantasi karang menggunkan fly ash dan bottom ash yang akan dilakukan tentunya harus mengetahui faktor oseanografi perairan untuk meningkatkan persentase keberhasilan transplantasi karang.
Persoalan ini masih dalam perdebatan, karena beberapa penjelasan menyatakan bahwa limbah fly ash dan bottom ash wajib untuk dikelola dengan prinsip berwawasan lingkungan hingga memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditentukan.
Baca juga: Bagaimana Laut Menjadi Kotor ?
Editor: J.F. Sofyan
Tanggapan