Limbah Minyak Mengintai Nelayan dan Gonggong Si Siput Laut Bercangkang Unik

Dengan langkah berjinjit Muhammad Idris memanggul karung demi karung limbah bercampur lumpur (sludge) dari pesisir pantai. Sesekali ia tertegun menatap lekat-lekat ke arah tepian. Hitam pekat mengambang tampak melintang di antara kedangkalan pantai dan laut lepas.

Dugaan sementara, karung-karung tersebut berasal dari kapal yang terbakar di sekitar perairan Malaysia. Selain itu, ada pun dugaan lain yakni hasil tindakan illegal dumping atau insiden saat tank cleaning. Dengan kata lain, muncul indikasi kuat bahwa limbah tersebut dibuang secara sengaja. Akhirnya, karung limbah minyak terhempas oleh gulungan ombak sampai ke bibir pantai hingga ditemukan oleh Idris di waktu pagi pada Rabu (03/05/2023).

Sembari menyeka lumuran minyak di pangkal kaki, Idris menerangkan kasus ini bukan yang pertama. Terakhir, sekitar bulan November tahun 2022 lalu pernah terjadi. Namun, pemandangan serupa kembali terulang bahkan terparah di Kota Batam. Jika bau lumut adalah bau air jernih bagi sungai. Maka limbah berbau sangit ini begitu berserak di tengah harga bahan bakar pompong yang mencekik.

Pantai menghitam kembali mempertegas kerisauan yang melikat para nelayan di Pantai Melayu, Batu Besar, Kota Batam. Padahal awal bulan Mei ini telah masuk musim angin timur. Sebab menurut nelayan, angin timur membuat cuaca cerah dan gelombang laut tidak tinggi. Tak herann, semestinya kesempatan ini menjadi pertanda aik untuk mencari ikan di laut.

Tetapi sementara waktu, para nelayan mesti urung melaut. Alih-alih tanggal merah atau hari sebuah peringatan, limbah minyak tercecer mencemari pantai di sepanjang 300 meter. Imbasnya, jala menggantung di paku berkarat dan kepulan asap periuk pun terancam semakin menipis.

Warga Pantai Melayu, Batu Besar, Kota Batam sedang mencari kerang-kerang di pantai. / Foto: Rianda Akbari

Di samping itu, hampir sebagian nelayan di Kampung Melayu tidak memiliki profesi cadangan. Sehari-hari mereka menautkan nasib dengan melaut setelah waktu petang dan menepi di waktu pagi. Ketika libur, para nelayan sibuk menyulam jala-jala yang rentan koyak akibat gigitan ikan ataupun terjerat karang.

Terkadang, bila cuaca sedang bersahabat waktu melaut akan menjadi lebih singkat. Praktis, beragam jenis ikan pun berhasil terperangkap . Biasanya ikan kakap merah, kerapu, udang, kerang dan gonggong menjadi langganan. Mungkin untuk jenis hasil tangkapan yang terakhir masih terdengar asing di kuping sebagian masyarakat.

Gonggong (Strombus canarium), begitu warga setempat kerap menyebut biota laut satu ini. Menjadikan jenis siput laut ini sebagai panganan laut khas Kepulauan Riau. Umumnya bagi masyarakat melayu, gonggong diolah secara sederhana yakni cukup direbus selama 20 menit. Uniknya, cara mengkonsumsi gonggong memiliki pakem tersendiri yakni dagingnya dicungkil dengan tusuk gigi lalu dicocol sambal cabai iris.

Tergolong jenis herbivora, siput ini dipercaya berkhasiat bagi kaum lelaki karena mengandung nilai gizi tinggi. Tak heran, banyak yang gemar mengkonsumsinya secara rutin. Biota laut yang termasuk ke dalam gastropada laut famili Strombidae memiliki cangkang menyerupai gasing dan tutup cangkang (operculum) berbentuk sabit.

Ketika individu menginjak dewasa, cangkangnya berwarna cokelat kekuningan atau emas dan abu-abu. Sekilas, bentuk gonggong tampak serupa dengan siput gastropada lainnya. Namun bila diperhatikan dari sisi cangkang dapat menjadi sebuah pembeda. Yaitu dapat dilihat dari penutup cangkang yang bergerigi dan berbentuk gigi-gigi kecil di ujung kaki perut. Rupanya, hal itu membantu peran gonggong dalam bergerak yakni menggunakan perut ketika berpindah dari tempat ke tempat lainnya.

Siput laut yang termasuk ke dalam gastropoda. / Foto: Olivier Bergeron/Pexels

Begitupun, saat ia menggulung seperti ulir memutar ke arah kanan. Kemudian sewaktu bergerak, gonggong menghasilkan lendir sehingga pada tempat yang dilalui meninggalkan jejak lendir. Ternyata selain memiliki fungsi gerak, cangkang gonggong berperan juga sebagai alat pelindung diri.

Siput gonggong hidup di areal pasang surut dengan permukaan pasir berlumpur serta banyak dijumpai lamun (sejenis tanaman bunga). Secara umum, hewan ini kerap berkelompok dan bersembunyi di balik lamun. Tak heran, gonggong termasuk pula hewan bentik yang dapat menjadi indikator kualitas suatu wilayah perairan.

Sebab seperti asal usul penamaannya, gonggong cenderung tidak bergerak secara leluasa. Terlebih, perilakunya dominan membenamkan diri ketika air laut pasang. Maka, mereka kurang mampu menghindar dari efek sedimen serta polutan lain. Alhasil, hewan epifauna ini dapat menyerap informasi mengenai kualitas di suatu wilayah perairan. Karena siklus hidupnya yang relatif menetap.

Seturut demikian, kondisi seperti pencemaran limbah, aktifitas tambang pasir, dan eksploitasi justru memberi tekanan terhadap keberadaan siput gonggong. Artinya, bahwa kondisi tersebut juga secara berkelindan mengancam keberlangsungan biota-biota lainnya.

Meskipun status konservasi hewan gonggong belum termasuk satwa dilindungi dan juga bukan kategori IUCN/CITES. Terang saja, keberadaan gonggong saat ini semakin sulit dicari. Hal itu dirasakan para nelayan setempat yang merasa populasi tangkapannya berkurang. Ditambah ukuran pertumbuhan gonggong yang dinilai sangat lambat.***

Baca juga: Berkenalan Dengan Jew, Rumah Adat Berbahan Mangrove

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan